Vanya terburu-buru menuruni tangga besar rumahnya karena pesan beruntun yang Danisha terus kirimkan. Vanya pikir, Danisha benar-benar menunggu di depan gerbang besar rumahnya. Nyatanya kata ‘depan’ yang Danisha tuliskan merupakan ruang tamu rumah ini. Pantas saja Danisha terus memberondongnya dengan belasan pesan untuk segera turun dan menemuinya.
Saat menginjakkan kakinya di ruang tamu, pemandangan Danisha yang duduk tegang nan gugup berhadap-hadapan dengan Mami Vanya membuat Vanya terkekeh pelan. Antara kasihan dan memang lucu sekali. Ah, ditambah tangan gadis itu tenggelam di dalam ranselnya. Benar-benar kemampuan yang unik seorang Danisha. Ia mengetik pesan tanpa melihat layar ponsel, bisa!
Selain lahir terlalu cepat ke dunia ini, ternyata ada kemampuan super lainnya dalam diri Danisha.
“I—itu Vanya, Tante..” Danisha bermaksud mengalihkan pandangan Isna darinya. Karena sejak beberapa saat yang lalu, mata Isna terus saja memandanginya seraya mengajak berbincang santai mengenai alasan kedatangannya kemari.
Wajar. Danisha tidak heran saat Isna menanyakan kedatangannya kemari, karena Danisha sendiri juga bertanya-tanya tentang mengapa Vanya tiba-tiba meminta ikut ke kampusnya untuk melihat-lihat kampus? Vanya hendak berkuliah? Danisha rasa, itu sedikit mustahil. Mengingat Vanya susah sekali dibujuk. Sudah hampir satu tahun ini Vanya hanya melakoni bisnis onlinenya. Yang Danisha yakin hanya sekadar mengisi waktu bosan, karena Vanya sudah kaya raya.
“Benar kata Danisha, Vanya?”
“T—tentang apa, Mi?” Vanya gugup, karena ia sama sekali tidak tahu apa yang tadi diperbincangkan Danisha kepada maminya. Semoga bukan hal-hal yang nyeleneh yang nantinya akan mempersulit izinnya keluar rumah..
Masalah semalam dan bangun kesiangan saja belum selesai. Masa ini sudah menambah masalah baru, sih? Hidup Vanya memang dipenuhi dengan masalah-masalah akhir-akhir ini. Entah itu kecil maupun besar, sama saja. Namanya masalah. Pasti menyusahkan.
“Kamu mau ikut Danisha pergi ke kampusnya, untuk melihat-lihat? Melihat-lihat apa?”
“Melihat jodoh, Mi!” Mendengar jawaban ngawur keluar dari bibir Vanya, Danisha refleks mencubit lengan sang sahabat, seraya bibirnya memaki pelan Vanya.
Ekspresi Isna awalnya terkejut. Tapi kemudian wanita itu bisa mengendalikan ekspresinya. “Kamu serius?”
“Enggaklah, Mi! Vanya ke kampus Danisha karena Vanya ingin melihat-lihat calon kampus Vanya nantinya.”
Kali ini, Isna mengerutkan keningnya. Sedangkan Danisha menatap Vanya dengan tatapan tidak percaya. Beberapa kali juga Danisha terlihat menepuk pipinya sendiri. Mungkin Danisha mengira ini adalah mimpi? Seorang Vanya, akhirnya mau melanjutkan pendidikannya? Hah, sepertinya memang sang sahabat sudah muak didesak terus-menerus. Untuk sementara ini, itu yang dapat Danisha simpulkan.
“Kamu sudah menyerah dengan jalan pilihanmu?”
Vanya menggeleng tegas. “Vanya tetap berada di jalan pilihan Vanya sendiri. Hanya saja, sekarang Vanya menambah tugas. Untuk membahagiakan Mami dan Papi.”
“Ekhm, rencanya mau mengambil jurusan apa?”
“Nanti Vanya akan beritahukan pada Mami dan Papi. Sekarang Vanya dan Danisha berangkat dulu ya, Mi? Takutnya Danisha telat karena dia ada kelas pagi.”
Terdengar helaan napas Isna. Beliau sedikit khawatir karena belum mengetahui jurusan apa yang sudah dipilih putri semata wayangnya itu. Tapi ya sudahlah. Semua bisa dibicarakan secara baik-baik nanti. Kini, Isna membiarkan keduanya pergi seusai mencium tangannya.
Menatap kepergian Vanya dengan mobil yang dikendarai Danisha. Isna tersenyum tipis. “Semoga pilihanmu tidak berseberangan dengan pilihan Papi, Nak..” Sebagai seorang ibu, Isna tentu akan selalu mendukung keputusan Vanya yang berkuliah. Tetapi, mengenai jurusan yang diambilnya..Isna tetap menyerahkan segala keputusan di tangan Papi Vanya. Yaa seperti yang sudah kita ketahui bersama, nantinya bila mungkin dan bisa, Vanya akan meneruskan bisnis papinya di bidang transportasi.
Sementara itu, di dalam mobil Danisha terus menyerocos sampai membuat telinga Vanya memerah. Benar-benar berisik! Pembahasan masih seputar keputusan Vanya yang tiba-tiba ingin berkuliah. Dunia Vanya sedang gonjang-ganjing memangnya? Sampai-sampai ia mau menepikan sejenak bisnis onlinenya.
“..jadi, apa sebenarnya rencana lo? Jangan main rahasia-rahasiaan sama gue! Karena pacar gue—eh! Mantan pacar gue selingkuh semenit aja, gue bisa langsung tau!” Kemampuan..
Dengan santainya seraya memainkan smartwatch di tangannya, Vanya menjawab, “Enggak ada rencana apa-apa. Gue ngambil jurusan Kewirausahaan. Supaya nanti ilmunya bisa gue terapin di bisnis online gue. Gimana? Bagus ‘kan keputusan gue?” Beginilah Vanya bila sudah berbicara dengan Danisha, berlo-gue. Menyesuaikan. Gadis itu sudah sangat percaya diri akan mendapatkan pujian dari sang sahabat.
Tapi ternyata semua itu justru berseberangan dengan pemikiran sang sahabat. “Lo gila! Bagus darimananya!? Yang ada Papi lo noh ngamuk-ngamuk! Kenapa enggak ngambil jurusan Manajemen Transportasi aja? Biar sejalan gitu sama bisnis Papi lo. Mikir, Van..”
“No! Gue udah ambil keputusan ini dengan pemikiran yang matang, Sha. Sampai gue begadang. Nih, kantung mata gue!” tegas Vanya. Ia sudah mau berkuliah saja, seharusnya orang tuanya senang. Di dunia ini, segala ilmu yang dipelajari dalam pendidikan itu baik. Namanya juga pendidikan, pasti mendidik. Vanya sudah yakin dengan keputusannya. Seterjal apapun jalannya, akan Vanya lalui.
“Ya udah. Terserah lo, deh. Yang penting gue udah pernah ngingetin lo, ya. Gue yakin, Om Wiryawan pasti enggak bakalan setuju sama jurusan yang lo pilih,” ujar Danisha yang kali ini sudah memelankan nada bicaranya. Lelah menggunakan urat leher sejak tadi.
“Iya, gue tau itu. Tenang aja, Sha. Gue udah siapin sanggahan, alasan, dan lain sebagainya buat dapat acc dari Papi. Apapun itu, kalau orang tua gue emang bener-bener kepengin lihat anaknya jadi sarjana, ya udah! Mereka harus menerima dengan lapang d**a jurusan pilihan gue!” Sebenarnya, tanpa Danisha beritahu Vanya sudah lebih tahu. Ini tentang jurusan kuliah yang dipilihnya. Tapi apa boleh buat? Vanya hanya akan mau berkuliah bila ia diizinkan untuk mengambil jurusan Kewirausahaan.
“Ibaratnya, orang tua lo jual-lo beli gitu?”
“Good! Lo tambah pintar aja. Gue yakin, lo ke kampus beneran kuliah.” Vanya menyelingi perbincangan penting ini dengan sedikit candaan. Lelah bersitegang terus. Tidak di rumah, tidak di luar rumah. Sungguh melelahkan..
“Ya lo pikir aja! Masa iya gue ke kampus cuman buat kasih makan merpati peliharaan kampus?”
“Emang beneran ada merpati, Sha?”
“Ada! Nanti sembari nunggu kelas gue selesai, lo tunggu gue di taman kampus sambil lihatin merpati di kandangnya.”
“Oke, siap!”
Apapun akan Vanya lakukan demi bisa melihat-lihat calon kampusnya. Sampai harus mantengin merpati pun, tidak masalah!
***
Vanya tahu, bahwa menunggu itu kegiatan paling membosankan. Kecuali menunggu transferan uang dari pembeli. Haha!
Ngomong-ngomong soal puluhan dagangannya yang sudah terpacking rapih, tadi Vanya sudah berpesan pada Mbok Sih. Nanti sekitar jam sepuluh pagi akan di pick up oleh kurir. Pokoknya beres!
Saat ini Vanya sedang duduk manis berhadap-hadapan dengan kandang merpati yang bersih. Sepertinya memang benar-benar terawat. Bahkan kebersihan kandangnya pun dijaga sebaik mungkin. Sehingga nyaman saja bila berada di dekat unggas peliharaan kampus itu. Di tangannya membawa minuman kaleng. Danisha memang baik sekali, hanya memberinya minuman tanpa camilan.
Vanya sedikit heran. Ia bertanya-tanya, “Kenapa dipelihara, ya? Buat hiasan kampus? Kok rasa-rasanya enggak mungkin. Tadi dari pintu masuk aja udah kelihatan indah banget pemandangannya.”
Belum menemukan jawaban dari pertanyaan yang muncul di kepalanya. Vanya merasa terganggu dengan sosok pria yang tiba-tiba menghalangi pemandangan indah berupa burung merpati putih.
“Busettt..ini orang enggak ada sopan-santunnya. Ngalangin pemandangan. Mana tubuhnya tinggi,” dumel Vanya. Tapi ia berusaha menahan suaranya selirih mungkin. Vanya tidak ingin membuat masalah di tempat yang nantinya akan menjadi tempatnya menghabiskan waktu separuh hari. Maka ia biarkan saja pria itu menguasai merpati.
Ah, sepertinya dia pandai sekali membuat merpati itu aktif terbang di dalam kandangnya yang cukup besar. Apa dia seorang dokter hewan? Merpati itu sedang sakit? Entahlah..
Vanya memicingkan matanya beberapa kali saat melihat beberapa mahasiswi yang berlalu-lalang menatap pria itu tanpa berkedip. Pancaran mata mereka begitu memuja sosok tersebut. Memangnya pria itu setampan apa, sih? Dan siapa dia? Sampai sebegitunya. Lebay, ah!
Vanya kesal dan mendengkus. Padahal ia sendiri tidak tahu siapa pria yang seenak jidat menghalangi pemandangannya di depan sana.
Samar-samar Vanya mendengar pria itu berbicara melalui ponsel. Karena jarak tidak terlalu jauh, suara beratnya sampai terdengar.
“Iya, Pak. Saya sudah tiba. Sebentar lagi saya ke sana. Gedung Serba Guna 1? Baik. Terima kasih.”
Suara pria itu seperti tidak asing di telinga Vanya, karena diriya tiba-tiba diselimuti rasa penasaran. Tanpa sadar Vanya melangkahkan kakinya mengikuti langkah lebar pria bersetelan rapih itu. Vanya menduga, pria ini mungkin salah satu dosen di kampus Danisha. Nanti akan Vanya tanyakan kepada Danisha. Mungkin saja Danisha kenal dengan dosen yang sepertinya begitu digandrungi oleh para mahasiswi sini.
Hmm..ketampanan memang memikat. Tapi kalau tidak sebanding dengan etos kerjanya yaa..skip!
Dari yang awalnya iseng mengikuti langkah kaki dosen tersebut, kini Vanya justru terjebak di lautan mahasiswa. Mau tidak mau, ia harus mendudukkan dirinya di sebuah kursi. Lumayan. Ngadem sekalian nyemil dan minum, karena panitia memberinya snack.
Vanya duduk manis di kursi belakang. Jaraknya hanya beberapa langkah dari pintu masuk. Aman. Bisa kapan saja kabur! Begitu mungkin pikirnya.
Meskipun Vanya belum pernah mengenyam bangku perkuliahan, tapi sedikit banyaknya dahulu sewaktu ia bersekolah di SMA favorit kota ini—Vanya sudah pernah beberapa kali mengikuti kegiatan seperti ini. Sebut saja seminar.
MENUMBUHKAN SEMANGAT BERBISNIS TAK KENAL USIA
Judul tersebut terpampang besar dan jelas terbaca karena layar proyektor mulai bekerja. Bisnis? Kenapa kebetulan sekali?
“Anggap aja ini rezeki kamu, Vanya. Duduk manis, nyemil dan dengerin pemateri,” kata Vanya pada dirinya sendiri. Ia mencoba enjoy, seakan-akan dirinya memang salah satu peserta dalam seminar bisnis kali ini.
Tibalah saat pemateri menaiki podium. Mata Vanya seketika melebar sempurna. Bibirnya menganga karena tidak mempercayai pemandangan di depan sana. Meskipun jaraknya cukup jauh, tapi mata Vanya masih normal. Dan, foto di proyektor itu—tidak salah lagi!
Pria menyebalkan yang menyahuti setiap dumelannya di Alun-Alun Kota semalam!
Jadi, dia dosen?
“Lian Natan Baskara. Dua puluh sembilan tahun. Pengusaha di bidang pangan, biskuit. Single.” Vanya membaca biodata singkat pria yang dikenalinya sebagai pria menyebalkan itu. Tanpa ada yang terlewat sedikit pun.
“Ternyata bukan dosen? Kirain..”
“Kamu kenal dengan Pak Lian?” tanya seorang mahasiswi yang duduk di sebelah Vanya. Mungkin mahasiswi tersebut sempat terganggu dengan Vanya yang beberapa kali mengoceh.
Vanya awalnya mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan yang dilemparkan kepadanya barusan. Tapi sepersekian detik kemudian ia menggeleng keras. “Enggak. Saya tidak kenal dengan Pak Lian-Pak Lian itu. Memangnya dia penting apa di hidup saya?”
“Wahh..penting kalau memang kamu serius menggeluti bidang bisnis. Pak Lian itu cukup terkenal, lhoo. Tidak hanya ketampanannya saja yang memikat, tapi ekhm..dengar saja setiap kalimat motivasi yang keluar dari bibirnya. Selamat bergabung dalam barisan pengagum Pak Lian.”
Pengagum Pak Lian?
“Cih..”
“Ekhm, maaf ya, Kak. Saya tidak berminat bergabung.”
“Dengar saja dulu..” pungkasnya.
Seminar berjalan dengan lancar. Ternyata benar juga kata mahasiswi di sebelahnya ini, bahwa Pak Lian-Pak Lian ini mempunyai materi yang bagus. Terutama strategi bisnis di usia muda. Ini sungguh bermanfaat bagi perkembangan bisnis online Vanya. Meskipun berbeda bidang dengan Pak Lian, tapi ada beberapa ilmu dagang yang bisa Vanya terapkan. Lumayan. Menarik.
Tapi Vanya masih belum mendengar kata motivasi yang katanya mampu memikat entah apalah itu. Vanya masih menunggu. Kalau sampai penantiannya sia-sia. Vanya akan tertawa paling keras di tempat ini juga.
Hal itu otomatis mengindikasikan bahwa barisan pengagum Pak Lian memang alay! Bilang saja hanya mengagumi fisiknya. Begitu saja kok repot!
Tapi memang benar, sih. Pria menyebalkan itu tampan. Mata Vanya masih berfungsi dengan baik bila digunakan mengukur kadar ketampanan seorang pria. Meskipun dirinya jomlo dan belum pernah jatuh cinta pada siapa pun itu. Entahlah..kehidupan asmara Vanya tidak seberwarna kehidupan asmara Danisha dan Oki—sahabat pria Vanya dan Danisha.
“Sebelum seminar ini saya akhiri. Saya telah mempersiapkan kutipan sederhana untuk Anda sekalian.”
“Dengar baik-baik, resapi, lalu masukkan ke dalam kalbu.”
‘Cih..lebay,’ batin Vanya karena masih kesal dengan pria bernama Lian itu.
“Untuk siapa pun yang sedang berjuang, lelah itu merupakan kawan. Rangkullah diri sendiri. Kuatkan hati. Teguhkan keyakinan. Niscaya jalanmu akan dipermudah oleh Allah SWT.”
Entah Vanya sedang bermimpi atau kePD-an? Tatapan mata pria itu tiba-tiba terarah kepadanya.
Sebuah tatapan yang serius nan dalam. Vanya merasa seolah kedua bahunya tengah dipegang oleh tangan pria itu.
Astaga! Sadar, Vanya..
Vanya menggelengkan kepalanya. Menepis segala fantasi gila yang tiba-tiba merasuki dirinya. Ada apa dengan diri Vanya? Pria ini..seperti penyihir!
“Menjalani hidup dengan pilihan sendiri itu tidak diharamkan. Tapi menuruti keinginan kedua orang tua yang masih utuh merupakan sebuah keharusan. Tepikan sejenak ego Anda sekalian, karena Anda tidak akan pernah tahu sampai berapa lama mereka menemani Anda. Bahagiakan selagi ada dan bisa. Anda sekalian masih muda, masa depan menanti dengan setumpuk harapan terbaik dari orang tua.”
“Mohon maaf apabila ada kata-kata saya yang kurang berkenaan di hati Anda sekalian. Saya akhiri. Wassalamu’alaikum wr.wb..”
Gemuruh jawaban salam dibarengi dengan tepuk tangan menggema. Tapi hal tersebut tidak lantas membuat Vanya tersentak. Tubuh Vanya tiba-tiba membeku. Ia seperti tertampar dengan perkataan Lian. Air matanya menumpuk di mata. Sekali saja ia berkedip, pasti akan jatuh berderai.
Anggap saja lebay.
Tapi, sekelebat bayangan kedua orang tuanya atau salah satu dari mereka berpulang—tiba-tiba mengusik kepalanya. Vanya sungguh tidak menginginkan hal tersebut terjadi sebelum ia sukses membahagiakan keduanya.
Saat ruangan ini sudah mulai sepi, barulah Vanya bangkit dari duduknya. Tatapannya kosong ke depan. Kakinya memang berjalan, tapi hatinya seperti tertinggal atau bahkan kemungkinan terburuknya hati Vanya terbawa seseorang.
Seseorang yang berhasil mempraktikkan ilmu hipnotisnya pada para audiensi.
Mengusap titik-titik air mata yang membasahi pipinya, Vanya sudah tidak peduli dengan pandangan para mahasiswa di sekitarnya.
Tapi ketika tubuhnya menabrak tubuh seseorang yang tengah membawa berkas-berkas, langsung mendapati perhatian sekitar. Kebanyakan dari mereka menyalahkan Vanya yang berjalan dengan keadaan melamun. Astaga! Kali ini Vanya sadar betul. Ini adalah kebodohannya yang masih terpengaruh hipnotis Lian. Salah Lian. Titik.
“Maaf, Kak. Saya tidak sengaja..” ucap Vanya seraya membantu mengambil berkas-berkas yang jatuh ke lantai. Vanya juga beberapa kali membungkuk karena merasa sangat bersalah.
Tetapi ketika suara lembut nan serak-serak basah menyapa gendang telinganya, Vanya seolah terpanggil untuk mengangkat kepalanya guna melihat siapa pemilik suara tersebut.
Dan..
Betapa cerahnya mentari hari ini sepertinya akan tersaingi, karena senyum manis pria di hadapannya ini jauh lebih cerah.
“Lo mahasiswi baru, ya?”
“Huh? I—iya..” Vanya terkekeh dengan jawabannya sendiri.
Tidak sepenuhnya berbohong lhoo, ya. Karena sebentar lagi mungkin memang hal tersebut benar adanya. Mengingat tujuan Vanya mengekori Danisha ke kampus.
“Gue Jordan.”
Pria manis yang menyebutkan namanya itu memang tidak mengulurkan tangan, karena tengah membawa setumpuk berkas-berkas. Tapi hal tersebut tak mengapa bagi Vanya. Vanya juga menyebutkan namanya, “Gue Vanya, Kak.”
“Bisa menepi? Maaf. Ini koridor kampus, bukan kafe tempat berbincang.”
Deg!
Degup jantung Vanya berpacu seiring terciumnya parfum seberbak mewangi yang langsung menjadi aroma favoritnya.
Suara itu..
“P—pak Lian!?”
“Sebuah kemajuan yang pesat, ya? Anda mengenal nama saya, Gadis Pembangkang.”
***