20 - Patah

1404 Words
Malam ini, Almira sulit tidur karena sore tadi ia sudah tidur terlalu lama. Akhirnya ia menghabiskan waktunya untuk membaca n****+ online di ponselnya. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Ia yakin, Naga pun saat ini sudah ada di kamarnya. Namun, suara pintu apartemen yang dibuka membuat gadis itu terhenyak. Kira-kira siapa yang datang? Almira memakai sendal karet miliknya, lalu memberanikan diri membuka pintu kamar. "Naga? Kamu dari mana? Aku kira kamu sudah di kamar sejak tadi." Almira pikir keheningan yang terjadi di apartemen itu karena Naga yang sudah istirahat di kamarnya. Namun ternyata ia salah. Naga baru saja masuk, dengan raut yang sulit Almira deskripsikan. "Kamu kenapa?" tanya Almira. Ia melangkah mendekat, namun kemudian kembali memundurkan dirinya saat menghirup aroma menyengat dari tubuh sang suami. "Kamu mabuk?" tanya Almira lagi. Naga menoleh ke arah Almira. Pria itu meringis, hingga membuat kekhawatiran Almira kembali timbul. "Kamu ngapain di sini? Ini sudah malam," celoteh Naga, yang sepertinya tidak sadar dengan apa yang baru saja ia katakan. "Aku tadi tidak bisa tidur. Mungkin karena terlalu lama tidur di butik. Jadi- eh!" Almira kembali terhenyak saat melihat tubuh Naga yang oleng. Dengan sigap, gadis itu membantu Naga untuk menegakkan kembali tubuhnya. Tatapan mereka sempat bertemu. Almira hendak menarik diri, namun ternyata pinggangnya sudah lebih dulu dijerat oleh Naga. Almira merasa ada yang salah dengan tatapan itu. Tunggu! Atau memang ia yang salah? Apa Naga tidak suka bersentuhan dengannya? Apa dia sudah terlalu lancang menyentuh Naga seperti ini? "Maaf kalau aku lanc-" "I love you," potong Naga. Almira kembali tercekat. Belum hilang keterkejutannya atas apa yang baru saja ia dengar, kejadian selanjutnya yang Naga lakukan kembali membuatnya semakin bungkam. Naga menempelkan bibirnya pada bibir Almira tanpa aba-aba. Mengecup bibir itu tanpa banyak pergerakan, namun cukup dalam. Sebelah leher Almira sudah lebih dulu lelaki itu tahan, hingga Almira tak bisa menarik diri. Namun, meski tak ditahan pun sepertiya Almira akan tetap terdiam karena efek kejut yang muncul menerima tindakan Naga yang tanpa aba-aba ini. Almira nyaris tak bernapas. Selain karena keterkejutan dan ketidaksiapannya, aroma yang muncul dari mulut Naga juga membuatnya pusing. Setelah hampir tiga menit, Naga menjauhkan bibirnya. Ia menatap Almira sendu. Belum pernah ia menatap Almira sedalam ini. "I love you. You know that?" tanya Naga dengan suaranya yang parau. "Benarkah? Tapi... sejak kapan?" lirih Almira. "Sejak lama. I really love you." Pernyataan cinta Naga yang ketiga kalinya itu benar-benar membuat Almira kesulitan bernapas. Benarkah Naga mencintainya? Atau ini hanya karena efek yang ditimbulkan karena pria itu sedang mabuk sehingga ia melantur? Tapi, bukankah orang yang sedang mabuk biasanya justru akan berkata jujur? "Haruskah ak- aku mempercayainya?" gumam Almira. Naga tak menjawab. Melainkan kembali mempertemukan bibirnya dengan milik Almira. Kali ini, pria itu tak cukup hanya diam. Namun mulai bergerak pelan menyesap bibir atas Almira atas dan bawah secara bergantian. Almira masih tampak kesulitan mencerna apa yang sebenarnya terjadi saat ini. Ia masih membeku. Membiarkan sang suami melumat bibirnya meski ia harus menahan rasa pahit akibat alkohol yang sempat Naga teguk sebelumnya. Rasa pahit itu menjalar ke bagian dalam mulut Almira. Namun waktu seolah berhenti. Almira seolah tak sanggup menghentikan semua ini. Hingga usapan jemari Naga di tengkuknya membuat gadis itu semakin terbuai. Namun, akhirnya kesadaran Almira kembali. Ia tidak mungkin melakukan lebih jauh dari ini, meski Naga baru saja mengungkapkan cintanya. Karena biar bagaimana pun juga pria itu sedang mabuk sekarang. Almira mendorong pelan tubuh Naga. Menciptakan jarak di antara keduanya. "Maaf, tapi- ah!" Almira menjerit saat Naga meraih pinggangnya. Sebelah tangan Naga dengan cepat menarik tengkuk gadis itu kembali. Dan kali ini, Naga mulai berani bermain lebih intens. Ia kembali mempertemukan bibir mereka. Menyesapnya dengan lebih kuat dan menuntut. Sayangnya, Almira yang belum terbiasa dengan hal seperti ini hanya bisa terus menghindar. Berusaha mendorong tubuh Naga meski usahanya sia-sia. Sembari berpelukan, Naga menggiring Almira menuju kamarnya. Ciuman mereka semakin dalam dan panas hingga membuat Almira terbakar. Tampaknya, gadis itu juga semakin terbuai. Belum lagi ungkapan cinta Naga beberapa saat yang lalu yang terus berputar dalam benaknya. 'Apa dia sudah benar-benar mencintaiku?' 'Apa aku boleh mempercayainya?' 'Apa ini waktunya aku benar-benar menyerahkan diriku seutuhnya untuk Naga?' Jujur saja, Almira belum siap. Ia sendiri masih ragu dengan perasaannya. Namun, di satu sisi ia juga berharap bisa menjadi istri Naga seutuhnya. Memiliki hubungan layaknya suami-istri pada umumnya, dengan adanya cinta di antara mereka. Dan Almira sendiri sudah berjanji pada dirinya sendiri. Jika ia memang akan menyerahkan dirinya seutuhnya jika memang Naga sudah mulai mencintainya. Karena hal yang paling ia harapkan dalam pernikahannya bersama Naga adalah cinta. Cinta yang akan menjadi awal dan kunci untuk kehidupannya dengan Naga setelahnya. Jadi, haruskah Almira benar-benar menyerahkan dirinya pada Naga malam ini? "Naga, kau yakin, kau benar-benar sudah mencintaiku?" tanya Almira saat Naga menjeda kecupannya. Napas pria itu masih memburu. Belum menjawab, pria itu bergerak kembali, kali ini ke arah leher Almira. Naga mengecup bibir Almira hingga sontak membuat gadis nyaris menjerit kaget. Naga menyesapnya. Membuat satu tanda kemerahan di sana, dengan sebelah tangannya yang mulai menuju ke kancing baju Almira. Detak jantung Almira sudah tak karuan. Tubuhnya panas dingin. Ia masih ragu apakah ia akan meladeni Naga yang saat ini sedang mabuk. Tapi di satu sisi ia juga bahagia mendengar pengakuan cinta dari sang suami. Almira terlempar ke ranjang dengan baju bagian atasnya yang sudah terbuka. Dan dengan satu gerakan, Naga berhasil menindih tubuhnya. "Naga, aku..." Sungguh. Sungguh Almira masih ragu. Meskipun benar Naga sudah mencintainya, tapi pria itu sedang mabuk. "Aku sangat mencintaimu. Dan aku mau kamu," ungkap Naga. "Tapi kamu sedang mabuk." Ego Almira menuntun gadis itu untuk menghindari serangan Naga. "I want you," ulang Naga. "Please, don't do that! Kamu mabuk, Naga!" "Aku tidak mabuk. Aku benar-benar mencintaimu. Tolong kembalilah!" Almira menyerit. Kembali? Kenapa ia harus kembali saat ia tak pernah sejengkal pun pergi meninggalkan Naga. "Tunggu!" "Aku mencintaimu. Tapi aku juga membencimu." Naga mengatakannya sambil terkekeh kecil. Membuat Almira semakin tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Kenapa juga Naga harus membencinya? Memang apa yang sudah Almira lakukan pada pria itu? "Aku tidak tahu mana yang lebih besar. Rasa cinta, atau justru benciku. Tapi aku... aku benar-benar masih mencintaimu." Kini pikiran Almira mulai melanglang buana. Mendadak perasaannya menjadi tidak enak. Apa yang sebenarnya terjadi pada Naga? Apakah pernyataan cinta itu tulus dari Naga untuknya? Atau jangan-jangan... "Kenapa kamu terus saja menyakitiku? Kenapa kamu harus datang dan pergi sesukamu tanpa memikirkan perasaanku?" "Aku tidak mengerti," cicit Almira. "Bisakah kita kembali seperti dulu? Aku benar-benar masih mencintaimu, Tiara." DEGGG TIARA Nama itu langsung berputar di kepala Almira. Siapa gadis itu? Kenapa Naga bilang dia mencintai Tiara? Tunggu dulu! Apa jangan-jangan ungkapan cinta pria itu sejak tadi itu bukan ditujukan untuk Almira? Melainkan untuk gadis bernama Tiara tersebut? Ada luka menganga baru di hati Almira. Ia berani bermimpi, mau berjuang, selama Naga tak memiliki wanita lain selain dirinya. Tapi kenyataannya, ada sosok asing di hati Naga yang tak Almira ketahui. Dan Almira tidak tahu sedalam apa cinta Naga pada sosok itu. Tapi mendengar dari ungkapan cinta Naga sejak tadi, bukankah itu artinya gadis bernama Tiara tersebut sangat berarti bagi Naga? "Tiara, aku-" "Maaf, aku bukan Tiara." Dengan mata memerah, Almira mendorong Naga dengan sekuat tenaga dari atas tubuhnya. Almira membenarkan kembali bajunya dengan cepat, lalu menatap penuh luka ke arah pria yang tampak linglung itu. Belum sempat Naga kembali bersuara, Almira bergegas keluar dari kamar pria itu. Almira berlari ke kamarnya, menguncinya dari dalam, lalu jatuh terduduk di samping pintu. Tangisnya pecah saat itu juga. Ia tahu Naga belum bisa mencintainya. Ia rela menunggu dan berusaha lebih keras untuk membuat Naga mencintainya. Namun, jika di balik pria itu ada wanita lain, Almira bisa apa? "Apa salah aku memimpikan kehidupan rumah tangga layaknya pasangan suami-istri lainnya? Apa salah aku berharap bisa dicintai dan mencintai suamiku sendiri? Apa setidak layak itu aku untuk bahagia? Tapi kenapa?" Keyakinan, keberanian, dan tekad Almira hancur seketika setelah ia mendengar nama gadis lain dari mulut Naga. Almira tahu butuh waktu lama dan banyak perjuangan untuk mendapatkan cinta Naga. Ia tahu Naga belum mencintainya. Tapi kenapa rasanya sesakit ini saat ia mendengar ungkapan cinta Naga untuk gadis lain? Seakan semua harapannya musnah, dan langkah yang ia ambil selama ini tidak berarti sama sekali. Haruskah ia berhenti? Tapi bagaimana caranya ia berhenti? Ia sudah terikat perjanjian untuk tidak mengakhiri semua ini selamanya bersama Naga. Lantas, apa yang seharusnya Almira lakukan saat ia tahu jika suaminya mencintai gadis lain? "Masihkah ada kesempatan bagiku untuk mendapatkan cinta dari suamiku sendiri?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD