11 - Pra-wedding

1841 Words
Waktu menunjukkan pukul empat sore. Saat ini, semua tim sudah bersiap di tempatnya masing-masing. Almira baru saja keluar dari pondok yang Naga sewa. Gadis itu kini sudah tampak lebih cantik dengan make up natural look dan dress brokat putih selututnya. Dress itu terkesan simpel dan menunjukkan aura murni Almira dengan sangat maksimal. Membuat gadis itu bak menyatu dengan alam layaknya peri mungil yang cantik. Tanpa sadar, Naga tersenyum menyambut kedatangan calon istrinya itu. “Oke, semua sudah siap. Bisa kita mulai, Pak?” tanya sang fotografer. Naga mengangguk, kemudian segera menarik Almira untuk lebih dekat dengannya. “Jangan menunduk! Tatap aku!” ujar Naga. Perlahan, Almira mengangkat kepalanya hingga tatapannya bertemu dengan manik gelap Naga. Pria itu tampak lebih menarik dengan biasanya. Padahal style yang ia kenakan tidak jauh berbeda dengan biasanya. “Aku jadi kepikiran untuk membuat pra-wedding versi indoor-nya. Mungkin kita harus mengosongkan waktu hingga malam untuk-” “Tidak. Tidak usah. Sepertinya di sini saja sudah cukup,” potong Almira. “Kenapa?” “Pak Naga, tolong peluk pinggang Bu Almira, ya! Lalu, Bu Almira kalungkan tangannya ke leher Pak Naga!” Sang fotografer memberikan arahan. Naga melingkarkan tangannya di pinggang Almira dan menarik gadis itu mendekat. “Cepat kalungkan tanganmu seperti yang sudah kita praktikkan tadi!” Almira pun segera menuruti ucapan Naga. Ia mengalungkan tangannya ke leher laki-laki itu. “Bu Almira bisa mendongak sedikit? Tatap tepat di matanya Pak Naga, ya!” Almira menghela napas dan kembali mengikuti intruksi si fotografer. “Iya, satu, dua, tiga,” ucap si fotografer memberi aba-aba. “Pose lain, Pak!” Naga mengarahkan tangan Almira ke pinggangnya. Kemudian, sebelah tangan laki-laki itu menyentuh pipi Almira. “Pipi kamu memerah,” bisik Naga, membuat Almira berdehem untuk mengurangi kegugupannya. Almira tetap harus fokus meski sebenarnya dia sudah mulai oleng. Berikutnya, Naga memajukan kepalanya, meletakkannya tepat di pundak Almira, membuat keduanya tampak seperti sedang berpelukan. “Bukankah jantung kamu berdetak terlalu cepat? Kau sedang sakit?” tanya Naga. “Bisakah kamu tidak mengolok-olokku?” kesal Almira. Beberapa saat kemudian, Naga menarik diri dan menatap ke arah manik gadisnya itu. “Sudah aku katakan, jangan sampai kau jatuh cinta padaku,” bisik Naga. “Tenang saja, tidak akan sebelum kamu yang suka lebih dulu padaku!” balas Almira tegas. Detik berikutnya, Almira berteriak saat merasakan tubuhnya melayang. Naga menggendongnya ala bridal style, tanpa aba-aba, apalagi izin darinya. “Kamu-” “Senyum ya, Bu Almira!” ucap sang fotografer mengintrupsi. Sementara itu, Naga tampak tersenyum menang mendapati Almira yang tidak punya kesempatan sama sekali untuk memprotes perbuatannya. Sekitar dua jam Almira dan Naga melakukan sesi pemotretan. Kini keduanya sedang beristirahat di dua bangku yang bersebelahan. Almira sedang sibuk mengipaskan kertas ke wajahnya yang terasa panas, sementara Naga memainkan ponselnya. Nyaris tak ada pembicaraan yang terjadi di antara keduanya, hingga seorang staf memberikan dua botol minuman pada mereka. “Habis ini kita langsung pulang, kan?” tanya Almira, mengingat hari sudah mulai gelap. “Hm. Aku sudah mintakan soft file-nya. Akan aku kirimkan padamu besok.” “Soft file apa?” Naga menoleh, “hasil pemotretan kita.” Ah iya. Bisa-bisanya Almira tidak kepikiran sampai ke sana. “Aku belum melihat hasilnya. Boleh kau lihat dulu?” pintanya. “Nanti saja di speedboat,” balas Naga acuh. Almira menghela napas panjang. Kemudian ia beranjak menuju pondok untuk berganti pakaian dan menghapus make up-nya. Setelah itu, ia kembali ke tempat staf yang lain berada. “Sudah selesai semua, kan? Kalau begitu, mari kita langsung kembali ke speedboat!” ajak salah seorang staf. Almira segera beranjak mengikuti yang lain. Saat ia akan menaiki speedboat, Naga mengulurkan tangannya. Melihat beberapa pasang mata yang menatap ke arah mereka, Almira pun berusaha menunjukkan akting terbaiknya dengan senyum cerah saat menerima uluran tangan Naga. “Terima kasih,” ungkap Almira, yang tak dibalas oleh Naga. Pukul sembilan malam, rombongan telah sampai di dermaga Ancol. Semuanya segera berpencar dengan kendaraan masing-masing. Begitu pun dengan Almira yang segera ikut Naga ke mobilnya. “Sepertinya kita harus membatalkan masalah foto studio. Ini sudah terlalu malam,” ucap Naga. “Iya. Lagi pula sejak awal kan aku memang kurang setuju,” balas Almira, lalu fokus memasang sabuk pengamannya. Setelah itu, Naga pun mulai memacu mobilnya dengan kecepatan sedang. “Kita belum makan malam, kan?” tanya Naga saat ia membelokkan mobil hitamnya di sebuah kedai. “Ini sudah setengah sepuluh. Aku tidak bisa makan selarut ini,” ujar Almira. “Hanya sesekali tidak akan membuat tubuhmu langsung melebar,” balas Naga santai, kemudian turun dari mobil. Almira mendengus kesal. Tak ada pilihan lain, Almira pun ikut turun bersama Naga. Sampainya di dalam, Almira berniat hanya ingin memesan black tea saja. Namun Naga kembali memaksanya untuk memesan makanan berat. “Aku memang tidak biasa makan terlalu malam,” kesal Almira. “Ya, memang sebaiknya jangan dibiasakan. Tapi lebih baik makan kemalaman daripada tidak sama sekali, kan?” balas Naga. “Oke. Sup ayam tanpa nas-” “Pakai nasi,” Naga memotong ucapan Almira saat hendak memesan makanan. Membuat gadis itu menatap nyalang ke arah pria di hadapannya. Namun Naga hanya berpura-pura acuh sambil menatap kembali buku menu yang ada di tangannya. “Tenderloin steak satu, espresso satu,” ucap Naga beberapa detik kemudian. “Saya ulangi ya, Pak, Bu. Black tea satu, espresso satu, sup ayam plus nasi satu, tenderloin steak satu,” ujar pelayan itu membacakan kembali pesanan Naga dan Almira. Naga mengangguk. Setelah itu, si pelayan meminta agar mereka menunggu sebentar dan ia pun segera undur diri. “Bara Ariswara dan perempuan itu tadi datang ke kantorku untuk mengantarkan undangan,” ucap Naga sambil memfokuskan matanya ke arah gawai pintar miliknya. “Perempuan itu? Mbak Nasya?” tanya Almira memastikan. Namun Naga tidak menjawab, melainkan hanya melirik Almira sekilas sebelum akhirnya fokus kembali pada ponselnya. “Aku dengar perempuan itu baru saja membuka butik, ya?” tanya Naga. “Namanya Mbak Nasya, Naga. Dia-” “Tidak penting untuk aku mengingat namanya.” “Baik. Terserah kamu saja,” balas Almira putus asa. “Kau mau aku memberinya pelajaran?” Almira tersentak. Ia langsung dapat menangkap maksud dari ucapan Naga barusan. Apa laki-laki itu memiliki rencana untuk menyakiti Nasya? “Tidak. Aku tidak peduli kamu mau membuat masalah dengan siapapun, tapi jangan pada Mbak Nasya dan Bara. Mereka sudah cukup banyak menderita batin karena aku. Lagi pula, aku juga tidak mau menjadi alasan atas penderitaan seseorang,” tolak Almira, membuat Naga tersenyum miring. “Harga diriku sedikit terluka mengetahui calon istriku pernah dicampakkan untuk erempuan yang sangat biasa seperti Nasya Nasya itu,” ujar Naga. “Kamu hanya belum mengenal Mbak Nasya. Dia sangat baik dan menyenangkan. Aku bahkan ingin bisa dekat dengannya jika keadaan mengizinkan,” balas Almira, membuat Naga menganga tak percaya. “Kamu tidak membencinya?” “Tidak sama sekali. Karena memang apa yang terjadi di antara aku dan Bara, itu sama sekali bukan salah siapapun. Lagi pula, aku bisa apa kalau memang Bara tidak ditakdirkan untukku? Aku beruntung karena meski bukan aku, Bara bisa mendapat jodoh seperti Mbak Nasya. Bara benar-benar tampak berbeda saat sedang bersama Mbak Nasya,” terang Almira dengan senyum miris di bibirnya. Awalnya, dulu ia pikir Bara bahagia bersamanya. Meski tidak saling mencintai, setidaknya Bara tak pernah menolak keberadaannya. Namun ternyata, selain dirinya, ada yang bisa membuat Bara lebih bisa mengekspresikan dirinya, mencintai gadis itu dengan caranya sendiri yang sempat membuat Almira iri. “Tolong jangan buat masalah dengan mereka, ya! Apalagi untuk membalaskan dendamku, sebagai alasannya. Karena aku sama sekali tidak menaruh dendam. Aku dan Bara berakhir dengan cara baik-baik dan atas persetujuan dua belah pihak,” imbuh Almira, membuat Naga menghela napas panjang. Tak lama kemudian, pesanan mereka datang. Mereka pun segera menyantap pesanan masing-masing. Dan dengan sedikit terpaksa, Almira pun masih harus memakan nasi selarut ini. Selesai makan, Naga segera mengantar Almira pulang mengingat hari memang sudah sangat malam. “Besok tidak ada agenda, kan?” tanya Almira saat mereka hampir sampai di rumahnya. “Tidak. Kita baru akan bertemu WO lagi hari Jumat untuk melihat perkembangan undangan dan fiksasi dekor,” ucap Naga. Almira mengangguk mengerti. Itu artinya ia besok punya banyak waktu untuk menyelesaikan desain pakaian tari yang dipesan sanggar. Dan kalau masih ada waktu, Almira masih harus mencari bahan untuk pakaian keluarga pengantinnya nanti. Sementara untuk pakaiannya dan Naga sudah mulai masuk tahap pembuatan mulai hari ini. Beberapa menit kemudian, akhirnya mereka sampai di halaman rumah Almira. Setelah melepas sabuk pengamannya, Almira menoleh ke arah Naga. “Maaf, aku tidak bisa menawarimu untuk mampir karena ini sudah sangat malam,” ujar Almira. “Tidak masalah. Aku juga masih harus mengurus pekerjaanku,” balas Naga. “Selarut ini?” Naga mengangguk. “O- oke, kalau begitu, hati-hati di jalan, dan jangan lupa beristirahat!” pungkas Almira sebelum ia membuka pintu mobil. Namun, beberapa detik berikutnya, Almira merasa tersentak saat merasakan Naga menarik tangannya dan memutarnya untuk kembali menghadap ke arah laki-laki itu. “Ada ap-” Ucapan Almira terhenti saat hal besar lainnya berhasil membuatnya terkejut. Naga baru saja mendaratkan bibirnya di kening gadis itu, membuat posisi keduanya nyaris menempel dan Almira bisa mencium aroma khas Naga dari jarak sedekat ini. Almira dapat merasakan jantungnya kembali berpacu berkali-kali lipat lebih cepat dibandingkan saat normal. Bahkan, rasanya seperti hampir meledak. Namun, ucapan Naga berikutnya berhasil membuyarkan segala halusinasi gadis itu. “Ibumu mengintip dari jendela. Dan aku ingin meninggalkan kesan yang baik pada Beliau,” ucap Naga dengan bibir nyaris tak bergerak untuk membuat Ira tidak curiga. Sebelah tangannya mengusap pipi Almira lembut sebelum suaranya kembali terdengar, “sampaikan salamku untuk ibumu!” Almira mengangguk kaku. Dengan sisa kesadarannya, gadis itu segera turun dari mobil dan menutup kembali pintunya. Ia berbalik sejenak untuk melihat mobil Naga hingga keluar dari gerbang rumahnya. Setelah itu, ia pun masuk ke rumah. Namun, ternyata Ira tidak keluar untuk menyapanya, membuat Almira memutuskan untuk pura-pura tidak tahu jika ibunya tadi mengintip. Setelah itu, Almira pun segera menuju ke kamarnya yang ada di lantai dua untuk membersihkan diri. Ia berendam di bathup dengan air hangat. Tak lupa, ia menyalakan lilin beraroma lavender untuk memberinya kesan rileks. Pikiran dan perasaannya hari ini benar-benar kacau karena perbuatan Naga. Padahal dalam perjanjian mereka, Naga sudah mengingatkan jika Almira tidak bisa menuntut apapun soal perasaan laki-laki itu, karena keduanya sepakat menikah karena cinta. Jadi, jelas, meskipun mereka akan menikah, jika Almira sampai jatuh cinta pada Naga, tak ada jaminan jika laki-laki itu akan membalas cintanya. Dan Almira tidak bisa menuntut lebih dari pria itu. `Hanya saja, jika suatu hari aku benar-benar jatuh cinta padanya, apa aku bisa membuatnya membalas cintaku? Atau aku hanya akan kembali berakhir menyedihkan seperti yang sebelumnya?` batin Almira tidak tenang. Dengan segala pesona dan kelebihannya, Almira tidak akan kesulitan untuk membuat lelaki di luaran sana tertarik padanya. Namun, jika pria itu sekelas Naga Mahawira, mendadak Almira menjadi ragu. Belum apa-apa saja laki-laki itu sudah menegaskan jika Almira tidak boleh menuntut apapun atas perasaan laki-laki itu. Bukankah itu artinya dia sudah yakin kalau dia tidak akan pernah tertarik pada Almira?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD