part 3 Ari

1183 Words
Jam Istirahat kali ini aku segera ke kantin bersama teman teman ku. Kantin letaknya ada dilantai bawah. Kejadian di toilet tadi membuat Diah agak pendiam. Sampai di kantin, kami segera memesan makanan. "Di. .. Kamu nggak apa-apa?" tanya Nadia khawatir. Aku hanya melirik ke arahnya. "Len ... Gimana dong, Len. Nasibku ini ...," rengeknya. "Mana ku tau, Di. Lagian bisa-bisa nya sih kamu kaya gitu. Jorok banget tau!" kataku kesal. "Habisnya aku lagi males banget, Len, biasanya sih nggak gitu." Dia masih merengek ketakutan. "Heh! Kalian ngomongin apa sih?" tanya Laras heran. "Tanya aja tuh sama Diah!!" Aku menunjuk Diah yang sudah berkaca kaca lalu melihat ke arah lain. Diah malah nangis. Huft.. Kalau kayak gini berasa kayak aku nya yang jahat banget yah. "Lena! Pelan dikit dong. Kasian Diah nih," ucap Rena. "Emang ada masalah apa sih?" tanya Nadia sambil mengelus punggung Diah lembut. Akhirnya Diah menceritakan kejadian yang kami alami di toilet. Nadia menutup mulutnya seolah tidak percaya. Laras bergidik ngeri sambil meraba lehernya. Rena hanya geleng geleng kepala. Aku juga tidak tau harus berbuat apa? Masa iya aku temuin itu Mba kunichan terus aku minta lagi pembalutnya Diah? Ya kalau dikasih! Kalau dia malah minta tebusan gimana coba? Tebusannya nyawa? Ih ... Serem. "Terus gimana, Len? Kamu ada ide nggak?" tanya Nadia. Aku menggeleng pelan. "Cari ustaz aja deh atau apa sana. Aku males ikut ikutan masalah beginian," kataku sebal. "Arga, Len!" kata Diah antusias. Iya juga ya, mungkin Arga bisa bantu. "Ya ntar kamu tanya aja sama dia. Kali aja dia bisa bantu," ucapku sambil menyeruput es jeruk di hadapanku. Bunyi panggilan di ponselku, membuatku menatap layar itu. Ternyata Ari lagi. Ku reject lagi. Aku benar-benar malas jika harus berurusan lagi dengannya. Bagaimana tidak? Dia berselingkuh di belakangku setelah 5 tahun kami berpacaran. Dan parahnya lagi, dia berselingkuh dengan sahabatku sendiri, saat aku bekerja di cafe. "Eh ... Si bos tuh," celetuk Rena sambil melirik ke meja di ujung. Ternyata Mas Andre dan Pak Adit sedang makan juga di kantin. Mereka terlihat akrab sekali. "Emang Pak Adit sama Mas Andre temenan lama, ya?" tanyaku yang kini mendapat topik baru untuk mengobrol dan melupakan Ari. "Iya, Len. Temen kuliah. Hm ... Keren banget yah si Boss. Masih muda, ganteng, baik, bos pula," ucap Laras sambil matanya merem melek. Ini anak bayangin apaan yah? Hadeh. "Tapi masih aja jomblo, ya. Hm. Masih belum bisa move on kayanya deh," sahut Rena. "Emang kenapa?" Aku penasaran. "Pacarnya meninggal, Len. Sebulan sebelum mereka menikah. Kecelakaan katanya, kasian banget, ya," tambah Nadia. Itu lebih baik daripada ditinggalin karena diselingkuhin. Batinku. Samar-samar dari pintu masuk kantin, aku melihat seseorang yang sangat familiar. Aku mendengus sebal saat melihat wajah itu lagi. Ari? Ngapain dia di sini. Saat dia masuk, dia tengak-tengok mencari sesuatu. Aku agak menunduk agar tidak terlihat olehnya. Tapi usah aku sia-sia. "Lena ...," panggilnya dan membuat setengah pengunjung kantin menoleh padaku. Shiittt!!! Ia langsung menghampiriku dan sudah berdiri di samping Nadia, sambil menatapku lekat lekat. Teman teman ku menatapku dengan tatapan yang entah apa. Yang jelas dari raut wajah mereka yang bisa ku tangkap. Mereka seolah ingin bertanya. Siapa Len? Cieee... Ehem .. Ehem... "Kenapa? Ngapain kamu ke sini?" tanyaku dengan menaikkan nada bicara. "Aku pengen ngomong, Len. Sebentar aja. Ku mohon," katanya memelas. Laras menyikutku, karena aku hanya diam saja tidak menanggapinya. Sementara Ari terus berdiri seperti seorang sales yang ngotot agar dagangannya dibeli. "Ya udah, ngobrol di sana aja," kataku lalu berdiri dan berjalan ke meja yang dekat dengan pintu masuk. Ari mengikutiku dengan langkah yang berat. Ah, aku sudah muak dengan sikapnya Segera aku duduk sambil melipat tanganku ke depan. Tak kuhiraukan Ari yang ada di hadapanku. Bagiku dia tak ubah seperti setan. "Len ... Aku telfonin, kok kamu reject terus?" tanyanya memelas. "Suka-suka aku dong." Mas Andre dan Pak Adit melihat ke arah kami, karena posisi duduk kami tidak begitu jauh dengan mereka. "Aku mau minta maaf, Len. Maafin aku Len. Aku khilaf," katanya masih dengan tampang yang innocent. Mungkin dulu aku langsung luluh dengan wajahnya yang seperti ini, tapi tidak kali ini. "Khilaf? Iya karena ketauan kamu bilang gitu! Coba kalau nggak ketauan." Nada bicaraku masih sama seperti di awal tadi. "Tapi aku udah putus sama Tari, Len. Aku sama dia cuma just for fun aja," katanya lagi. Mendengar kalimatnya barusan, membuatku menatapnya tajam. "Just for fun kamu bilang? Dengan udah tidur sama Tari kamu bilang just for fun? Terus alasan kamu selingkuh tuh apa coba?" tanyaku. "Aku ... Aku cuma bosen, Len. Tapi aku masih sayang sama kamu, Len. Aku nggak ada rasa apa apa ke Tari." "Bosen? kamu bilang bosen, Ri?huh!" aku hanya geleng geleng kepala menanggapinya. Aku juga sama sepertinya, bosan dengan hubungan kami, tapi aku tidak pernah mengkhianatinya. "Len. kumohon kasih aku kesempatan lagi, ya. Kita mulai semua dari awal lagi. Kita kan sebulan lagi mau tunangan, Len. Masa kita batalin gitu aja, malu, Lena." "Justru karena kita belum tunangan, Ri! Untung kita belum tunangan. Mending kamu tunangan aja sama Tari sana!" Aku beranjak akan kembali ke mejaku bergabung dengan teman teman ku lagi. Rasanya pembicaraan ini sudah cukup sampai di sini saja. Ari menahan tanganku saat aku ada di dekat meja Mas Andre. "Len, kumohon, Len. Jangan gini, Len. Aku nyesel beneran deh." Kutatap matanya untuk mencari kejujuran dan ketulusan dari sana. Tapi jelas sekali tidak kutemukan apa pun dari manik matanya yang coklat itu. Semua busuk. "Lepas!" Aku berusaha melepaskan genggaman tangan Ari. Tapi Ari tetap menggengam erat tanganku. "Aku nggak akan lepasin Len sampai kamu maafin aku." "Sebentar ... Kamu ini ngotot pengen balik sama aku apa alasannya?" tanyaku heran. "Ya aku masih sayanglah Len sama kamu." ucapannya malah membuatku tertawa geli. "Sayang kamu bilang? Sejak kapan kamu bisa bohongin aku, Ri? kamu pikir aku nggak tau alesan sebenarnya?" tanyaku sinis. Ari diam beberapa saat. "Yakin karena masih sayang? Bukan karena biar fasilitas dari Papah kamu dikasihin lagi ke kamu? Mobil? Jabatan kamu di perusahaan?Rekening kamu? Apa lagi ya. .. Aku lupa." Jawabanku membuatnya melonggarkan tangannya. Kutarik tanganku dan menjauh darinya. Dan kalimat ku tadi benar-benar menamparnya keras. "Enggak Len.. Bukan gitu. Aku masih sayang sama kamu." dia menambah ekspresi wajahnya menjadi benar benar mengiba. "Makanya kalau mau boong dikasih garam. Biar rada gurih dikit!" sini aku. Kudengar Mas Andre dan Pak Adit sedikit terkekeh mendengar kalimatku. Aku tidak sadar bahwa aku dan Ari sedang menjadi tontonan gratis di kantin. Bahkan aku sedang berdiri di samping meja Pak Adit dan Mas Andre. Otomatis mereka mendengar semua percakapanku dengan Ari. "Udahlah. Mau kamu sujud sujud kaya apa pun. Aku nggak bakal balikan sama kamu. Bilang sana sama mamah kamu. " Kataku lalu pergi meninggalkannya. Dia terpaku di sana menatapku yang menjauh darinya. Memang aku melihat aura penyesalan darinya. Tapi bukan karena dia menyesal karena mengkhianati ku, tapi menyesal karena sampai ketauan selingkuh dariku. Orang tua Ari memang sahabat mendiang orang tuaku. Kami kenal sudah sangat lama, bahkan dari kami kecil. Lalu kedua orang tua kami menjodohkan kami, alasannya agar hubungan mereka akan terus langgeng. Awalnya aku menolak, karena aku tidak mempunyai perasaan spesial kepada Ari. Tapi berbeda dengan Ari. Dia sepertinya sangat senang dijodohkan dengan ku. Kupikir cinta bisa tumbuh seiring berjalannya waktu. Jadi kuterima saja perjodohan itu. Tapi ternyata kedua orang tuaku meninggal sebelum acara pertunangan digelar. Dan firasatku benar tentang dia. Aku kembali ke meja bersama teman temanku yang lain. Dengan pertanyaan yang bermacam macam dari mereka. Kujelaskan semua tentang hubunganku dengan Ari. Mereka kemudian maklum dengan sikapku barusan. =======
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD