14 - Berubah

2133 Words
Hari demi hari berlalu. Terhitung sudah lima hari sejak Almira resmi menyandang gelar sebagai istri seorang Naga Mahawira. Almira merasakan perubahan yang cukup besar dalam hidupnya. Jika dulu ia terbiasa melakukan apapun berdua dengan ibunya, lain halnya untuk sekarang. Sejak kakinya sembuh total, ia jadi harus menyelesaikan pekerjaan rumah sendirian. Mulai dari memasak, mencuci, bersih-bersih, dan lain sebagainya. Sebenarnya Naga tidak keberatan jika harus terus menggunakan jasa orang lain untuk mengurus apartemen mereka. Namun, justru Almira yang menolak. Keinginan Almira hanyalah bisa memiliki kehidupan yang normal. Masak dan melakukan apapun sendiri di rumah sebelum atau sesudah ia bekerja. Saat ini, Almira sudah selesai mencuci piring bekas makan malamnya dengan Naga. Ia pun segera ke kamar. Ia melihat Naga masih tampak sibuk dengan laptopnya. "Kamu ingat fashion show yang akan digelar sekitar satu bulan lagi?" tanya Naga, masih dengan netra yang mengarah ke laptop sepenuhnya hingga membuat Almira ragu, apakah lelaki itu berbicara dengannya atau bukan. "Almira," panggil Naga. "Ah soal fashion show, iya aku tahu," jawab Almira pada akhirnya. "Kamu akan datang secara pribadi atau-" "Pribadi. Butikku tidak akan aku ikut sertakan. Mengingat kemarin aku sangat fokus dengan persiapan pernikahan kita," jawab Almira. "Itu bagus. Kita bisa pergi berdua sebagai tamu undangan. Kita akan muncul di depan publik untuk pertama kalinya," ujar Naga. Almira mengangguk. Ia tak keberatan datang bersama Naga. Memang, apa ruginya? Almira beranjak ke kamar mandi. Setelah itu, ia segera berbaring karens tubuhnya yang memang sudah lelah. Almira tidur dengan posisi miring agar bisa melihat Naga yang tampak masih asyik dengan perangkat komputernya itu. Lelaki itu benar-benar tidak berubah sedikit pum. Tetap dingin dan tak tersentuh. Padahal mereka sudah tinggal bersmaa selama lima hari. Namun, itu seakan tak berarti di mata Naga. "Ada apa?" tanya Naga dengan suara dingin. Almira sedikit tersingkap. Ia pun segera mengalihkan tatapannya ke arah lain setelah ingat bagaimana tingginya kepekaan Naga terhadap apapun yang ada di seklilingnya. "Tidak. Hanya saja, memangnya kamu tidak mengantuk?" tanya Almira. Naga menoleh ke arah Almira sebentar, kemudian menggeleng. "Tidurlah dulu jika kamu sudah mengantuk!" Almira menghela napas panjang. Padahal bukan itu jawaban yang ia mau. Ia hanya ingin melihat sang suami beristirahat. Meski tidak melakukan apa-apa, namun ia sangat suka melihat wajah damai Naga saat tengah tertidur. Ya. Meski status mereka saat ini sudah suami-istri, nyatanya Almira hanya bisa menikmati wajah rupawan suaminya itu saat tengah terlelap. Almira tidak punya keberanian lebih untuk beradu pandang terlalu lama dengan Naga. Lamunan Almira buyar saat ia mendengar suara laptop yang tertutup. Keadaan kamar memang sunyi, seperti biasanya. Sehingga suara sekecil apapun akan dengan mudah ia dengar. Naga tampak bangkit dari posisinya. Lelaki itu melewati Almira kemudian Almira bisa merasakan jika ranjang di sebelahnya bergerak, menandakan jika seseorang baru saja menempatinya. "Kamu tidak mau tidur?" tanya Naga. Karena ia tahu jika Almira masih terjaga. "Ini aku mau tidur kok," jawab Almira. Gadis itu segera memejamkan matanya. Sebisa mungkin berusaha untuk jatuh ke alam mimpinya. Namun, entah kenapa rasanya sangat sulit. Almira menatap jarum jam yang terus bergerak. Terhitung sudah satu jam berlalu sejak percakapannya dengan Naga yang terakhir. Apakah laki-laki itu sudah tidur? Apa boleh Almira memastikannya? Dengan gerakan ragu, Almira membalikkan tubuhnya menghadap ke arah Naga. Ia tersenyum saat melihat sang suami telah memejamkan matanya. Dengan demikian, ia bisa melihat wajah rupawan itu hingga puas. Almira masih tak menyangka jika saat ini ia sudah berstatus sebagai istri orang. Ia sudah menikah sejak lima hari yang lalu. Tapi sungguh, hatinya masih saja terasa kosong tak berpenghini. Tak ada sama sekali kehangatan pasangan muda yang baru saja menikah. Tak ada sama sekali interaksi asyik seperti yang dilakukan keluarga pada umumnya. Semua terasa hambar. Sikap Naga terlampau dingin untuk Almira. Perlahan, tangan Almria tergerak untuk menyentuh wajah bak pahatan milik sang suami. Namun, baru saja ujung jarinya menyentuh pipi Naga, lelaki itu sudah lebih dulu bergerak menangkap tangan Almira hingga gadis itu terlonjak kaget. Almira berusaha melepas tangannya dari sang suami dengan sangat berhati-hati. Namun, ternyata lelaki itu malah membuka matanya dan menatap tajam ke arah Almira hingga membuat nyali gadis itu ciut. Dalam satu sentakan, Naga berhasil membawa Almira ke dalam kungkungannya. Mata Almira bergerak kesana-kemari tidak nyaman. Namun Naga seolah enggan memperdulikannya. "Ka- kamu mau apa?" tanya Almira ketakutan. "Sudahkah aku bilang kalau aku tidak suka diperhatikan oleh orang asing?" omel Naga. "Orang asing?" Tanpa sadar, Almira menghumamkan dua kata tersebut. Hatinya seketika terasa nyeri. Kenapa harus Naga yang mengatakannya? Kenapa harus pria yang berstatus sebagai suaminya masih menyebutnya orang asing? "Ingat, Almira! Aku menikahimu bukan untuk kau cintai! Aku hanya butuh kamu sebagai status," tegas Naga dengan mata berkilat-kilat. Almira menggigit bibir bawanya. Berusaha meredam tangis yang mungkin akan segera pecah sebentar lagi. "Jangan sentuh aku tanpa izinku! Dan jangan menaruh harapan padaku, karena aku tidak mungkin bisa membalasnya!" tegas Naga. Almira mengangguk kecil. Rasanya seluruh tubuhnya seperti remuk saat ini. Ia rasa, tubuhnya terlalu ekstrem dalam menyikapi perlakuan Naga padanya. "Aku sangat muak dengan pembangkang. Jadi, jangan jadi pembangkang!" ujar Naga dengan volume lirih, namun penuh penekanan. Setelah itu, Naga menarik diri dari Almira. Ia bangun dan pergi dari kamar, meninggalkan Almira sendiri. Sementara itu, Almira hanya bisa menangis sambil membungkam mulutnya agar tak bersuara. Gadis itu menangis dalam diam. Rasanya sangat sulit untuk ia tahan. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Naga, dan kenapa pria itu bisa tiba-tiba seperti ini. Seingatnya, tadi semua baik-baik saja. Hanya karena Almira yang ingin menyentuh wajah suaminya sendiri, ia jadi harus mendengar luapan emosi Naga. Almira memeluk guling dan meredam tangisnya di sana. Ia sangat terkejut hingga yang bisa ia lakukan hanya menangis. *** Pagi hari, Almira menemukan Naga tertidur di sofa ruang tamu. Sebenarnya ia ingin membangunkannya. Tapi, teringat sikap Naga semalam, ia pun mengurungkan niatnya. Ia melanjutkan langkahnya menuju dapur untuk menyiapkan sarapan untuk dirinya dan Naga. Setelah itu, ia menata hidangannya di atas meja. Almira melamun. Ia ragu, haruskah ia memanggil Naga untuk sarapan, atau menunggunya hingga lelaki itu datang dengan sendirinya ke sini. Tapi, mengingat sosok itu belum juga menunjukkan batang hidungnya, Almira pun berinisiatif untuk memanggilnya. Almira yakin, saat ini Naga pasti sudah ada di kamar. Ia pun segera menuju ke kamar. Dan dugaannya benar. Saat ia masuk, tampak Naga baru saja selesai mengenakan dasinya. "Sarapannya sudah-" "Aku sarapan di kantor saja. Kamu bisa ke butik sendiri, kan? Aku buru-buru," potong Naga. Almira terdiam beberapa saat, terkejut dengan sikap Naga padanya. Apakah ini artinya mulai dari sekarang akan ada jarak yang kian besar di antara mereka? Sadar belum juga mendapat jawaban, Naga pun menoleh ke arah Almira. "Punya mulut kan, buat jawab?" Almira tersentak. "I- iya. Nanti aku bisa berangkat sendiri." Almira masih membeku di tempatnya. Bahkan saat Naga melewatinya begitu saja, seolah tak ada Almira di sana. Lelaki itu sudah berangkat bekerja. Dan ia tak mau melirik masakan Almira sekali pun. 'Kenapa semuanya jadi seperti ini?' Jika tahu keinginannya untuk menyentuh wajah Naga akan berakhir seperti ini, Almira pasti akan mengurungkannya. Oh ayolah! Bukankah itu hanya hal kecil? Namun kenapa dampaknya sikap Naga menjadi sedingin ini padanya? Biasanya Naga memang dingin. Tapi setidaknya ia masih bisa menghargai Almira selama ini. Sedangkan semalam dan pagi ini? Almira mengusap air matanya yang turun tanpa seizinnya. Jika sudah seperti ini, memangnya ia bisa apa? Almira memilih untuk kembali ke meja makan dan menyantap masakannya sendirian. Hatinya terasa perih. Setidaknya, biasanya Naga mau memakan masakannya. Tapi pagi ini, jangankan memakannya. Bahkan menanyakan apa yang Almira masak saja lelaki itu tampak tak sudi. "Sudahlah, Ra. Mungkin dia memang sedang terburu-buru. Kamu berpikiran terlalu jauh. Ini pasti hanya kebetulan saja," gumam Almira dengan senyum miris. Selesai sarapan, Almira membereskan sisa makanannya, kemudian kembali ke kamar untuk bersiap menuju ke butik. Setelah itu, ia pun segera menuju ke basement untuk mengambil mobilnya. Almira mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Ia berusaha berkonsentrasi penuh ke arah jalanan. Namun, rasanya sangat sulit untuk menghapus jejak luka yang Naga torehkan malam tadi dan pagi ini. "Mbak Rara, desain baju yang Mbak Rara serahkan tiga hari lalu sudah selesai saya jahit. Mbak Rara mau melihatnya dulu?" Seorang pegawai mencoba berbicara dengan atasannya itu. Tapi Almira tampak sibuk dengan pikirannya sendiri. "Mbak Rara," panggilnya. Almira menoleh, lalu ia terkejut saat melihat salah satu pegawainya yang kini ada di dalam ruangannya. "Eh, iya? Ada apa?" tanya Almira. Pegawai itu tersenyum, "saya sudah selesai membuat sampel desain baju yang Mbak Rara serahkan dua hari yang lalu. Apa Mbak Rara mau mengeceknya sekarang?" Almira memijat pangkal hidungnya yang terasa pening. Rasanya sangat sulit baginya untuk berkonsentrasi. "Ah iya. Nanti saya akan lihat. Oh iya, Mbak. Bisa minta tolong buatkan sampel untuk ini juga?" Almira menyodorkan sebuah kertas dengan gambar desainnya di sana. "Wah, cantik sekali," pegawai itu memuji desain Almira. "Saya akan menjadikannya produk limited edition. Saya juga akan mengenakannya untuk menghadiri Paris Fashion Week bulan depan," ujar Almira. "Siap, Mbak. Kalau begitu saya permisi, ya? Saya akan segera membuat sampelnya. Nanti kalau ada yang mau saya tanyakan, saya akan ke sini lagi," ucap pegawai itu. Almira mengangguk sembari tersenyum. Setelah itu, ia pun kembali sendirian di ruang kerjanya. Gadis itu memilih untuk memutar musik agar pikirannya teralihkan. Namun, yang ada dia malah mengantuk. "Apa sebaiknya aku keluar cari angin dulu kali, ya?" gumam Almira. Almira baru ingat. Tak jauh dari butiknya, ada kedai kopi yang baru saja buka. Mungkin minum kopi bisa mengembalikan fokusnya. Almira mengeluarkan dua lembar uang lima puluh ribuan dari dompetnya. Tak lupa, ia pun membawa ponselnya. Setelah itu, ia keluar dari ruangannya. "Mbak Cantika!" seru Almira. Pegawai yang Almira panggil pun menoleh. "Titip butik sebentar, ya! Saya mau ada perlu. Nanti kalau ada apa-apa bisa telepon saya." "Iya, Mbak," jawab pegawai bernama Cantika itu. Almira pun segera keluar dari butiknya yang hari ini cukup ramai. Ia menuju ke cafe itu dengan berjalan kaki, karena memang jaraknya yang tidak terlalu jauh. Sampainya di sana, hanya ada empat orang saja selain dirinya yang datang. Almira pun segera menuju ke meja pemesanan. Ia membaca menu yang ada, kemudian memutuskan untuk membeli. "Macchiato nya satu ya, Mas," Almira mulai memesan. "Baik. Silakan ditunggu!" Almira bukanlah penyuka kopi sejati. Ia hanya sesekali minum kopi, itu pun yang dengan tambahan steamed milk seperti macchiato atau cappucino. Setelah memesan, Almira memilih tempat duduk yang paling pojok, dekat dengan kaca. Dari sana ia bisa melihat kendaraan yang berlalu lalang tanpa mendengar suara bisingnya. Bibirnya mengulas senyum. Sepertinya, keputusannya untuk mencari udara segar adalah pilihan yang tepat. Ia bisa lebih rileks dan melupakan sejenak permasalahan yang tengah ia hadapi. "Almira?" Almira menoleh saat mendengar namanya disebut. Senyumnya bertambah lebar saat ia menyadari siapa yang datang. "Billy? Loh, kamu bukannya lagi ambil spesialis di Aussie, ya?" tanya Almira setelah pria itu menghampirinya. "Sudah selesai. Aku baru saja kembali sekitar dua minggu yang lalu," terang Billy. Almira mengangguk paham. "Boleh aku duduk di sini?" tanya Billy, sambil menunjuk kursi kosong di dekat Almira. "Silakan saja!" Lelaki itu pun segera duduk di sana. "Sudah pesan? Bagaimana kalau aku mentraktirmu hari ini?" tawarnya. "Eh? Dalam rangka apa?" kaget Almira. "Ya kan lama kita tidak bertemu. Cafe ini juga baru grand opening dua hari yang lalu kan, jadi-" "Tunggu! Jadi ini cafe kamu?" potong Almira, yang segera diangguki oleh Billy. "Jadi jangan sungkan! Pesan saja apa yang kamu mau! Kamu tidak perlu membayar," ujar Billy, membuat Almira terkekeh. "Kamu sepertinya salah menawarkan itu padaku. Butikku ada di sebelah sana. Sangat dekat, jadi aku bisa ke sini setiap hari," canda Almira. "Ya tidak masalah. Hanya mentraktir teman satu atau dua cangkir kopi tidak akan membuatku gulung tikar, Ra," balas Billy. "Bisa saja kamu." "Permisi, ini pesanan Anda," ucap seorang waitress mengantar pesanan Almira. "Terima kasih," ungkap Almira. "Kamu tidak minum?" tanya Almira pada Billy. "Aku ke sini hanya untuk mengecek cafe sebentar, sebelum berangkat ke rumah sakit," jawab Billy. Billy adalah teman SMA Almira. Dia kini sudah menjadi seorang dokter spesialis di rumah sakit milik keluarganya. Dan Almira baru tahu kalau temannya itu adalah pemilik cafe ini. Ya, bisa dibilang Billy memang berasal dari keluarga yang berada. Kakeknya memiliki rumah sakit besar. Ayahnya juga merupakan pengusaha, sedangkan ibunya adalah dokter spesialis, sama seperti Billy. "Oh iya, Ra. Boleh minta kontak kamu? Aku tidak masuk grup SMA. Dan aku masih cukup baru di sini, jadi belum punya banyak teman," ujar Billy. Almira mengangguk. Dengan senang hati, ia pun menuliskan nomornya di ponsel Billy. "Aku duluan, ya! Aku ke sini kan memang cuma mau mampir sebentar niatnya," pamit Billy. "Eh? Ada jam dinas, ya?" tanya Almira yang segera diangguki Billy. "Hati-hati di jalan!" "Iya. Nice to meet you. Semoga kita bisa secepatnya bertemu lagi, ya? Aku tidak punya banyak teman di sini." "Iya. Aku juga banyak free-nya, kok. Kabari saja kalau mau meet up!" balas Almira sembari tersenyum. Setelah itu, Billy pun pergi. Almira kembali sendirian di sana. Ia menatap ke jendela yang menampilkan beberapa kendaraan yang berlalu lalang sambil meminum macchiato pesanannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD