Bab 3 : Waktu yang Terlalu Singkat

1055 Words
Dengan menggunakan alasan 'Mas Satya membutuhkanku segera', Bunda dan Amira mengizinkan aku pulang lebih dahulu. Mereka sempat menanyakan keberadaan Satria, tetapi aku enggan menjawab. Perasaan dongkol memenuhi hatiku karena sikap Satria barusan. Seakan-akan, aku w************n yang dengan mudah menerima lelaki b******k seperti Satria. Tidak akan! Sedetik setelah aku menginjak area depan mall, sebuah mobil yang sangat aku hapal berhenti. Tidak perlu membuang banyak waktu, aku segera naik sambil menghentakkan flat shoes berulang kali di aspal. "Kan Mas udah bilang, kamu nggak usah pergi," ucap Mas Satya sesaat setelah menjalankan mobil ini. "Aku kan mau menghargai Bunda! Emang kamu, nggak mau ketemu Bunda?" Aku balas sengit. Astaga, nyeri di perut mulai terasa kuat. Aku meremasnya dengan kuat, mencoba mengalihkan rasa sakit. "Kok balas sewot sih, Din?" "Terus apa?" "Kamu kenapa juga bisa sama Satria tanpa Bunda atau Amira? Mau berduaan?" "Itu bukan keinginan aku! Aku cuman ke toilet, mau telpon kamu! Kamu lama banget angkatnya!" Dengkusan kesal aku keluarkan. "Oh iya, ya. Kan lagi sama si jamu datang bulan itu! Pastinya nggak ingat sama istri sendiri!" "Medina ...." Mas Satya menggeram. Lalu aku terdiam. Kesal. *** Putar kanan, nyeri. Putar kiri, sakit. Telentang atau tengkurap pun sama saja. Aku sangat menderita saat tamu bulanan ini datang. Sementara tidak ada yang bisa dimintai tolong. Setelah Mas Satya mengantarku ke rumah, dia kembali lagi ke tempat kerja. Aku menggigit bibir kuat-kuat, mengurangi rasa sakit di perut dengan menciptakan sakit yang baru. Sulit. Astaga .... Meski terus merintih, tidak ada juga gunanya. Derit pintu terdengar. Aku memaksa untuk melirik, dan menemukan Mas Satya berlutut di lantai dekat aku berbaring. "Kok di sini, Sayang? Naik ke tempat tidur, yuk?" ajak Mas Satya. "Nggak mau!" tolakku, tegas. "Kenapa? Di sini dingin." "Nggak mau!" "Sayang ...." Aku tetap tidak peduli dengan panggilan Mas Satya. Tubuh kembali diputar menghadap ke kiri untuk menghindari Mas Satya. "Mas antar ke kamar mandi?" Aku terpekik. Tanpa disangka, Mas Satya menggendongku dalam sekali gerakan. "Mas!" Mas Satya tidak acuh, mantap membawaku ke kamar mandi. Dia mendudukkanku, lalu menyerahkan sebuah kantong plastik berwarna putih dengan logo salah satu minimarket dekat sini. Tanganku yang gemetar karena rasa sakit mulai membukanya, menemukan beberapa pak pembalut juga jamu datang bulan. "Mau Mas gantiin?" Kali ini, Mas Satya berbicara dengan nada menggoda. Aku mendesis. Dengan tenaga lemah, aku mendorong Mas Satya keluar. Dia pasrah. Hanya butuh beberapa menit aku di kamar mandi, kemudian keluar dari sana dengan menggunakan bathrobe. Lantai tempatku berbaring tampak basah, mengkilap. Sepertinya, noda datang bulan tembus ke lantai dan Mas Satya mengepelnya. Opiniku semakin kuat saat menemukan gagang pel dekat pintu. "Istirahat sini, Sayang," panggil Mas Satya yang berbaring telentang di atas ranjang seraya menepuk sisi kosong di dekatnya. Saat mengucapkan itu, dia tersenyum tipis, aku balas dengan hal sama. Tuhan ... aku sangat mencintai makhluk-Mu ini. Aku menuruti permintaan Mas Satya. Merangkak naik ke atas ranjang, lalu berbaring di sampingnya. Seolah belum cukup, Mas Satya menarik tubuhku agar naik ke dadanya. Deg dug! Deg dug! Mataku bergerak kanan-kiri mengikuti irama jantungnya yang merdu. Lalu tertawa. Aku sangat menyukai saat-saat seperti ini. Begitu menenangkan sehingga separuh dari nyeri di perut seakan menguap. Mas Satya menjulurkan jari telunjuknya untuk mengusap halus bagian tengah kening, terus turun hingga pangkal hidung. Kemudian menekannya. Aku melotot, yang disambut oleh gelak tawa dari Mas Satya. "Mas ih! Jangan dipencet gitu! Ntar makin nyungsep ke dalem loh hidungnya." Mendengar protesanku, Mas Satya semakin menambah gelak tawanya. Dia mencubit hidungku hingga perih. Sedetik setelah melepaskan tangannya, dia mengecup ringan bekas siksaan manis Mas Satya. Memang sakit, tapi bahagia di dalam d**a bisa membuat sakit itu begitu menyenangkan. Aku mengetatkan pelukan. Sedikit mendongak, demi bisa melihat rahang tegasnya yang membuatku sering ketakutan, tapi terpesona di saat bersamaan, juga hidungnya yang mancung. Aku ingin menikmati keindahan ini lebih lama lagi. "Nggak kerja emangnya, Mas?" tanyaku, hati-hati. "Ntar malem, Sayang. Emangnya nggak suka Mas di sini?" Dia balas bertanya. "Nggak. Aku malah suka banget. Nggak tau kenapa, aku akhir-akhir ini mudah kangen sama kamu. Aku ini istri kamu loh, Mas. Mestinya aku dapat banyak waktu sama kamu, cuman cuma sela-sela waktu kerja kamu." Aku ingin berharap, tapi terlalu takut. Hanya bisa bercerita, semoga Mas Satya sedikit mengerti atas apa yang aku rasakan. "Iya tau. Mas usahakan ya, Sayang." Dia mengecup tanganku yang memeluknya, lalu meletakkannya kembali ke tempat semula. "Aku kesepian tau, Mas. Walaupun sekarang kerja pagi pulang sore, tetep aja kayak kosong aja kalau sampai rumah. Seandainya aja, kita punya ... anak. Aku nggak bakal--" "Nggak. Kamu nggak boleh hamil dulu. Oke?" "Kenapa, sih? Iya, aku masih kayak anak-anak. Tapi, aku rasa, aku bisa kok urus anak. Aku juga bisa belajar sama temen, kalau itu yang Mas takutin." "Bukan itu, Sayang. Tolong mengerti satu hal ini. Mas belum siap punya anak. Kamu jangan sampai hamil, ya?" Selalu. Jawaban buruk itu diberikan oleh Mas Satya. Meski sebenarnya berat menerima, aku tetap menghormati keputusannya. Suara dering ponsel menghentikan aktivitas nyaman kami. Mas Satya merogoh saku celananya. Mengeluarkan smartphone yang layarnya tertulis nama Kinanti. Aku melepaskan pelukan untuk menunjukkan pada Mas Satya bahwa aku tidak suka wanita itu mengganggu kami. Namun, dia malah turun dari ranjang dan meninggalkan aku sendiri di luar kamar. Aku menunggu kesal. Untuk menghilangkan bosan, aku mencari ponsel juga. f*******: menjadi tempatku berselancar. Lebih membosankan juga sebenarnya, karena di dunia maya pun banyak orang yang memamerkan pasangan mereka. Sementara aku masih tampak sendiri. Maka tidak heran jika masih ada beberapa yang mengajak kenalan, atau ingin mengajak membuat sebuah hubungan. Namun, berakhir dengan akun tersebut masuk ke pemblokiran karena Mas Satya selalu memantau semua aktivitasku di manapun. Mas Satya muncul. Dia berjalan cepat menuju lemari, mengeluarkan jaket kulit hitam dari sana. Lalu menghampiriku. "Mas kerja dulu, ya? Kamu istirahat. Nggak usah ke mana-mana. Nanti Mas bilang ke Lisa kalau kamu sakit. Mau dibawain apa nanti?" tanya Mas Satya setelah mengecup ringan keningku. "Nggak perlu." Aku tetap fokus pada layar hape, sementara hati mulai dipenuhi oleh rasa kecewa, lagi. Aku berusaha tegar sekarang. "Assalamualaikum!" Aku melirik Mas Satya berlari cepat keluar kamar. Bersama satu tetes cairan terjatuh begitu saja. "Wa alaikum--salam." Suaraku tersendat. Lalu terisak tanpa disengaja. Ponsel dilemparkan ke tengah ranjang. Aku hanya bisa mengenang lagi kejadian barusan, juga merasakan aroma parfum Mas Satya yang tertinggal. Wajah ditenggelamkan ke bantal yang baru saja dipakainya untuk meredam tangis. Aku memang secengeng ini. Karena aku masih merindukannya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD