BAB 7. Rencana Menikah Satu Tahun

1068 Words
Aruna sudah tak tahan lagi berada di sana, emosinya yang mudah meledak dirasanya sudah tak bisa dibendung lagi. Akhirnya Aruna memutuskan untuk pergi dari sana. Dia berlalu begitu saja, keluar dari ruang keluarga tanpa pamit, lalu menuju dapur untuk membuat kopi. “Hei! Hei! Aruna mau kemana?!” teriak Amanda yang melihat keheranan pada putrinya yang nyelonong begitu saja tanpa bilang apa-apa. Lalu Amanda mendelik pada Hendy. “Tuh lihat didikanmu yang terlalu santai, anak jadi nggak sopan pada orangtua!” ketusnya. Hendy hanya menggeleng saja, lalu dia menghabiskan teh dalam gelasnya. “Jadi Arion, kapan kita akan mendatangi keluarga Mentari? Untuk membicarakan acara pernikahan.” “Papa!” jerit Amanda dengan kedua mata melotot pada suaminya. “Ma, cobalah berpikir logis. Sudah bagus anak kita adalah anak yang bertanggung jawab, jangan dihalangi niat baiknya!” Kini nada suara Hendy sudah lebih tinggi. Amanda mendelik pada suaminya. “Lihat saja, masalah ini akan aku adukan pada Mami!” ancam Amanda sangat serius. Hendy dan Arion menatap pada Amanda seketika. Papa dan anak itu sudah pasti keberatan. Karena jika masalah ini sampai ke telinga Mami Indira alias omanya Arion, maka sudah pasti masalahnya akan semakin pelik. Sifat Indira yang keras dan sangat dominan, membuat segala titahnya nyaris tidak bisa dibantah. Apalagi Indira adalah pemegang saham terbesar pada perusahaan yang didirikan oleh Hendy, sekaligus penanam modal pada klinik kecantikan milik Amanda. “Mama, menurutku tidak perlu jelaskan masalah ini pada oma, nanti justru akan semakin rumit,” pinta Arion. Amanda mencibir. “Biarin saja, biar kamu dan papamu itu kena marah sama oma. Jika oma sampai tahu tentang penyebab pernikahan ini, dan juga latar belakang si Mentari itu, Mama yakin oma pasti akan menentangnya!” Arion berdiri dari duduknya. “Mama, aku minta oma jangan sampai tahu semua masalah di balik pernikahan ini. Begini saja, aku akan bertanggung jawab pada gadis itu selama satu tahun.” Hendy dan Amanda menatap penuh tanda tanya pada putra bungsunya. Kening mereka mengernyit. Arion menghela napas dalam-dalam. “Aku akan menikahinya selama satu tahun, lalu setelah itu akan menceraikannya dengan memberikan kompensasi yang besar, untuk menaikan derajat ekonomi Mentari dengan ibunya.” Amanda tampak berpikir keras, kedua matanya memicing. Seperti sedang menghitung untung rugi atas keputusan putranya. Lalu Amanda dan Hendy saling bertatapan. Amanda tampak meminta pendapat sang suami dari tatapan matanya, dan Hendy hanya menjawab dengan mengedikkan bahunya saja. Detik kemudian, Amanda kembali beralih pada Arion. Tampak senyum tipisnya mulai muncul, lalu dia mengangguk perlahan. “Oke, Mama setuju. Kita rahasiakan kejadian yang sebenarnya pada semua orang, jangan sampai ada yang tahu kalau Arion telah berhubungan satu malam dengan gadis miskin!” tukas Amanda lalu dia melangkah pergi dari sana, menuju ke kamarnya sendiri di lantai dua. Hendy menepuk pelan pundak putranya beberapa kali, lalu dia pun melangkah meninggalkan ruang keluarga. Sekarang hanya tinggal Arion yang duduk tepekur di sana. Berhubungan satu malam. Kalimat itu terus terngiang di kepalanya. Ucapan sang mama menjadikan Arion berpikir, satu malam yang tidak diingatnya itu, akan merubah masa depannya dengan seketika. Keesokan harinya, sekitar jam 8 malam, Arion kembali mengunjungi rumah Mentari. Kali ini ditemani sang papa, sedangkan mamanya enggan ikut, dengan alasan tak ingin menginjakan kaki di kawasan kumuh. Arion memilih waktu di malam hari, sebab disesuaikan dengan jadwal kerjanya. Dan pula menurut Arion, jika malam hari kedatangannya akan tak terlalu menarik perhatian para tetangga Mentari. Kini, di ruang tamu yang kecil itu. Yang hanya muat dua buah kursi tamu panjang beralas busa tipis, dan juga sebuah meja berbentuk oval yang diletakkan di antara kedua kursi itu. Ada empat orang yang sedang duduk diam, sibuk dengan pikirannya masing-masing. Arion duduk bersebelahan dengan Hendy. Lalu pada kursi satunya lagi, ditempati oleh Mentari dan ibunya. “Perkenalkan, umm … saya Hendy, orangtua dari Arion.” Suara bariton Hendy Albern, memecah keheningan. Astri tidak menjawab sama sekali, dia masih melongo karena terpesona pada wajah Hendy yang seperti turis asing. Dengan kulit putih pucat, rambut coklat terang, serta bola mata biru keabuan. Mentari menyikut pelan lengan ibunya. Lalu memberi kode supaya mendengarkan ucapan tamu mereka. Astri segera tersadar dari lamunannya. “Oh iya, Pak. Saya Astri, ibunya Mentari. Kalau bapaknya Mentari, sudah lama meninggal.” “Ohh, maaf, saya turut berduka cita,” ucap Hendy sambil mengangguk sekali. Astri langsung memasang senyuman teramahnya. “Ohh nggak apa-apa, Pak. Suami saya meninggal sudah lama kok, sejak Mentari masih kecil.” “Ohh ya ya.” Hendy kembali mengangguk beberapa kali. “Umm, kalau istri Bapak, apa sudah meninggal juga?” tanya Astri dengan masih tersenyum. “Ibu!” Mentari langsung menyikut pinggang ibunya. Hendy dan Arion menatap pada Astri tak berkedip. Merasa aneh dengan pertanyaan Astri itu. Bahkan tanpa sadar, mulut keduanya agak menganga. Raut wajah keduanya tampak shock. Hendy berdeham pelan. “Istri saya belum meninggal. Cuma dia tidak ikut kesini karena sedang urusan penting,” jelas Hendy. Padahal Amanda memang sengaja tidak mau ikut untuk menemui calon besannya. Astri terkekeh kecil. “Ohh kirain.” Arion melirik pada jam yang melingkar di pergelangan tangannya. “Maaf Bu Astri, dan juga Mentari. Karena sudah semakin malam, bagaimana langsung kita bicarakan saja tentang rencana pernikahan?” Wajah Astri seketika cerah dengan senyumnya yang semakin sumringah. Dia membayangkan anak semata wayangnya akan segera dinikahi oleh pria tampan kaya raya ini, yang pekerjaannya seorang dokter. Astri berencana nanti dia akan bercerita tentang menantu hebatnya ini pada para tetangga, juga saat sedang belanja ke pasar. Supaya semua orang di kampung ini tahu, bahwa dia akan segera menjadi orang kaya raya juga. “Tentu saja Nak Arion, bisa kita mulai saja membahas penikahannya ya,” jawab Astri dengan begitu antusias. Sedangkan Mentari, justru terlihat sedang diam menunduk. Kedua matanya hanya memandangi lantai, tatapannya seperti kosong. Dan Arion diam-diam memperhatikan itu. Mentari sedang sibuk dengan pikirannya sendiri. Membayangkan masa remajanya akan segera berakhir di pelaminan, dengan seorang pria yang tak dikenalnya. Lalu bagaimana pula hubungannya nanti dengan Kenzo? Apa akan benar-benar putus? Juga dengan teman-teman di kampus dan di tempat kerja. Memalukan sekali tiba-tiba menyebar undangan pernikahan. Tetapi jika tidak mengundang, nanti kalau tiba-tiba ketahuan, apa tidak akan lebih mengerikan lagi? Begitu isi kepala Mentari saat ini. Dia benar-benar menyesal telah berani meminum alkohol untuk pertama kali dalam hidupnya. Yang langsung menyebabkan segala kekacauan ini. “Jadi Pak Hendy, nanti kita mau nanggap band dangdut lokal? Atau organ tunggal saja?” Kedua bola mata Astri tampak berbinar penuh harapan. Dia menunggu jawaban calon besannya dengan sabar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD