Segera Arion menjauhkan ponselnya dari telinga. Sebab terasa pengang sekali akibat suara yang nyaring melengking itu.
“Hallo! Jawab!”
Perlahan Arion mendekatkan kembali ponsel itu ke telinganya, sambil menarik napas dalam-dalam.
“Hallo Aruna, tenang dulu, aku bisa jelasin, oke?”
“Mama telepon gue sambil nangis-nangis tadi! Gila lo ya Ri! Kalau udah nggak tahan ya lo nikah aja lah! Jangan perkosa anak orang! Padahal gue sering pamer punya adik dokter, eh malah kelakuan lo ternyata begini. Parah lo, Ri!”
Nyatanya nada suara Aruna, kakak satu-satunya Arion, tidak bisa merendah, dia terus saja berteriak-teriak sehingga Arion bolak-balik menjauhkan ponsel dari telinganya, berulang kali.
“Run, dengar dulu, ini nggak seperti yang kamu kira atau mama sangka ke aku. Oke? Jadi, sabar sampai aku jelasin semuanya.”
“Apanya yang oke? Heh! Nanti sore gue pulang, awas lo kalau pergi! Habis lo sama gue!”
Sambungan telepon ditutup begitu saja oleh Aruna.
“Hallo? Aruna? Hallo?!”
Karena kesal, Arion tak sengaja memukul setir mobil dan sialnya tepat mengenai klakson, sehingga menimbulkan suara yang nyaring tanpa dia duga.
“Ah! Sial!” rutuk Arion sambil mengusap dadanya sendiri karena kaget. Lalu dia kembali menjalankan mobilnya pelan-pelan.
Di perjalanan, Arion sibuk memikirkan kalimat yang tepat untuk dia jelaskan nanti pada kedua orangtuanya dan juga kakaknya yang galak bukan main.
Arion memilih kembali dulu ke kamar hotel, nanti sore barulah pulang ke rumah. Mulai dari menjejakan kaki di lobi utama hotel milik keluarganya itu, sampai dengan masuk ke dalam lift, Arion merasa semua mata sedang memandangnya sinis, sedang menghakiminya.
Padahal yang terjadi adalah, para karyawan di hotel itu memang semua memandang pada Arion ketika berpapasan, sebab mereka semua sedang memberi salam atau sekadar menghormati dengan gestur tubuh yang sopan. Itu adalah hal biasa yang diterima oleh Arion beserta keluarganya, selaku pemilik hotel tersebut.
Begitu masuk ke dalam lift, Arion segera menekan salah satu tombol supaya pintu lift segera tertutup. Dia sedang tidak ingin bertemu dengan siapapun yang mengenalnya.
Arion keluar dari lift di lantai 9. Langkahnya lebar-lebar menuju kamarnya sendiri. Dan ketika sudah sampai, segera Arion masuk lalu kembali menutup pintu kamar dengan cepat.
Dia berdiri mematung melihat ranjang besarnya, yang masih berantakan persis seperti tadi saat dia tinggalkan. Arion memang tak mengizinkan siapapun termasuk housekeeping masuk ke kamarnya tanpa seizinnya. Bahkan hanya kamar Arion di hotel itu yang tak memiliki kunci duplikat. Kamar khusus untuk Aruna saja memiliki kunci duplikat.
Perlahan Arion berjalan menuju ranjang besarnya. Dia hanya berdiri beberapa saat memandangi bercak noda merah yang sudah mengering pada sprei putih. Kepalanya dimiringkan sedikit, masih sambil memandangi bercak merah itu.
Sampai saat ini Arion masih tak percaya kalau dia telah meniduri gadis 19 tahun! Bahkan sepertinya telah merebut keper4wanannya, tanpa sadar.
“Ya Tuhan, kenapa nasibku seperti ini,” desis Arion pelan. Lalu dia duduk bersila di lantai, merenungi rentetan nasib buruk yang menimpanya hari ini, yang diawali dengan sebuah kata kerja, yaitu mabuk.
Sekitar jam 4 sore, Arion kembali menunggangi sedan sport putihnya, untuk menuju ke rumah kedua orangtuanya, yang berjarak sekitar 30 menit dari hotel, dalam keadaan jalanan yang tidak macet.
Sesampainya di rumah mewah orangtua Arion, dia melihat mobil sang kakak telah terparkir di garasi samping. Setelah memarkir mobilnya, Arion berdiam sesaat sambil menarim napas dalam-dalam.
“Huftt! Masalah ini pasti akan ada penyelesaiannya!” ucap Arion untuk menyemangati dirinya sendiri.
Terlihat pintu utama rumah bagian depan terbuka dengan lebar. Arion melangkah lebar-lebar, lalu berusaha memasang wajah yang tenang.
Dia melewati ruang tamu yang kosong, sampai akhirnya menemukan mama papanya serta Aruna di ruang keluarga. Serentak mereka bertiga menoleh pada Arion, tatapan mereka seperti jaksa penuntut umum terhadap tersangka pelaku p3rkosaan.
“Duduk Arion.” Itu adalah suara berat Hendy Albern. Papanya Arion.
Arion mengangguk. Dia terpaksa duduk di sebelah Aruna. Sebab untuk menghormati kedua orangtuanya yang duduk tepat berhadapan dengan Aruna.
Arion dapat merasakan tatapan tajam sang kakak dari arah samping. Jika tidak ada papa mereka di sana, mungkin Arion sudah kena pukulan jenis tate tsuki dari Aruna. Itu sudah sering terjadi sejak mereka berdua masih di bangku kuliah, jika Arion baru berbuat bandel sedikit saja.
Sedangkan di hadapan Arion, sang mama tampak tak sudi menatap wajahnya. Itu tentu saja membuat Arion bersedih.
“Sekarang jelaskan pada Papa, bagaimana itu semua bisa terjadi?” tanya Hendy Albern dengan wajah super serius.
Arion menegakkan punggungnya. “Semalam, aku ke b4r sendirian, aku m4buk. Yang aku ingat, sedang duduk sendiri, lalu ada yang menabrak punggungku. Ternyata dia seorang gadis, yang juga sedang m4buk.”
Tampak Amanda, mamanya Arion, tak sudi memandang wajah putra kesayangannya. Sebab Arion adalah anak kebanggaannya, jika dibandingkan dengan Aruna sang putri sulung yang tabiatnya bukan seorang anak yang penurut.
“Lalu?” Hendy masih menatap tajam pada putranya.
Arion tampak berpikir keras, mencoba mengumpulkan ingatan tentang semalam. “Hemm, seingatku, aku mengobrol dengannya, lalu … lalu aku membawanya ke hotel dan—”
Kalimat Arion terhenti karena tiba-tiba tangis Amanda meledak. Hendy menghela napas dalam-dalam, lalu dia memeluk istrinya untuk menenangkan. Arion hanya bisa terdiam melihat itu.
“Lihat akibatnya atas perbuatan lo itu!” teriak Aruna tepat di telinga Arion. Lalu gadis 34 tahun itu m3noyor kepala adiknya dengan kencang.
“Sudahlah Aruna! Biarkan Arion melanjutkan ucapannya,” sergah Hendy. Tangis istrinya juga mulai mereda, hanya masih terdengar isaknya yang tertahan. Amanda menyandarkan kepalanya di bahu sang suami.
“Terima kasih Pa. Tapi, setelah sampai di hotel aku nggak ingat apa-apa lagi. Aku sendiri bingung kenapa semua itu bisa terjadi? Aku dan Mentari sama-sama m4buk berat semalam.”
“Mentari?!” tanya Hendy dan Aruna bersamaan.
“Iya, namanya Mentari.”
“Jadi, kalian sempat kenalan?” tanya Aruna dengan tatapan menyelidik.
Arion menggeleng. “Dia kabur pagi-pagi dari kamar, sempat ketemu mama saat mau masuk lift. KTP nya ketinggalan di kamarku.”
Hendy mengangguk-angguk tanda mengerti. “Berarti itu bukan tindak p3rkosaan. Karena kalian sama-sama mabuk dan gadis itu baru kabur di pagi hari, itu berarti dia baru sadar dari mabuknya, begitu juga kamu. Benar begitu ya?”
“Iya Pa. Tapi, tetap saja aku bersalah karena sudah merenggut keper4wanannya, meskipun dalam keadaan tidak sadar.”
Kening Hendy mengernyit. “Kamu yakin itu? Maksud Papa, darimana kamu yakin telah melakukan hubungan … you know, making love, sedangkan kamu tidak ingat apa-apa?”
Amanda dan Aruna menatap Arion lekat-lekat. Mereka sangat menunggu jawaban Arion.
Arion menghembuskan napas dengan berat. Sebetulnya dia malu untuk membeberkan semuanya pada keluarganya, tapi mau bagaimana lagi, ini adalah resikonya untuk bertanggung jawab.
“Kami bangun di pagi hari, tanpa pakaian dan … dia terlihat kesakitan, di bagian itu.” Arion tampak menggerakkan kedua tangannya sebagai isyarat tanda kutip. “Lalu, di sprei, ada noda darah, jadi aku yakin,” jelasnya dengan berusaha menekan rasa malu.
“Arion, bisa saja gadis itu sengaja menjebakmu, dia merancang semuanya dengan matang. Kamu kan tampan, kaya-raya, masa depanmu cerah! Itu sangat bisa terjadi, Sayang. Iya kan, Pa?” kedua bola mata Amanda penuh harap pada suaminya.
Namun Hendy menggeleng. “Arion sudah cukup dewasa untuk membedakan mana yang benar dan mana yang bohong. Lagipula, dia seorang dokter obgyn. Ayolah Amanda, ini kenyataannya.”
Kembali Amanda menutup wajahnya dengan kedua tangan, dan tangisnya kembali terdengar.
Hendy Albern kembali berpaling pada putra bungsunya. “Jadi, apa rencanamu sekarang?”