Dari balkon kamarnya Hugo menatap keluar, keindahan alamnya yang memukau. Pasir putih yang lembut, air laut yang jernih, surga bagi pecinta pantai seperti Hugo dan Zalikha.
Deru ombak dan semilir angin laut mengingatkan kembali kenangan yang pernah Hugo dan Zalikha lakukan di sebuah pantai. Keduanya suka pantai, melihat matahari terbenam bersama merupakan kenangan yang Hugo rindukan saat ini.
Suara kicau burung menyentakkan Hugo, hingga pria itu kembali ke dunia nyatanya. Sekarang dia sudah menjadi suami Ara, wanita itu yang saat ini sudah terkulai di atas kasur. Hugo membiarkan istrinya beristirahat sementara dia sudah membersihkan dirinya.
Ketika hendak kembali masuk ke dalam sudut matanya menangkal siluet sosok yang dia kenal.
Zalikha.
Mantan calon istrinya itu berjalan sendiri di bibir pantai. Kemudian berhenti dan menatap ke arah matahari yang sebentar lagi terbenam. Bibir Hugo tertarik melengkung, dia tersenyum menatap Zalikha yang masih mengingat kebersamaan mereka.
Tapi tiba-tiba senyum Hugo pudar seiring datangnya seorang pria mendekati Zalikha dan memberinya jaket yang dipakainya pada wanita itu.
Hugo mendengus kesal, kenapa adik ayahnya itu harus muncul di saat seperti ini.
"Mengapa harus Uncle Daylon, Likha?” monolog Hugo, tangannya menggenggam erat pagar pembatas balkon.
"Kenapa kamu terima perjodohan itu? Ingin balas dendam?” Hugo mendengus tawa. Dia merasa kehidupan ini sangat lucu.
"Alur cerita macam apa yang author buat?" makinya dalam hati.
'Author terkekeh sambil terus mengetik alur cerita yang ada di benaknya, mengabaikan makian Hugo.'
***
Beberapa jam sebelumnya,
Setelah makan siang bersama keluarga, Daylon dan Zalikha kembali ke kamar mereka, melihat Daylon yang sibuk dengan laptop dan ponselnya, Zalikha merasa tidak ingin menganggu pria itu.
Wanita itu berinisiatif nonton film kesukaannya. Sampai film itu habis tapi Daylon masih belum selesai dengan pekerjaannya. Akhirnya Zalikha berpikiran untuk jalan-jalan di sekitar hotel.
Wanita itu pun baru menyadari ternyata belakang hotel itu adalah pantai. Dia menyukai pantai, kadang kalau sudah di pantai dia lupa waktu. Hari pun menjelang sore, matahari tenggelam adalah pemandangan yang sangat indah baginya.
Berjalan di bibir pantai, pasir putih yang lembut di kaki, ombak yang sesekali mengenai kakinya menjadi kesenangan tersendiri untuk putri kandung Aksa Abimana itu.
Kaki Zalikha berhenti dan menatap lurus ke tengah laut di mana airnya berwarna jernih.
Tapi tiba-tiba dia dikejutkan dengan kedatangan Daylon dari belakang dan langsung menyematkan jaketnya di kedua pundaknya.
"Kenapa pergi sendiri? Harusnya kamu bisa ajak aku," sindir Daylon.
"Apa pekerjaan Uncle sudah selesai?” balas Zalikha menyindir balik.
Daylon mengulum senyumnya, sejak tadi dia memang sibuk dengan pekerjaannya tapi tidak sedikit pun dia lengah—tidak memperhatikan Zalikha. Tadi dia hanya ke kamar mandi sebentar tapi ketika kembali ternyata Zalikha sudah tidak ada di kamar. Daylon merapihkan laptop dan berkasnya kemudian mencari Zalikha. Siapa sangka calon istrinya itu ternyata ada di pantai ini.
"Aku hanya sedikit mengerjakan pekerjaanku yang —”
"Ya sudah, kalau Uncle masih sibuk kenapa ke sini?” potong Zalikha ketus.
"Heum ... Ada yang cemburu," goda Daylon sembari merangkul pinggang Zalikha dan menarik tubuh wanita itu lebih dekat.
"Cemburu?”
"Cemburu sama pekerjaan ku?”
Daylon benar, cemburu tidak harus pada sosok hidup seperti wanita, bisa jadi cemburu pada apa yang menjadi fokus pria itu. Dia tadi terlalu fokus pada pekerjaannya dan mengabaikan Zalikha. Wanita mana yang suka diabaikan? Tidak ada bukan?!
"Baiklah, aku paham. Mulai saat ini aku tidak akan membawa pekerjaan pulang kerumah kita nanti."
Rumah kita?
Hati Zalikha seketika menghangat dengan kalimat itu. Sebentar lagi dia akan menikah dengan Daylon dan tinggal satu atap dengan pria itu.
"Kalau sampai terulang?” tantang Zalikha.
"Heum, kamu bisa minta apapun yang kamu mau, bagaimana?”
"Ish! Begitu aja? Gak seru! Kamu bisa kasih apa yang aku minta secara duit kamu gak berseri."
Daylon terbahak. Ini pertama kalinya dia tertawa lepas saat bersama Zalikha.
"Baiklah, baiklah, apa yang menjadi hukumannya?” tanyanya.
"Uncle tidur di sofa ruang tamu selama seminggu."
"Hah? Mana bisa begitu?” tolak Daylon ketika mendengar hukuman yang di buat oleh calon istrinya itu.
"Bisa dong, Uncle bisa bawa pekerjaan ke rumah berarti siap dengan konsekuensinya."
"Gak bisa, Likha! Hukumannya yang lain.” Daylon bersikeras menolak.
Zalikha mencoba lepas dari dekapan Daylon karena kesal, pria itu seakan tidak patuh. Tapi Daylon malah mempererat tangannya.
"Aku tidak bisa terima hukuman seperti itu, Likha. Aku tidak bisa jauh dari kamu meski hanya sebentar saja," bisik Daylon seraya mengendus ceruk leher Zalikha.
Matahari terbenam bersamaan dengan ciuman lembut yang Daylon berikan pada bibir Zalikha. Keduanya saling melumat, menyesap.
Tanpa mereka sadari dari balkon kamar hotel ada yang memperhatikan mereka dengan hati yang terbakar sejak tadi melihat interaksi keduanya. Hugo semakin terbakar api cemburu melihat Daylon dan Zalikha berciuman bergitu mesranya.
"Secepat ini kamu sudah melupakan aku, Likha?" geram Hugo. Berkali-kali dia memukul pagar pembatas balkon hingga tangannya memerah.
"Ouhhh," rintih Ara. Wanita itu terbangun dari tidurnya karena merasa bagian tubuhnya ada yang sakit. Perutnya nyeri.
"Mas, Mas Hugo ... Hugo!” jerit Ara.
Hugo tersentak mendengar teriakan Ara memanggilnya. Dia langsung masuk dan melihat istrinya yang sedang meringkuk menahan rasa sakit yang teramat dengan keringat sebesar jagung di pelipisnya.
"Ara, kamu kenapa, Sayang?" tanya Hugo khawatir. Mendekat dan memeriksa kondisi Ara.
"Perut aku sakit!” rintihnya.
Hugo langsung menghubungi pihak hotel agar di panggilkan dokter segera.
Tidak lama seorang dokter dan perawat pendampingnya datang bersama beberapa petugas hotel.
Hugo mengira hanya dokter dan petugas hotel yang datang, ternyata dibelakang—menyusul keluarga Takizaki dan mertuanya.
"Astaga Ara, apa yang terjadi sama kamu, Nak?” Sarah begitu khawatir melihat kondisi putri kesayangannya yang terkulai lemas.
Aksa menarik tangan istrinya agar tidak menghalangi dokter yang sedang memeriksa Ara. Kedatangan Sarah malah membuat kondisi kacau.
"Ara kenapa, Hugo?" tidak dapat jawaban dari putrinya, Sarah bertanya pada menantunya.
"Aku gak tahu juga, Bu. Bangun tidur dia merintih kesakitan. Katanya perutnya sakit."
"Apa kalian habis berhubungan badan?” tuding Sarah.
"I-iya, memangnya kenapa? Kami kan suami istri, apa salahnya?" Hugo mengakui apa yang baru saja dia lakukan bersama istrinya. Menurutnya itu sah-sah saja.
Semua orang yang ada di sana mengendus kesal.
"Kenapa kamu tidak bisa menahan hasrat kamu?" bentak Roki.
"Pa, bukan Hugo yang mau. Ara yang meminta. Orang hamil kan gairahnya lagi meningkat, nanti kalau gak di kasih dia ngambek," kelit Hugo membela diri.
Sarah geleng kepala seraya memijat keningnya, dia tidak menyangka kalau putrinya seagresif itu pada pria. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya bukan? Sarah juga sama agresifnya ketika bersama Aksa. Lebih sering wanita itu yang meminta saat sedang ingin berhubungan intim ketimbang suaminya.