Siang ini, Almira kembali dipusingkan dengan pekerjaannya. Awalnya ia berniat ke butik agar tidak stres. Tapi yang ada dia malah semakim stres. Sangat sulit baginya untuk fokus mendesain. Entah sudah berapa ketas yang ia hambur-hamburkan karena gambarannya yang tak juga membuatnya puas.
'Tok tok tok'
Almira mengangkat kepalanya yang sejak tadi tertunduk.
"Masuk!" Ia sedikit mengeraskan volume suaranya, agar terdengar oleh orang di luar sana.
Tak lama kemudian, terdengar suara pintu yang dibuka dari luar. Almira mendongak menatap pegawainya itu.
"Maaf, Bu. Ada Mbak Nasya datang berkunjung," ujar pegawainya.
Almira memijat pelipisnya, sambil menghempas punggungnya pada sandaran kursi kerjanya.
"Persilakan masuk!" Pegawai Almira itu mengangguk, meski ia cukup bingung melihat sikap aneh Almira hari ini. Tak biasanya bosnya itu bersikap sedingin ini.
Tak berselang lama, tamu itu datang. Almira bangkit berdiri dan mempersilakan Nasya untuk duduk di sofa. Setelah itu, ia menyusulnya.
"Mbak Nasya ada perlu apa, ya?" tanya Almira.
Baru sekitar satu mingguan ini Nasya resign dari butik Almira. Tari- calon ibu mertua gadis itu sudah membuatkannya butik sendiri untuk mengangkat derajat Nasya sebelum sah menjadi istri Bara.
"Soal undangan pernikahannya, apa Mbak Rara sudah menerimanya?" tanya Nasya to the point.
Almira tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kesedihannya. "Sudah, Mbak." Ia menjawab.
Seketika, suasana menjadi canggung. Padahal, mereka dulu sempat cukup akrab sebagai bos dan pegawai. Tapi kini, ke mana perginya suasana hangat itu?
"Oh, hmm, ini kan sudah jam makan siang, Mbak Rara belum makan?" tanya Nasya lagi.
"Belum, Mbak. Oh, ini sudah siang ya?" Almira menoleh ke jendela dan jam dindingnya secara bergantian. Ia baru sadar, ternyata sudah lama ia uring-uringan sendiri di ruang kerjanya.
"Kalau saya ajak makan siang bareng, Mbak Rara ada waktu?" tawar Nasya.
"Sekarang?" Nasya mengangguk.
"Boleh, Mbak. Kebetulan saya juga lagi pengin makan di luar," jawab Almira.
Meskipun Nasya pernah menjadi orang ketiga dalam hubungannya dengan Bara, namun Almira tak pernah bisa membenci gadis itu.
Ia tahu, perasaan manusia memang tidak bisa dikendalikan. Nasya dan Bara pun tidak bisa menentukan pada siapa hati mereka akhirnya dapat berlabuh. Terlebih, Almira pun cukup sadar diri jika sejak awal Bara memang tidak pernah mencintainya.
"Ya udah, ayo, Mbak!" ajak Nasya. Gadis itu mulai tersenyum cerah.
"Pakai mobil saya aja, ya!" ujar Almira yang segera dapat anggikan dari Nasya.
Setelah itu, dua gadis tersebut bergegas ke sebuah tempat makan yang letaknya tak jauh dari butik Almira.
"Dulu saya sering makan di sini. Makanannya enak, menunya juga cukup lengkap," ujar Almira.
Keduanya memilih duduk di meja dekat dengan area outdoor, sehingga bisa menikmati angin sepoi-sepoi dari luar tanpa harus merasakan teriknya matahari.
Setelah memesan makanan, keduanya kembali berbincang ringan. Kesamaan hobi dan bidang, membuat keduanya memiliki banyak topik pembicaraan yang asyik.
Sejenak, keduanya melupakan soal Bara yang sempat membuat hubungan mereka terasa rumit.
"Selamat siang!"
Nasya tampak bersemangat. Ia pikir, makanan mereka sampai. Namun ternyata, kini ia dihadapkan pada seorang pria berjas mahal berdiri di samping mejanya dan Almira.
"Maaf, Anda siapa?" tanya Nasya.
"Saya Naga Mahawira, calon suami Almira." Pria itu mengulurkan tangannya pada Nasya. Ragu, Nasya menerima uluran tangan itu.
"Hmm, tidak. Kami-"
"Saya dengar Anda akan segera menikah dengan Pak Bara," ucap Naga, memotong ucapan Almira.
Nasya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Padahal, ia berniat menjauhkan topik itu dari Almira. Tapi kenapa malah pria asing itu kembali menyebutnya? Terlebih, dengan seenaknya ia juga langsung duduk di samping Almira.
"I- itu, ya. Dan saya juga sudah mengundang Mbak Rara. Kalau Anda tidak keberatan, Anda boleh datang sebagai pasangan Mbak Rara nanti di pestanya. Maaf saya belum mengundang Anda secara pribadi. Saya tidak tahu kalau Mbak Rara sudah punya calon suami," terang Nasya merasa tidak enak.
"Maaf, Pak Naga. Tapi kapan saya menerima lamaran Anda? Bukankah-"
"Cincin di jari manismu cukup untuk menjelaskan semuanya. Benar begitu, Bu Nasya?" potong Naga.
Nasya tergagap. Ia melirik cincin di jari manis Almira.
'Loh, sejak kapan benda cantik itu tersemat di jari Mbak Rara?' batin Nasya.
Almira pun bergegas berusaha melepas cincin itu dari jarinya. Lalu, ia letakkan di hadapan Naga.
"Kapan Anda memasangnya?"
"Barusan. Kamu tidak sadar rupanya. Maaf jika caraku kurang romantis, seperti saat Pak Bara melamar Bu Nasya."
Nasya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia mulai merasa risih, dengan Naga yang terus-terusan membawa namanya dan Bara.
"Jadi, serius Bapak ini calon suami Mbak Rara?" tanya Nasya.
"Eng-"
"Tentu saja. Belum ada lamaran resmi. Tapi saya akan segera melakukannya." Naga memotong ucapan Almira.
Almira menatap kesal ke arah pria itu. Namun, pria itu mendekat ke telinga Almira. Almira hendak mundur, namun satu tangannya di tahan oleh Naga.
"Tunjukkan kalau kamu juga bisa bahagia tanpa laki-laki itu!" bisik Naga.
Almira tidak sepenuhnya mengerti. Ia segera menarik diri dari Naga.
Tak lama, pesanan mereka pun datang. Nasya sempat menawari Naga untuk sekalian memesan. Tapi pria itu menolak. Ia memilih menatap Almira yang tengah fokus menyantap makanannya.
"Akhir-akhir ini aku perhatikan kamu mengurangi porsi makanmu. Kamu tidak perlu diet hanya untuk menyenangkanku. Di mataku, kamu sudah selalu cantik," ujar Naga.
Almira berusaha tak mengindahkannya. Ia merasa, sebaiknya ia segera habiskan saja makanannya agar ia bisa cepat-cepat kembali ke butik.
Selesai makan siang dengan Nasya, gadis itu berpamitan. Kini tinggalah Almira dan Naga di tempat itu.
Almira berjalan ke arah di mana mobilnya berada. Ia berusaha acuh pada Naga yang terus-terusan mengekor di belakangnya.
Namun, saat Almira mengeluarkan kunci mobilnya, sebuah tangan merebutnya dengan cepat dari gadis itu.
"Astaga, apa yang Anda-" ucapan Almira terpotong saat ia melihat bagaimana dengan santainya Naga menyerahkan kunci itu pada anak buahnya yang sudah berjaga.
"Apa yang Anda lakukan?" protes Almira sambil menatap sengit ke arah Naga.
"Aku akan mengantarmu kembali ke butik. Juga ke rumah saat kamu sudah selesai bekerja nanti," terang Naga.
"Ap- apa?" Almira menganga tak percaya.
Namun, ia segera tersadar dari lamunannya saat melihat mobilnya sudah berlalu dari parkiran.
"Mobil saya mau Anda kemanakan?" sentak Almira.
"Tenang saja. Mobilmu akan segera sampai ke rumahmu. Mulai hari ini, kamu sudah tidak akan bergantung padanya lagi. Aku yang akan mengantar jemputmu ke mana pun kamu mau," ujar Naga.
Almira belum pernah mengenal pria semenjengkelkan ini sebelumnya. Kenapa Naga bisa seenaknya seperti ini pada Almira?
Naga menyaut tangan Almira. Memaksanya untuk mengenakan kembali cincin yang tadi gadis itu lepas dari jari manisnya.
Sadar dengan apa yang baru saja Naga lakukan, Almira berniat langsung melepasnya kembali.
"Pakai itu atau terpaksa aku akan mencarikan cincin yang tidak akan bisa kamu lepas dari jarimu selamanya!" ancam Naga.
Mendengar nada ancaman dari pria itu, nyatanya mampu membuat Almira keok.
"Kenapa Anda selalu mamaksa saya? Kenapa harus saya?"
"Karena hanya kamu yang layak jadi istriku. Ayo, aku antar kamu ke butik sekarang!" ajak Naga. Ia meraih tangan Almira dan hendak menggandengnya.
Tapi, Almira sudah lebih dulu menempisnya kasar.
"Oh, kamu punya banyak waktu luang ternyata. Bagaimana kalau mampir dulu ke kantorku, kau bisa menemaniku kerja hari ini," tawar Naga.
Almira menggeleng. "Aku tidak seluang itu sampai-sampai mau menemani Anda bekerja. Saya juga punya pekerjaan sendiri," tolak Almira.
"Kalau begitu, kenapa menolak aku antar pulang?" tanya Naga.
Almira kehabisan kata-kata. Bolehkah ia berkata kasar pada pria di hadapannya itu? Bolehkah Almira membuat pria itu murka padanya?
"Aku hanya sedang berusaha membantumu," ujar Naga.
"Membantu? Anda merusak suasana makan siang saya dan Mbak Nasya karena terus-terusan menyebut nama Bara. Lalu sekarang-"
"Mau sampai kapan kamu terjebak dengan nostalgia itu? Sudah saatnya kamu move on. Dengan kamu stuck seperti sekarang, justru kamu hanya akan membuat pasangan itu merasa bersalah. Kupikir, gadis tadi bukanlah orang jahat. Tapi kamu membuatnya terus-terusan merasa bersalah," potong Naga.
"Mak- maksud Anda?" bingung Almira.
Naga menyimpan tangannya di kedua sakunya.
"Kau bahkan tidak menyadarinya. Sementara aku langsung bisa melihat dari tatapan gadis itu," ujar Naga.
"Apa yang sebenarnya ingin Anda katakan? Bisakah Anda berterus terang saja?" pinta Almira.
"Gadis tadi tahu kamu terluka karena keputusannya dengan Pak Bara. Dan ia merasa bersalah. Aku rasa itu penyebabnya dia ingin mendekatimu. Ia ingin benar-benar minta maaf, tapi tidak tahu bagaimana cara mengatakannya," terang Naga.
"Anda cukup sok tahu juga ya, ternyata? Mbak Nasya dan Bara sudah minta maaf. Mereka-"
"Dan kamu pikir sekarang Nasya sudah lega? Menurutmu, kenapa ia tiba-tiba mengajakmu makan siang dan membicarakan hal random padamu hari ini?" potong Naga.
Almira terdiam. Benarkah, Nasya masih terus-terusan merasa bersalah padanya? Padahal Almira benar-benar tak menyalahkan gadis itu. Almira tahu, Nasya gadis yang baik. Dan bukan kehendaknya untuk merebut kebahagiaan Almira dahulu.
"Jadi, aku harus bagaimana?" lirih Almira. Ia jadi ikut merasa serba salah.
"Hal pertama yang harus kamu lakukan sekarang adalah, ikut aku! Aku akan mengantarmu ke butik," ajak Naga.
Almira masih enggan beranjak saat Naga menarik tangannya.
"Aku akan memberimu saran saat kita di perjalanan nanti," imbuh Naga.
Merasa tersihir, Almira akhirnya menurut saat Naga kembali menariknya halus ke arah mobilnya.
Apa keputusan Almira untuk mendengarkan ucapan Naga adalah pilihan yang tepat? Atau justru ia akan kembali dihadapkan dengan permasalahan-permasalahan yang lebih rumit di kemudian hari?
***
Bersambung ...