09 - Wedding Ring

2052 Words
Almira baru saja tiba di butik. Ia langsung menuju ke ruangannya. Namun, tak lama kemudian, salah satu pegawainya datang dan mengatakan jika mereka memiliki pesanan dari sebuah sanggar tari. Total keseluruhannya mereka minta tujuh desain dan masing-masing akan diproduksi enam hingga sepuluh. Tentunya, itu menjadi proyek yang cukup besar bagi butik Almira. “Mereka mau desain yang seperti apa?” tanya Almira. “Ini detail pesanannya, Mbak. Mereka baru memberikan gambarannya saja, dan meminta kita yang membuat desainnya,” jawab pegawainya itu. Almira meraih buku catatan yang disodorkan pegawainya, lalu membacanya. Menurutnya, proyek kali ini cukup rumit. Tapi Almira tetap mau mengambilnya karena menurutnya cukup menarik. “Ya sudah, nanti aku coba buat sketsanya dulu. Bagi yang ada waktu dan mau membantuku, tolong panggil mereka ke sini! Karena tidak mungkin kita menyiapkan hanya pas tujuh desain sesuai pesanan mereka. Aku akan berencana untuk membuat beberapa opsi untuk mereka,” ucap Almira yang diangguki pegawainya. Setelah itu, Almira mulai fokus memperhatikan detail model pertama yang pihak sanggar itu inginkan. Setelah hampir setengah jam, Almira mulai mengambil kertas dan perlahan mulai menggoreskan pensilnya di sana. Waktu demi waktu berlalu. Namun Almira terlalu asyik dengan kegiatan hingga ia lupa waktu. Apalagi mengingat hari ini butiknya cukup ramai sehingga tak ada sat u pun pegawai yang membnatunya men-desain. Almira sudah menyelsaikan satu desain. Dan kini ia sedang mengerjakan desain kedua. Kerangka bajunya sudah tampak. Ia hanya perlu menambah detail dan ornamennya saja. Untuk mendesain pakaian, terlebih yang rumit seperti seragam tari, tentunya memang tidak mudah dan perlu waktu yang cukup lama untuk menyelesaikannya. Detail pakaian tari cenderung lebih rumit dibanding pakaian biasa. Belum lagi dari pihak sanggar meminta ditambahkannya aksen tradisional di beberapa titik. Almira mendengar pintu ruangannya dibuka tanpa izin, membuatnya berdecak dan sontak mengangkat kepalanya. Alisnya menyerit saat mendapati sosok Naga di sana. “Ada perlu apa?” Sejak kejadian semalam, Almira memang mulai menunjukkan kembali sisi dinginnya pada Naga sebagai luapan kekecewaannya. “Kamu tidak lupa kan, jika saat ini kita harus bertemu WO yang Ibu rekomendasikan?” Naga balik bertanya. Almira memejamkan matanya sejenak. Ia lupa. Bahkan ia belum membuat list tamu yang akan ia undang. Terlebih lagi, saat ini ia sedang tanggung mengerjakan desain baju yang baru setengah jadi. “Maaf, aku benar-benar tidak ingat. Bisakah kita bertemu WO-nya nanti sore saja? Tidak masalah jika kamu tidak menjemputku. Aku bisa naik taksi,” ungkap Almira. “Wah, sepertinya kamu lebih sibuk dariku hingga bisa membuatku yang sudah setengah jam menunggu ini pulang dengan tangan kosong,” sindir Naga, membuat Almira menghela napas panjang agar tidak terpancing emosi. “Aku sedang ada proyek, dan saat ini aku sedang mencicilnya. Jadi-” “Apa kamu lupa kalau pernikahan kita akan dilaksanakan satu setengah bulan lagi?” potong Naga. “Tentu aku ingat. Tapi masalahnya aku juga tidak bisa menolak proyek ini. Lagi pula, aku bisa kok membagi waktu untuk mengurus pernikahan kita dan pekerjaanku.” “Baru sehari saja kamu sudah sampai mau menunda bertemu WO,” sindir Naga. “Aku benar-benar lupa, dan kali ini benar-benar tidak ada hubungannya dengan proyek yang sedang aku kerjakan. Aku memang seperti ini jika sedang asyik menggambar,” balas Almira. “Baik. Aku akan menunggumu menyelesaikan desain satu baju itu,” ucap Naga. “Memangnya kamu tidak punya kerjaan? Eh, maksudnya... oke aku tahu kamu orang sibuk. Lalu kenapa kamu malah mau menungguku?” bingung Almira. “Supaya kamu tertekan dan cepat menyelesaikan desain itu,” jawab Naga enteng. Almira mendengus kesal. Bisa gila dia kalau Naga benar-benar menungguinya di sini. Sementara Almira yakin, untuk menyelesaikan desainnya kali ini ia masih butuh waktu lebih dari satu jam. “Baik, kamu menang. Ayo kita pergi sekarang!” putus Almira sambil membereskan mejanya dengan suasana hati yang dongkol. Naga tersenyum miring. Ia menyimpan kedua tangannya di saku celana. Berdiri dengan gaya cool menunggu hingga Almira selesai bersiap. Selang beberapa detik, gadis itu menghampiri Naga. Keduanya pun segera pergi meninggalkan area butik. Almira kira mereka akan langsung datang ke kantor WO itu yang terletak di Jakarta Selatan. Namun ternyata pihak WO bersedia menemui mereka di sebuah restoran tak jauh dari butik Almira. “Mereka sudah sampai sejak setengah jam yang lalu. Jadi sebaiknya kita segera masuk!” ujar Naga saat melihat Almira yang tengah berniat merapikan riasannya. Almira tersingkap dan segera keluar dari mobil. Ia berjalan berdampingan dengan Naga yang sengaja memperlambat langkahnya agar bisa disusul oleh Almira. “Selamat siang, wah, calon istrinya cantik ya, Pak?” puji salah satu pegawai WO itu. “Terima kasih,” ungkap Almira, karena Naga hanya tampak tersenyum singkat menannggapi ucapan orang itu. Mereka pun mulai membahas konsep dan segala persiapan yang mereka inginkan. Almira lebih banyak diam dan tidak memberikan usulan, kecuali soal busana. Ia ingin busana pengantin dan keluarganya disiapkan oleh butiknya sendiri. Mulai dari desain, bahan, hingga pembuatannya. Toh ia memiliki semua sumber daya yang diperlukan. Sementara yang lain, Almira serahkan pada pihak WO, karena ia merasa kewalahan jika harus ikut andil langsung pada banyak bagian, sementara pernikahannya itu hanya tinggal sekitar satu setengah bulan lagi. Pihak WO meminta list orang-orang yang ingin mereka undang. Dan ternyata, Naga sudah membuatnya dan menyimpannya di flashdisk. Sementara Almira berkata akan mengirimkan datanya melalui surel nanti malam, karena ia belum sempat membuatnya. Setelah itu, mereka segera pergi. Hari ini mereka juga harus sudah memesan cincin. Jadi, Naga membawa Almira ke sebuah toko perhiasan yang ada di sebuah pusat perbelanjaan. “Jangan lama-lama, karena pukul tiga nanti aku masih harus kembali ke kantor,” bisik Naga, setelah pria itu meminta pegawai toko mengeluarkan koleksi-koleksi terbaiknya. “Bagaimana dengan yang ini, Mbak? Cincin ini dihiasi oleh tiga berlian putih berkualitas tinggi yang cukup langka. Ini merupakan koleksi terbaik kami. Berlian utamanya-” “Adakah yang lebih simpel dari ketiga ini?” tanya Almira. “Hmm... ada, Mbak. Tapi ketiga ini merupakan produk terbaik kami, baik dari segi kualitas, harga maupun desainnya,” ujar pegawai itu. “Memang apa yang salah dengan cincin itu? Bukankah itu bagus?” sambung Naga. Ia tampaknya cukup tertarik dengan cincin yang baru saja dijelaskan oleh pegawai tokonya. “Itu bukan aku banget. Aku lebih suka cincin biasa, kalau perlu yang tanpa berlian,” jawab Almira, membuat Naga terkekeh. “Istri Naga Mahawira mau cincin yang sangat biasa?” tanya Naga. “Kenapa? Tidak ada salahnya, kan? Aku hanya kurang suka memakai sesuatu yang tampak mencolok,” balas Almira. “Oke. Keluarkan saja yang dia mau, Mbak! Nanti kalau pilihannya terlalu jelek, saya mau ambil yang itu,” ucap Naga sambil menunjuk cincin yang kata pegawainya tadi merupakan cincin terbaik di toko ini. Pegawai toko itu memasukkan ketiga cincin yang ia keluarkan ke dalam etalase. Lalu, ia mengambil dua model cincin dengan desain lebih simpel dan masing-masing hanya memiliki satu berlian kecil. Satu berwarna biru tua dan satunya lagi putih. “Tunggu, Mbak! Saya mau lihat yang itu!” Almira menunjuk sebuah cincin single bertahtakan mutiara putih yang ada di etalase. “Tapi itu bukan cincin pernikahan, Mbak. Itu hanya-” “Tidak masalah. Toh calon suami saya juga bisa memilih cincin lainnya untuk dipasangkan dengan ini nantinya, kan?” potong Almira. Lagi pula, mau pasangan seperti apapun pada akhirnya model cincin mereka akan berbeda. “Mana boleh seperti itu?” protes Naga. “Kenapa tidak? Yang penting warnanya sama,” jawab Almira. Ia menerima cincin yang diberikan pegawai toko untuknya. Saat mencobanya, ia tersenyum lebar karena cincin itu pas di jari manisnya. “Saya suka ini. Saya mau ambil yang ini.” “Aku bahkan belum bilang setuju,” Naga kembali memprotes. “Sepertinya masalah cincin tidak perlu diperdebatkan,” kesal Almira, namun Naga tampak mengacuhkannya. “Saya mau melihat cincin dengan tiga berlian tadi!” pinta Naga. Pegawai itu pun kembali mengambilkannya. Naga mengambil cincin untuk sang laki-laki, lalu mencobanya. Cincin itu memang tampak polos. Benar kata Almira, sebenarnya model cincin yang laki-laki ya begitu-begitu saja. Mereka bisa membelinya tanpa harus memilih yang pasangan. Tapi entah kenapa, bagi Naga itu memiliki arti yang mendalam. Cincin pernikahan bukan sembarang cincin, namun memiliki fungsi pengikat bagi kedua insan. Naga meraih tangan Almira, melepas cincin dengan mutiara kecil dari tangan gadis itu dan memasangkan cincin pilihannya sendiri. Tanpa disangka, cincin itu tampak pas di jari Almira, membuat Naga dapat tersenyum puas, sementara Almira sudah bersiap memprotesnya. “Saya ambil yang ini,” putus Naga, membuat Almira berdecak kesal. “Tapi aku sudah punya pilihanku sendiri. Ini jauh lebih baik menurutku,” protes Almira. “Saya juga ingin mengambil yang ini sebagai hadiah,” ucap Naga sambil meletakkan cincin pilihan Almira di atas etalase kaca. “Jadi cincin pasangan ini ditambah dengan cincin mutiara pilihan Mbaknya ya, Pak?” tanya pegawai itu memastikan. Lalu, Naga mengangguk. Ia bersiap mengeluarkan dompetnya, namun Almira menahan lengan lelaki itu. “Beli dua? Mau buat apa? Yang berlian itu aja pasti udah mahal banget,” Almira keheranan. “Yang sepasang untuk cincin pernikahan kita. Lalu, yang satunya, kamu bilang kamu menginginkannya, kan?” Almira melongo tidak percaya. “Tidak. Jika begitu ceritanya, lebih baik yang satu tadi batal saja,” pinta Almira. Ia tidak enak jika membiarkan Naga membayar terlalu mahal untuknya. Apa lagi yang satu itu hanya berstatus sebagai hadiah, tidak terlalu penting juga, kan? “Ah iya, Mbak,” Awalnya Almira kira Naga akan mematuhi ucapannya. Namun... “Tolong tunjukkan juta set perhiasan yang terbaik dan cocok digunakan untuk saserahan!” pinta Naga, membuat Almira menelan salivanya dengan susah payah. “Masih harus pakai set perhiasan? Cincinnya aja udah mahal banget, dan kita bahkan belum tanya harga pastinya. Bagaimana kalau cincin itu saja ditambah dengan satu set pakaian seperti normalnya?” usul Almira. “Bukankah urusan saserahan itu menjadi hak pihak laki-laki untuk memilihnya?” tanya Naga. “Ya tapi-” “Ini adalah dua koleksi terbaru kamu, Pak,” ujar pegawai toko itu, mengintrupsi ucapan Almira. Naga menatap arlojinya yang ternyata sudah hampir menunjuk ke angka tiga. “Kamu harus buru-buru, kan? Udah cincin tadi aja! Nggak perlu tambah yang set. Nanti kelamaan pilihnya,” ujar Almira. “Kamu suka yang mana?” tanya Naga, mengabaikan ucapan Almira sebelumnya. “Hmm... susah. Perlu waktu lama kalau kamu memintaku memilih. Aku juga masih harus tanya harga dan-” “Oke, saya ambil keduanya,” putus Naga dengan begitu enteng hingga membuat Almira nyaris memekik. Gadis itu kini sedang membungkam mulutnya sambil menatap horor ke arah Naga. Ia menggeleng, kemudian tatapannya beralih ke pegawai toko yang juga tampak terkejut. Padahal niatnya Almira berkata demikian agar Naga mengurungkan niatnya untuk membeli set perhiasan itu. “Pak, Anda serius? Jika ditotal, mungkin bisa lebih dari lima miliar,” ucap pegawai toko itu. “Enggak, Mbak. Kami-” “Ini kartunya,” Naga memotong ucapan Almira sambil menyodorkan black card-nya. Almira tahu Naga adalah orang yang sangat berpengaruh. Tapi, black card bertuliskan AMEX? Bukankah hanya orang-orang tertentu yang bisa memilikinya? “Ba- baik, Pak. Kalau begitu saya akan membuatkan notanya,” ucap pelayan itu yang juga tampak cengo melihat kartu limited edition itu. “Kamu tidak lupa, kan, kalau pernikahan kita cuma hitam di atas putih?” bisik Almira. Bukankah rasanya sayang sekali menghabiskan uang miliaran hanya untuk menunjang jalannya sebuah drama? “Biar bagaimana pun aku adalah Naga Mahawira. Mana mungkin aku memberikan saserahan yang biasa saja untuk istriku?” balas Naga seperti tanpa beban. “Tapi lima miliar itu sangat besar. Dan baru perhiasannya saja.” Naga menatap Almira dengan tatapan lelahnya, seakan mengisyaratkan gadis itu untuk diam dan berhenti memprotes hal-hal yang dia rasa tidak perlu. “Totalnya lima miliar tiga ratus dua puluh tujuh juta ya, Pak,” ujar pegawai toko yang baru saja kembali sambil menyerahkan nota total belanja Naga dan Almira. “Jika kamu menyesal, aku tidak akan sanggup mengganti uangmu ini. Aku tidak mau sampai menjual butikku hanya untuk ganti rugi atas kegilaanmu,” bisik Almira. Namun, dengan santainya Naga mengetikkan pinnya untuk melakukan p********n secara transfer. “Tunggu sebentar ya, Pak, perhiasannya sedang kami kemas,” ucap pegawai itu dan hanya diangguki Naga. Almira merasa kehabisan kata-kata. Ini adalah kali pertamanya menghabiskan uang sebanyak itu dalam waktu hanya sekitar tiga puluh menit saja. Lalu, bagaimana kalau suatu hari Naga menyesal dan meminta uangnya dikembalikan? Apakah semua perhiasan itu masih bisa dijual tanpa rugi untuk menggantikan uang Naga? Almira merasa horor sendiri memikirkannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD