Misi Memutus Harapan

2366 Words
Pertanyaan Yasmin langsung membuat Lian menghentikan pergerakan tangannya yang hendak memakan hidangan lezat di hadapannya ini. Ia yang semula berselera makan, kini tiba-tiba teringat kejadian di lorong toko yang sepi tadi. Dimana ada seorang pria yang berbaik hati menghapus air mata Vanya. Rasanya sangat disayangkan, padahal Lian hendak mengambil tindakan untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Tapi ternyata ia sudah terlambat.. Ah..Lian kemudian sadar. Kenapa dirinya terus-menerus memikirkan hal itu? Seolah-olah ia tidak terima akan hadirnya pria lain di sisi Vanya. Tidak. Ia tidak seharusnya memikirkan hal tidak penting itu. Yasmin mengerutkan dahinya, merasa aneh. Sosok pria di hadapannya ini tiba-tiba menggelengkan kepala. Apa itu sebuah jawaban dari pertanyaannya? Yasmin pun mengulang tanyanya, "Mas Lian barusan geleng kepala, apa itu jawaban dari pertanyaan Yasmin?" "Bukan," jawab Lian dengan cepat. "Lalu?" Jantung Yasmin mulai berdetak tak karuan. Apa benar Lian juga menyukai Vanya? Tatapan matanya cemas. Seolah berharap hati Lian masih kosong, sehingga masih ada kesempatan baginya untuk menyelinap masuk. Sementara itu, Lian ragu untuk menjawab 'tidak'. Bukan karena ia benar-benar menyukai Gadis Pembangkang Aneh itu! Melainkan, karena selama ini Lian menatap gerak-gerik Yasmin yang sepertinya berbeda saat bersamanya. Sebagai pria, sebenarnya Lian terlampaui peka dengan sikap Yasmin selama ini kepadanya. Ia kerap malu-malu. Persis seperti seorang gadis belia yang baru jatuh cinta. Padahal usianya tak lagi muda. Lian tidak ingin memberi harapan bahkan melukai hati gadis sebaik Yasmin. Yasmin berhak bahagia dengan pria yang dicintainya. Dan, tentu saja itu bukan dirinya. Karena selama ini Lian hanya menganggap Yasmin saudara sepupu dan teman semasa kecil. Tidak akan pernah lebih daripada itu. Maka dengan terpaksa Lian menyusun jawaban sebaik mungkin, yang dapat membuat Yasmin berpikir bahwa dirinya mempunyai rasa lebih pada Vanya. Semua ini Lian lakukan untuk membuat Yasmin sadar, bahwa Lian tak bisa membalas perasaannya. Sehingga mau tidak mau, Yasmin harus segera membunuh rasa itu. Kemudian mulai membuka hati dengan menerima lamaran pria baik yang datang ke rumahnya. Ya, itu merupakan keputusan terbaik yang telah Lian buat. Seraya makan, supaya perbincangan lebih santai. Lian memulainya dengan membeberkan kenyataan yang terlihat oleh kasatmata. "Vanya gadis yang cantik. Menarik di pandangan saya." Lian tidak bisa membayangkan bila saat ini Vanya mendengar pujiannya ini. Mungkin gadis itu sudah berteriak histeris, kesenangan tak terkira. Bukan maksud Lian terlalu percaya diri. Hanya saja yahh..kalian tahu sendiri bagaimana sikap Vanya yang 'terlalu' kepada Lian akhir-akhir ini. "Hmmm..i-iya itu benar. Vanya sangat cantik, Mas." Melirik ekspresi Yasmin sekilas. Lian menyadari bahwa ucapannya yang memuji kecantikan Vanya, berhasil membuat Yasmin kecewa. Senyum gadis itu bahkan terkesan memaksa. Ucapannya yang barusan menimpali Lian, terasa mencekik tenggorokannya mungkin. Lian merasa terlalu pandai untuk mengamati gerak-gerik Yasmin. Karena semuanya memang terasa mudah tertebak juga.. Yasmin dan kekecewaan yang saat ini memeluknya, masih belum membuat Lian puas. Lian masih harus menegaskan poin-poin yang lainnya. Biar saja kali ini ia menggunakan Vanya sebagai bahan untuk menciptakan keputusasaan cinta sepihak Yasmin. Toh, ini untuk kebaikan bersama. Lian pikir begitu baiknya saat ini. "Tapi lebih daripada parasnya, saya tertarik dengan pembawaannya. Ia tampak menyenangkan. Siapapun yang berada di dekatnya, pasti akan selalu bahagia. Andai saya diberi anugerah rasa berupa cinta, Vanya bukan orang yang buruk untuk saya limpahi anugerah rasa itu." Dusta. Pikiran dan ucapan Lian memang mengatakannya dengan penuh kedustaan. Sekali lagi, ini semua demi menegaskan bahwa Yasmin seharusnya mengubur dalam-dalam perasaannya pada Lian selama ini. Karena selamanya, Lian tak mungkin membalas cinta Yasmin. Namun entah mengapa? Hati Lian seperti bertolak belakang dengan pikiran dan ucapannya. Hati manusia memang sulit untuk merekayasa suatu hal. Ketika Lian merasa hatinya berbeda. Sesungguhnya inilah titik kelemahannya. Lian takut jatuh cinta pada Gadis Pembangkang Aneh itu. Karena semua yang ada pada diri Vanya sama sekali tidak menyentuh seujung kriterianya. Aneh saja rasanya bila ia benar-benar menjatuhkan hati pada gadis itu. "Jadi, kesimpulannya?" "Saya mungkin tertarik pada Vanya, tanpa saya sadari. Bagaimana menurut kamu, Yasmin?" Lian sengaja meminta pendapat Yasmin. Ia ingin mendengarnya. Walau sebenarnya Lian mulai keluar dari misi membuat Yasmin menyerah dengan perasaannya. Karena kali ini, pertanyaan Lian benar-benar pure meminta pendapat pada teman semasa kecil. "Oh begitu, ya? Tapi sepertinya Vanya tidak akan cocok dengan Mas Lian. Mm...maaf, Mas. Yasmin rasa, kriteria calon pendamping hidup Mas Lian jauh dari sosok Vanya. Dilihat dengan mata telanjang saja, Vanya sangat-sangat bertolak-belakang dengan hal itu." Pendapat Yasmin benar. Tapi Lian menyayangkan tatapan benci Yasmin saat menyebut nama 'Vanya'. Sepertinya misi Lian belum sepenuhnya terselesaikan. Ia merasa harus mengeluarkan perkataan yang lebih meyakinkan lainnya. "Semua yang terlihat belum tentu mencerminkan yang sebenarnya. Ketulusan hati Vanya, siapa yang tahu? Jika yang kamu maksud adalah penampilan Vanya. Saya bisa merubahnya. Saya yakin, saya mampu mengajak Vanya ke jalan yang lebih baik. Bila sudah begini, bagaimana menurutmu Yasmin?" Yasmin kehilangan kata-katanya. Tenggorokannya tercekat. Ia tidak pernah menduga bahwa Lian akan seyakin ini mengatakan hal menyangkut Vanya. Demi memperlihatkan dirinya baik-baik saja, Yasmin putuskan untuk meneguk nikmatnya air putih dingin di hadapannya. Kemudian berusaha menghalau air matanya yang hendak jatuh dengan melirik ke segala penjuru restoran padang mewah ini. Berharap menemukan hal menarik dan lucu sehingga air matanya tak jatuh. Tapi sesak dalam dadanya tak bisa diajak kompromi. Sehingga membuat air matanya jatuh begitu saja. Lian yang sebenarnya tahu, berpura-pura tak tahu dan hanya fokus memakan makan siangnya. Ia membiarkan Yasmin menangis dalam diam atas cinta diamnya pula. Lian tidak menyesal karena memutuskan harapan Yasmin padanya, justru Lian lega. Dengan menggunakan sosok Vanya, Lian dapat memuluskan misinya ini. 'Maafkan saya, Vanya. Terpaksa saya memanfaatkan kamu.. Dan, terima kasih.' Hanya batin Lian yang bersuara. Tapi anehnya, bibir Lian tiba-tiba mengulas senyum tipis. Sepertinya ia bahagia dan sangat menikmati misi ini. Mungkin karena menggunakan nama 'Vanya'. Sungguh suatu hal yang tak pernah Lian duga, justru dilakukannya dengan kesadaran penuh. Lian sadar, ia telah lancang mengikutsertakan Vanya dalam kerumitan ini. Tapi Lian rasa, hanya inilah jalan satu-satunya yang bisa ia tempuh. "Ekhm..y-ya bagaimana baiknya menurut Mas Lian saja. Apapun itu, hanya hati Mas Lian yang bisa menentukan kemana berlabuhnya. Toh, bukan soal rupa atau penampilannya. Tapi soal perasaan yang tidak bisa kita kendalikan jatuhnya pada siapa." Lian sedikit lega, karena Yasmin mau bersuara lagi. Walau suaranya sedikit parau. Tapi Lian mencoba untuk tidak peduli di sini. Ia benar-benar ingin memupuskan segala harapan cinta gadis baik ini. Supaya ia segera menjemput kebahagiaannya dan mengusaikan penantiannya selama ini. "Iya, Yasmin. Kamu benar. Do'akan saja yang terbaik. Bila Vanya jodoh saya, pasti kami selalu diberikan jalan untuk bersatu," ujar Lian dengan mengulas senyum manisnya. "Aamiin.." Dengan hati berdarah-darah, Yasmin meng-aamiin-kan. Runtuh sudah. Segala harapan dan cita-citanya untuk bersanding dengan Lian. Ia tidak mungkin bisa memperpanjang penantiannya lagi. Karena baru kali ini ia mendengar Lian membahas wanita lain, setelah Lian tidak lagi berhubungan dengan Kirania. Ini artinya, Vanya merupakan pelipur lara Lian. Secara tidak langsung Vanya telah mengisi kekosongan di hati Lian yang selama ini tak pernah mampu Yasmin isi. Sudah cukup. Yasmin rasa memang inilah saat baginya untuk menyerah atas cinta sepihaknya. Membuang jauh-jauh perasaan itu dan mulai membuka hati untuk melakukan ibadah panjang. Menikah. "Yasmin?" "Ya, Mas?" "Segera terima lamaran salah seorang pria yang datang ke rumahmu. Karena menurut saya, pria yang datang ke rumahmu itu benar-benar pria pilihan yang serius ingin mengajakmu hidup bersama. Terkadang apa yang kamu harapkan memang tak sesuai dengan keinginanmu. Tapi percayalah, Allah lebih tahu apa yang terbaik untukmu. Cobalah untuk membuka hati, saya pastikan kamu tak akan terkecewakan." "Bagaimana Mas Lian bisa memastikannya?" "Karena yang kerap datang untuk melamarmu bukan pria sembarangan. Asal kamu tahu saja, mama saya kerap membeberkan identitas mereka sampai akar-akarnya kepada saya. Hebat sekali memang Tantemu itu." Keduanya terkekeh kecil. Lian senang karena berhasil mencairkan suasana yang sebelumnya tegang. Terlihat dari kekehan puas Yasmin, walau sudut air matanya masih sesekali mengeluarkan air mata. Yasmin pun tak segan mengusapnya di depan Lian begitu saja. Karena sejak tadi Lian tak menyinggung perihal tangisnya ini. Syukurlah..jadi Yasmin tidak kelabakan untuk mencari-cari alasan yang masuk akal. Karena Lian sulit dibohongi. "Sekarang makanlah! Masih nafsu makan 'kan?" "Masihlah, Mas! Memangnya karena apa Yasmin sampai bisa kehilangan nafsu makan? Padahal sejak tadi ayam gulai di depan Yasmin ini sudah melambai-lambai meminta segera dicicipi!" Yasmin pun merapalkan do'a makan, kemudian langsung mengeksekusi nasi dan ayam gulai tersebut. "Hmm..lezat! Seperti biasanya." "Siapa tahu kamu tidak nafsu makan setelah menangis," cibir Lian yang seketika membuat Yasmin tersedak. Segera Lian menyodorkan segelas air putih dingin milik Yasmin. Diterima cepat oleh Yasmin yang kemudian meneguknya. "Mas Lian!?" kesal Yasmin karena Lian pada akhirnya tetap saja menyinggung perihal tangisannya tadi. Tidak berhenti disitu saja. Lian kembali menyinggung tangisan Yasmin tadi. "Kenapa? Cengeng sekali huuu.. Padahal saya hanya memberi nasihat untukmu segera menikah." Yasmin menghela napas lega. Untung saja Lian tidak berpikiran macam-macam soal tangisannya. "Oke, nasihat diterima! Sekarang izinkan Yasmin bertanya, kapan Mas Lian menikah? Tante dan Om sudah kepingin menimang cucu!" "Saya santai saja. Sedatangnya jodoh. Untuk urusan cucu, Leta sebentar lagi akan melahirkan. Kamu tidak lupa 'kan?" Yasmin tak bisa mengendalikan decakan kesalnya. Lian selalu saja bisa lolos dengan mudah dari cecarannya. Tapi Yasmin tak menyerah. Ia memprotes jawaban Lian barusan, "Apa tadi kata Mas Lian? Sedatangnya jodoh? Apa enggak salah itu kalimatnya? Mengingat usia Mas Lian yang sudah matang, apa tidak sebaiknya kalimatnya diganti 'menjemput jodoh'? Hmm? Vanya sepertinya sangat menyukai Mas Lian. Tiada salahnya mencoba menjalin--" "Mari melanjutkan makan dengan cepat, Yasmin. Saya harus segera kembali ke kantor setelah mengantarmu pulang." "Oo-oww..pengalihan pembicaraan." "Saya serius!" "Serius juga menyukai Vanya?" "YA!--eh..maksud saya bukan itu! Kamu mengerjai saya ya, Yasmin!?" Yasmin tertawa. Puas sekali rasanya menggoda sepupunya ini. "Ayo kita selesaikan makan siang ini dengan cepat supaya Mas Lian bisa segera kembali menemui Vanya--eh ke kantor! Maaf keceplosan." "Kamu memang sengaja!" Yasmin bahagia sekali. Baru kali ini setelah bertahun-tahun Lian selalu kaku padanya. Baru kali ini rasanya dinding kokoh yang Lian bangun runtuh begitu saja, walau konsekuensinya adalah Yasmin harus mulai mengubur dalam-dalam perasaannya untuk Lian. Ia harus belajar menerima kenyataan. Bahwa selamanya Lian tak akan pernah bisa menjadi seperti yang Yasmin harapkan--pendamping hidup. Ikhlas walau sesekali wajahnya memelas. Tegar walau dengan perasaan yang masih mengakar. Terakhir, mencoba menghapus perasaan yang tak semestinya ia rawat. Karena hari ini Yasmin telah menemukan jawaban dari perasaannya kepada Lian. Walau tidak secara terang-terangan, tapi setiap perkataan Lian mengenai Vanya menyiratkan ketertarikannya pada gadis itu. Yasmin memang salah pernah berpikir meremehkan Vanya. Karena pada kenyataannya justru Vanya yang nantinya dapat berpotensi mengobati sakit hati Lian pada Kirania karena ditinggal menikah. Semoga saja ia dan Lian dapat menjemput kebahagiaan masing-masing. Saudara 'kan tetap menjadi saudara, walau tak serahim. Perasaan cinta di hati Yasmin ini bisa diubahnya menjadi kasih sayang antar sesama saudara. Ya, begitu keputusan terbaik yang Yasmin akhirnya ambil. Sementara itu, malam harinya. Di dalam kamar, Vanya merasa tidak bisa bangkit dari ranjangnya. Kepalanya benar-benar berat sekali bak tertimpa berton-ton batu. Sesekali ia melenguh kecil, berharap lenguhannya dapat terdengar sampai luar kamar. Tapi nahas. Sia-sia saja karena besarnya ruang pribadi miliknya ini. Keringat bercucuran membasahi dahinya. Vanya berusaha meraih ponsel di nakas untuk menghubungi orang rumah. Mulai dari mami dan papinya, semua tak menjawab panggilan suaranya. Hingga panggilan pun terhubung hanya pada Si Mbok. "Ada apa Non? Tumben menelepon. Padahal Non Vanya 'kan ada di dalam kamar." "Emm..M--mbok..kepala Vanya pusing sekali.." Mendengar suara serak Nonanya, Mbok Sih langsung kalang kabut untuk mendatangi kamar Vanya. Disitulah wanita tua itu paham mengapa Nonanya menelepon padahal sejak tadi tidak keluar dari dalam kamar. Dari suaranya yang berbeda dan jauh dari keceriaan yang biasanya diperdengarkan, Mbok Sih dibuatnya khawatir sekali. Sampai Mbok Sih mengabaikan pertanyaan Nyonya Besar yang keheranan melihat Mbok Sih berlari kecil ke kamar Vanya. Isna mengikutinya, karena ia juga merasakan perasaan tak enak sejak tadi. Hingga dibukanya pintu kamar Vanya dengan kasar. "Ya Allah Non..Non Vanya sakit.." Vanya merasa lega sekali karena bala bantuan datang saat ia benar-benar tak berdaya. Isna yang juga turut masuk ke dalam kamar langsung mendudukkan dirinya di atas ranjang Vanya. Tepat di samping putrinya yang terbaring lemah dengan bibir pucat pasi. "Sayang, kamu kenapa bisa sampai begini? Mana yang sakit, Vanya?" Vanya hanya memegangi kepalanya. Benar-benar pusing sekali rasanya. Vanya berpikir, apa ia salah makan tadi? Seingatnya, tadi sempat memakan sebungkus cokelat yang diambilnya dari laci meja belajar. Karena galau bertengkar hebat dengan Lian, Vanya sampai tidak sempat melihat tanggal kadaluarsa cokelat itu. Langsung embat saja demi mengobati kegalauan hatinya. Mungkinkah memang benar karena cokelat yang dimakannya tadi telah kadaluarsa? Sekarang perutnya terasa teraduk-aduk. Vanya memaksakan dirinya untuk duduk dan memuntahkan isi perutnya begitu saja di lantai kamarnya. Isna sigap memijat tengkuk sang putri. Sungguh memprihatinkan sekali kondisi kesehatannya saat ini. "Mbok, segera hubungi Dokter Victor! Minta kemari secepatnya!" titah Isna. Dokter Victor merupakan dokter pribadi Keluarga Wiryawan selama ini. Maka bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan mengenai kesehatan, dihubungilah Dokter Victor untuk bertandang ke kediaman besar Wiryawan. "Siap, Nya.." Mbok Sih segera melakukan apa yang Nyonya Besarnya perintahkan. Di tengah kekhawatirannya, bukan berarti Isna tidak panik. Ia sedang menekan kepanikannya sendiri. Vanya tiba-tiba mengeluhkan sakit kepala sampai susah berkata-kata, kemudian muntah-muntah hebat di hadapannya. Lalu, ibu mana yang tak panik saat melihat anaknya seperti ini? "Mau muntah lagi, Van?" tanya Isna dengan lembut guna memastikan kondisi terkini Vanya. Ia sama sekali tidak jijik melihat muntahan Vanya di bawah sana. Vanya adalah darah dagingnya sendiri..mana mungkin rasa jijik itu lebih mendominasi? Vanya menggeleng sebagai jawaban. "Tidurlah kembali. Sembari menunggu kedatangan Dokter Victor.." Vanya mengangguk dan menuruti perkataan sang mami. Maminya dengan telaten mengusap sisa kotoran di sekitar bibirnya menggunakan tisu yang ia ambil di meja belajar. Tak lupa maminya memanggil beberapa pelayan untuk membersihkan lantai kamar sebelum Dokter Victor tiba. "Ada apa ini!? Vanya sakit apa, Nak?" Wiryawan yang baru tiba langsung naik ke atas ranjang putrinya. Diusapnya pelan dahi Vanya yang berkeringat itu. "Enggak tahu, Pi. Kepala Vanya pusing dan tadi Vanya muntah-muntah.." Ajaibnya Vanya menjawab meski suaranya pelan. Sepertinya memang Vanya memaksakan diri untuk menjawab pertanyaan sang papi. Hal tersebut sontak membuat Isna gemas. "Hmmm..giliran Papi yang nanya aja. Kamu bisa jawab! Dari tadi Mami nanya berkali-kali, kamu cuman ngasih isyarat! Kamu ini, Van-Van. Bikin Mami khawatir aja!" "Maafin Vanya, Mi. Vanya s-sayang Mami.." Setelahnya Vanya pingsan. Sehingga kamar Vanya mendadak gaduh karena Wiryawan dan Isna kebingungan. Putrinya ini memang berbeda dikala sakit. Suka tiba-tiba tidak terduga kondisinya. Seperti barusan. "Habis bilang sayang kok malah pingsan, sih? Ah..kamu ini, Van. Enggak keren banget!" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD