Yasmin Tiga

1124 Words
Dian dan Yuni lebih dahulu sampai di kediaman keluarga almarhum bos mereka. Suasana duka masih terlihat sangat kental, para sanak famili juga masih silih berganti keluar masuk dalam kediaman keluarga almarhum Arman. Ada kurang lebih karangan bunga ungkapan duka cita yang dikirimkan oleh para relasi, sahabat dan keluarganya. Dian memarkirkan motornya di samping sebuah pohon besar. Ada juga beberapa motor sudah terparkir disana. Siapa sih yang tidak kenal dengan kawasan Pondok Indah. Semua orang begitu familar dengan nama tersebut. Tidak ada rumah tipe tujuh puluh disana. Semua rumah terhiung ratusan meter. "Jaja kemana sih?lama bener!" Gerutu Dian sambil membetulkan posisi kerudungnya. "Mampir dulu kali beli air, kasian haus karena gowes." Sahut Yuni ikut duduk di atas motor Dian. "Eh, panjang umur lu, Ja. Baru disebutin udah nongol." "Aamiin ya Allah. Semoga gue panjang umur." Jaja menyandarkan sepedanya di pohon besar. Matanya menatap jejeran karangan bunga yang memenuhi sepanjang jalan masuk menuju rumah bosnya. "Orang kaya banget ya, almarhum. Kasian usianya pendek." Ujar Jaja sambil melihat ke arah dua teman wanitanya. "Iya, Ja. Kasian. Apalagi anak lelakinya tadi." "Iya, benar. Gue rasanya pengen ikutan nangis." Celetuk Yuni dengan mata berkaca-kaca. "Oh, gue kirain. Lu pengen ikut dikubur juga, Yun." Pleeettaaakk... "Sembarangan! Sepeda butut!" Yuni dengan kesal menepuk keras pundak Jaja. "Biarin weeekk, dari pada kamu, rante kapal!" "Ehh...malah berantem, sih! Ayo kita ke dalam!" Dian melerai Jaja dan Yuni, ketiganya masuk ke dalam pekarangan rumah. Dian dan Yuni yang masih malu-malu, ikut duduk di kursi bawah tenda yang sudah disediakan. Sedangkan Jaja masih dalam posisi berdiri, celingak-celinguk. "Hei kamu, sini!" Teriak lelaki paruh baya, berwajah timur tengah, memanggil Jaja. "Saya, Pak!" Jaja menunjuk dirinya. Lelaki paruh baya itu mengangguk. Dengan cepat, Jaja menghampirinya. "Ada apa, Pak?" "Kamu teman menantu saya?" "Eh...bukan, Pak. Saya karyawannya almarhum, di pabrik tas." Jawab Jaja sambil tersenyum. "Oh begitu, ini saya mau minta...!" "Opaaa... tolong ambilkan layangan!" Teriak Reza pada lelaki paruh baya yang sedang bicara dengan Jaja. Anak kecil itu menunjuk layangan yang tersangkut di pohon besar, tempat sepeda Jaja bersandar. "Opa ga bisa ambilnya, Bang. Minta tolong om Heru, ya!" Anak lelaki itu mengeleng, bahkan wajahnya seperti ingin menangis. "Eh, jangan nangis, De! Biar abang ambilin ya!" "Emang kamu bisa?" Tanya opa Reza yang menelisik Jaja dari ujung kaki sampai ujung rambut. "Bisa, Pak. Sebentar ya!" Jaja pamit, ia berjalan ke arah pohon besar yang diikuti oleh Reza dan Opanya. Anak lelaki itu tersenyum, ia bahkan menyeringai kepada Jaja. Jaja melepas sepatunya, terlihatlah kaos kaki bolong pada bagian jempolnya. "Abang, kaos kakinya sobek ya?" Tanya Reza dengan suara lucu. "Iya, De." Jaja menyeringai sambil melihat miris jempol kakinya yang munjul keluar. Bukan hanya sebelah, tapi keduanya. Dengan mahir, Jaja memanjat pohon besar mengambilkan layangan untuk anak bosnya. Karena memang orang kampung, urusan manjat-memanjat serta berenang. Jaja jagonya, biasa manjat tembok, ngintipin anak tetangga mandi. Dan berenang di kali. "Ini ya, De!" Teriak Jaja dari atas pohon, menunjukkan layangan pada Reza. Anak kecil itu bertepuk tangan kagirangan, bahkan ia melompat-lompat. Sang kakek, hanya mengulum senyum. Sambil mengusap sayang kepala cucunya. "Aduh!" Jaja menggaruk tangannya gatal. Ia meraih, batang besar demi batang besar untuk kembali turun. Namun sayang, Jaja tidak hati-hati. Sehingga menginjak sarang semut rang rang. "Aduh!" Pekiknya lagi, kini menggaruk tengkuknya. Cepat ia melompat karena sudah tidak tahan rasa gatal. "Ini De!" Ia memberikan layangan pada Reza. Kemudia memukul mukul pakaiannya, tangannya dan kepalanya. Jaja blingsatan karena gatal dan perih. "Kamu kenapa?" "Sepertinya digigit semut, Pak." Anak lelaki itu memandang Jaja dengan kasian. "Ayo, Bang. Ikut Eja." Reza menarik paksa tangan Jaja. Berjalan masuk ke dalam rumah. "Eh, disini saja, De. Abang ga papa, kok!" Jaja sungkan, ia menoleh pada kedua teman wanitanya yang sedang mengumpulkan sisa air mineral. Wajah dan badan Jaja sudah bental-bentol digigit semut. Kedua temannya menahan tawa. Merasa lucu dengan Jaja. "Ada apa ini?" Suara renyah wanita yang baru saja menyandang status janda membuat jantung Jaja hampir saja melompat. Ia bahkan tidak berani menatap janda bosnya. "Amih, abang ini digigit semut, karena sudah bantu abang ambil layangan di atas pohon." Terang Reza dengan pintarnya. "Oh, gitu. Ke belakang aja dicuci setelah itu dikasih minyak oles." Ujar Yasmin sambil melihat pria muda yang wajah dan tangannya pada bentol. "Abang, masuk ya!" Pinta Yasmi pada putra semata wayangnya. Suaranya terdengar masih bergetar. Reza menerima tangan ibunya, lalu menoleh sebentar pada Jaja yang masih saja menggaruk. Lelaki kecil itu tertawa, sambil memegang perutnya. "Abang lucu, aduh. Mukanya lihat itu!" tunjuk Reza yang tidak tahan dengan wajah dekil Jaja berikut bentol yang menghiasinya. "Makasih ya abang, udah ambilkan abang Eja layangan. Namanya siapa?" tanya anak kecil itu dengan gemasnya. "Abang Jaja" "Wah nama kita sama, Bang!" Reza memekik senang, ia meraih tangan Jaja lalu mencium punggung tangan Jaja. "Terimakasih ya, Ban," ujar Reza, sebelum benar-benar masuk ke dalam rumahnya. Jaja hanya tersenyum sambil melambaikan tangan. Oleh salah seorang wanita muda, ia diarahkan untuk ke belakang. Mencuci wajah dan tangannya. Berjalan melewati samping, tanpa sengaja, Jaja melewati jendela yang sedikit terbuka, dengan hati-hati Jaja melirik. Sepertinya ini kamar bosnya. Karena ada foto pernikahan cukup besar terpajang di dinding. Lagi-lagi Jaja mengagumi pasangan bosnya, lelaki yang tampan dan wanita yang sangat cantik. MasyaAllah ciptaan Allah. Gumamnya sambil terus berjalan ke arah belakang. Setelah mencuci wajahnya dan tangannya. Ia mengelapnya dengan kain bersih yang diberikan oleh wanita tadi. "Ini minyaknya, Mas. Borehin aja, nanti juga hilang!" titah Bik Narsih sambil mengulurkan minyak obat kepada Jaja. "Terimakasih, Teh." "Setelah itu, tolong angkatin air mineral yang disana, ke dalam ya, Mas. Bolehkan?" Pinta Bik Narsih sambil tersenyum. "Eh, iya. Boleh, Teh," sahut Jaja bersemangat. Ia mulai menggosokkan minyak ke wajah, tangan dan lehernya. Setelah dirasa cukup, Jaja masuk ke dapur rumah keluara bosnya. MasyaAllah, dapur sama rumah gue, gedean dapurnya kali ya. Jaja bermonolog, ia mengangkat tiga kardus air mineral dibawanya satu persatu ke teras, lalu balik lagi ke dapur. Ia mengangkat lagi, lalu membawanya ke ruang tamu. Ia melirik sekilas, Reza dan ibunya serta sanak saudaranya sedang berada di ruang tengah. Janda bosnya masih saja terlihat terisak. Ada Reza anaknya yag tiduran di pangkuan ibunya. "Taruh di sini saja!" seru bik Narsih sedikit berteriak kepada Jaja. Menunjukan meja yang terletak tidak jauh dari tempat berkumpul keluarga. Lelaki itu mengangguk paham, lalu dengan penuh percaya diri dan semangat mengangkat kardus air mineral terakhir. Sedikit membungkuk, tanda permisi ia mulai melewati barisan ibu-ibu dan bapak-bapak yang sedang berbicara cukup serius. Reza menoleh, ia memanggil Jaja dengan suara lucunya. "Bang Jaja." Jaja menoleh sambil menyeringai. Bugh! "Allahu Akbar!" pekik Yasmin kaget. Jaja nyungsep tepat di depan bu Yasmin dan Reza. Wajah pucat dicampur rasa sakit, membuat ia tidak berani menatap orang di sekelilingnya. Ya Allah, malunya. Ia hanya menunduk. "Maaf, Bu.!" Ia hendak berdiri dengan susah payah. Krreek! Ya salam, jahitan tengah celananya robek. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD