Dua: Teman Sekelas

1363 Words
“Untuk menyembuhkan luka, terkadang kamu hanya perlu berhenti mengungkitnya.” *** "Mbak." "Hemm." "Mbak." "Ya." "Mbak." Kiara berdecak, buru buru bangkit dari posisi tidurannya dan menatap kesal sang adik. "Gi, lo minta gue unyel-unyel ya hari ini?!" decak Kiara terganggu akan tingkah Egi yang sedaritadi memanggilnya tanpa alasan. "Mending sekarang lo mandi, dibanding gangguin gue." Egi tak menyahut lagi, berganti posisi menjadi tiduran di sofa panjang. Sementara sang ibu, sudah mengomelinya untuk segera mandi. Tatapannya menatap lurus langit-langit ruangan berwarna krem, teringat lagi ekspresi Rayna yang entah kenapa terngiang-ngiang terus di kepalanya. "Mbak, cewek emang bisa nangis ya kalau liat orang lain sukses?" Kiara mengernyit, berbalik sepenuhnya menghadap sang adik. "Lah, lo kenapa nanya gitu?" Tangan Kiara bergerak mengecilkan volume TV yang sedang menayangkan drama Korea favoritnya. Salah satu sudut bibirnya terangkat mencolek tangan sang adik yang menatapnya malas. "Kenapa cewek lo lagi sedih?" "Mbak tolonglah." Egi berdecak, lelah sendiri akan tingkah sang kakak yang selalu menggodanya itu. "Harus berapa kali gue bilang, kalau gue nggak punya pacar!" "Oke, oke jangan marah dong." Egi memutar bola matanya, malas menghadapi sang kakak yang semakin tersenyum lebar. "Jadi siapa cewek itu?" "Temen sekelas,"sahut Egi cuek. "Dia nggak pernah nangis separah itu, jadi aneh." Egi mendudukkan dirinya, bersila di atas sofa sementara sang Kakak duduk di atas karpet. "Dan itu karena poster siswa berprestasi." Kiara berdeham, mengelus-elus dagunya seolah berpikir keras. "Menarik," ucapnya setelah sekian lama terdiam. "Gue nggak pernah kayak gitu sih, mungkin lo harus nanya ke ceweknya langsung?" Egi menghela napas, membenarkan ucapan sang kakak diam diam. Namun baru saja dia hendak membalas, kupingnya sudah ditarik cukup keras. Menyebabkan Egi memekik kesakitan, ditemani Kiara yang bertepuk tangan heboh kesenangan. "BAGUS YA, DISURUH MANDI MALAH NGOBROL!" "BUNDA, AMPUN!" *** Rayna berdecak, memasukkan bulat-bulat sebutir bakso kedalam mulut agar menghentikan isakannya yang tak kunjung berhenti. Vina memeluk lututnya, menatap sahabatnya yang baru memakan baksonya sementara ia sudah menghabiskan 3 mangkok. Sedih sendiri melihat Rayna berusaha untuk berhenti menangis. "Sumpah ya, lo beruntung yang liat lo kayak gini cuman gue. Kalau teman kita yang lain lihat, mungkin udah diapain si Lia sekarang." Rayna diam, tak menjawab. Fokus sepenuhnya pada bakso buatan sang Ibu. Menangis benar-benar menghabiskan energinya, dan dia kelaparan sekarang. "Vin," panggilnya setelah menghabiskan seporsi baksonya. "Mau lagi." Vina menghela napas, meraih mangkuk kosong yang disodorkan Rayna. "Kalau lo lagi nggak sedih, ogah gue ngambilin lo makan," dengusnya sebelum beranjak menuruni anak tangga. Rayna menempelkan pipinya di atas meja, merasakan dinginnya kaca meja. Pandangannya tertuju pada televisi yang menyiarkan drama korea, ia tersenyum pelan ketika adegan lucu muncul di sana. Namun, suara notifikasi yang masuk membuatnya mengalihkan perhatiannya ke ponsel. Gadis itu mengernyit ketika melihat nama Egi tertera di layar ponselnya, sebelum akhirnya menghilang dan berganti menjadi lock screen. Rayna membuka salah satu aplikasi pesannya, lagi-lagi mengernyit melihat pesan yang dikirimkan Egi. Egi: Lo tadi kenapa nangis? Rayna mengerjapkan matanya, kebingungan karena teman sekelasnya itu bisa tau dia menangis. Seingatnya, tak ada yang melihatnya menangis tadi selain-. Tunggu! Cowok yang mergokkin dia tadi bukan Egi kan?! *** Jam kosong, selalu menjadi primadona bagi setiap pelajar. Apalagi kalau jam kosong tersebut adalah pelajaran matematika, jam terakhir dan tanpa tugas. Rasanya kelas 11 Ipa 4 mau sujud syukur saja karena dapat rejeki seperti ini. Alasannya di sekolah mereka, jam kosong itu jarang sekali terjadi. Tak heran banyak orang menjuluki anak sekolahan mereka sebagai murid-murid ambisius. Egi melepaskan earphonenya memutuskan untuk tak melanjutkan permainannya. Bosan juga memainkannya hingga berkali-kali, dan tentu saja dia selalu menjadi pemenang. Sombong dikit nggak masalah kan? Mumpung dia bisa sombongin keahliannya walaupun itu bukan pelajaran. "WI! PLEASE WI!" Suara berisik dari Roy, sukses mengalihkan perhatian Egi ke pojok belakang kelas. Entah sejak kapan beberapa temannya sudah duduk melingkar di lantai, entah melakukan apa. Dari tempatnya dia bisa melihat raut stres Roy yang tak berhenti memohon. Penasaran, Egi beranjak menghampiri kerumunan itu. Egi ingin tertawa saja, saat tau apa yang membuat Roy sefrustasi itu. Di tengah lingkaran sudah ada beberapa kartu uno menumpuk, dan yang paling mencolok adalah kartu-kartu bertanda plus yang terletak paling atas. Sudah dipastikan Roy tak mempunyai kartu serupa. "Udah berapa sih?" Dewi bertanya dengan senyum terkulum, melihat tumpukan kartu plus di depannya. "18 ya?" tanyanya, namun menatap Roy dengan tatapan memohon maaf. "Maaf ya.Uno!" serunya heboh meletakkan satu kartu plus 2 berwarna kuning. Menyebabkan lingkaran tersebut semakin memanas. Rayna menghela napas, melihat kartunya dengan wajah tertekuk. Roy menatap Rayna dengan harap-harap cemas, berharap kalau temannya itu tak ada kartu plus lagi. Cowok itu langsung bersorak heboh saat tangan Rayna bergerak meraih kartu sejumlah 18, merasa tenang karena bukan dia yang ketambahan kartu. "Maaf ya." Ucapan Rayna, sukses membuat teman-temannya terdiam. Gadis itu sudah tersenyum kecil, mendorong tumpukan kartunya ke Roy yang duduk disebelahnya. "Lo harus tambah 4. Uno game!" ujarnya penuh kemenangan, meletakkan kartu plus 4 yang menjadi kartu terakhirnya. Egi tertawa kencang, jadi merinding sendiri melihat Rayna yang bukan hanya menjadi pemain pertama yang selesai tapi juga berhasil memainkan emosi teman-temannya. Bahkan Roy sudah telungkup di lantai, tak menerima fakta bahwa dia yang kena. Terlihat jelas Rayna tertawa seraya melakukan tos dengan teman-temannya yang lain. Sesekali menepuk pundak Roy yang kini sibuk mengelompokkan kartunya. Namun, ketika matanya bertatapan dengan Egi, gadis itu hanya tersenyum tipis. Kembali fokus pada permainan yang masih berlanjut. Egi menatap lekat Rayna, memastikan bahwa Rayna yang ia lihat sekarang sama dengan Rayna yang ia lihat kemarin. Kalau Rayna bisa dibuat menangis separah itu, berarti ada masalah yang aneh. Karena Egi yakin, Rayna bukanlah perempuan lain yang mudah sekali menangis karena masalah sepele kecuali itu K-pop. *** "Nonton apa?" Rayna yang fokus pada layar ponselnya, sontak menoleh. Ia sedikit mengernyit ketika melihat Egi duduk di sebelahnya, matanya menatap sekitar lantas mendapati Vina yang sudah merengek karena ditarik Adrian menuju kantin. Tindakan kecil yang sukses membuat seisi kelas menggoda mereka dengan kata 'cie' ataupun bersiul-siul. "Drakor," jawab Rayna cuek, jadi memakai tudung jaket kebesarannya kembali larut akan tontonannya. "Lo nggak main game?" tanyanya balik, menyadari bahwa Egi ikut melihat layar ponselnya. Egi mengangguk sekilas, meraih ponselnya dan membuka salah satu aplikasi gamenya. Berpura-pura terlihat sibuk sendiri. "Chat gue nggak masuk ya semalam?" Ucapan Egi sukses membuat Rayna terdiam. Teman sekelasnya itu mencoba bersikap biasa saja walau kini sudah ketar-ketir sendiri. "Chat yang mana?" tanyanya, jadi tak fokus pada adegan drakor yang sedang seru-serunya. "Lo kenapa nangis kemarin?" Egi langsung to the point sadar bahwa Rayna mengulur-ulur pertanyaannya. "Kemarin lo nangis depan mading kan?" "Lo salah liat orang kali,” balas Rayna berusaha mengelak, “Kemarin kan gue-“ “Nggak, gue yakin banget waktu itu liat lo nangis depan mading.” Egi mengalihkan tatapannya dari layar ponsel, lantas beralih pada Rayna. Pandangannya berbeda tak sejenaka biasa, terkesan menghujam dan begitu yakin akan apa yang diucapkannya. “Lo sempat nabrak gue waktu itu.” Tau bahwa ia tak bisa lagi mengelak, Rayna memijat pelan pelipisnya. Sedikit merutuki dirinya yang sembarang melepaskan topengnya. Ponselnya ia matikan, lantas bersandar pada kursi. Hening cukup lama, hingga Rayna memberi tatapan dingin yang berhasil membuat Egi tertegun di tempat. Tak pernah menyangka tatapan itu bisa datang dari seorang pemeriah suasana kelas, yang selalu secerah matahari. Sebagai seorang Ketua Komite Disiplin, Egi terbiasa menghadapi berbagai macam tatapan mengintimidasi ataupun menusuk milik orang lain. Namun, milik Rayna entah kenapa membuatnya terdiam. Melalui tatapan, Egi menyadari ada tembok besar yang terasa menghalangi mereka berdua. Membuat Rayna yang begitu dekat dengannya, terasa asing. "Ya itu gue." Rayna mengangguk kecil, lantas tersenyum kecil. “Sayangnya gue nggak mau ngasih tau lo, kenapa gue nangis kemarin.” Helaan napas berat dilakukan Rayna, nampaknya mencoba mengendalikan ekspresinya yang mendadak tak ramah. Gadis itu mengedarkan pandang, mencari siapa saja yang sedang berkumpul dan ia bisa bergabung di dalamnya. Berniat melarikan diri dari segala pertanyaan yang jelas memenuhi otak Egi. “Gue nggak masalah soal dugaan-dugaan lo sendiri kenapa gue nangis kemarin,” ujar Rayna kini kembali berekspresi seperti dirinya biasa. Ia sempat mengamati ekspresi Egi beberapa saat, sebelum tersenyum kecil.“Bahkan kalau dugaan itu, tentang gue yang iri tentang pencapaian seseorang.” “Kita memang dekat Gi, tapi cuman sebatas sesama K-popers. Nggak cukup dekat, hingga gue bisa ngasih tau lo alasan gue sedih."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD