“Sayang ....”
Embusan napas hangat menyentuh leher tatkala seruan lembut itu menyapa telinga. Aku memaksakan tersenyum pada sosok yang belum terlihat wujudnya karena mata ini belum terbuka.
“Sholat subuh, yuk!”
Tubuhku terasa berat untuk mengikuti ajakan Mas Satya. Aku memutar posisi berbaring menjadi berhadapan dengan Mas Satya, lalu menyembunyikan wajah di d**a bidangnya yang telanjang.
“Sayang ....”
Aku terkekeh mendengar panggilan Mas Satya diiringi dengan cekikikan geli. Memang, aku sengaja menggesek dadanya dengan hidung, lalu tertawa.
“Sudah main-mainnya. Sholat subuh dulu, yuk?” pinta Mas Satya yang ke sekian kalinya.
“Bentar, Mas. Capek ....” Aku mengiba, dan memeluk punggungnya. Menghirup aroma khas dari Mas Satya.
“Maaf ....”
Ucapan memelas Mas Satya yang entah ke berapa kalinya sungguh menggelitik telinga. Aku sampai bosan mendengarnya.
“Aku capek dengerin ucapan ‘maaf', Mas. Enek dengernya tau, nggak?” Aku mengangkat wajah dan membuka mata, menemukan senyuman manis Mas Satya yang selalu menjadi candu. Aku mengecupnya ringan.
“Kamu kan capek gara-gara Mas juga. Mas sudah bikin kamu nunggu, eh malah bikin kamu capek juga di ranjang.” Mas Satya membalas perlakuanku tadi dengan hal lebih. Jika aku hanya mengecup, dia malah melumat. Lembut, menghanyutkan. “Setelah sholat subuh nanti. Kalau kamu mau tidur, silakan. Kalau perlu, nggak usah kerja dulu. Cuti sekali-kali nggak papa, Sayang.”
Aku menggeleng. Lalu menelusupkan wajah di d**a Mas Satya lagi.
“Nggak. Aku suka kerja.”
Karena dengan bekerja, aku bisa lupa dengan semua sakit di dalam hati.
“Okey. Tapi jangan dipaksakan. Kesehatan kamu jauh lebih penting!”
Mas Satya memegang wajahku, menengadahkannya. Mengecup lagi. Sekali ... dua kali ... berkali-kali ... sampai aku kegelian. Apalagi saat bibirnya sudah menyentuh pipi, turun ke dagu, sampai ke leher.
“Udah, Mas. Udah ....” Aku terkikik geli, sembari mencoba menahan kepalanya.
“Yaudah bangun, sholat!” pintanya, dengan nada tegas.
Dengan malas, aku bangun, mengambil posisi duduk. Selimut juga aku tarik hingga d**a agar tidak terlalu mengekspos bagian tubuh.
“Mandi duluan, atau bareng, Sayang?”
Mas Satya ikut bangun, lalu mencium puncak kepalaku.
“Duluan aja, Mas. Kan Mas mau ke masjid.”
“Istri Mas ini perhatian banget ....” Mas Satya menarik hidung minimalis milikku, sampai aku meringis sakit. Dia tertawa, lalu mengecup bekas tarikannya.
Mas Satya bergerak cepat. Mengambil celana pendeknya, dan berjalan ke kamar mandi sambil bersenandung ringan. Sepertinya sangat bahagia, berbanding terbalik dengan apa yang kurasa.
Gelisah.
Jujur, rasa takut kehilangan sering menghantui. Apalagi setelah salat subuh nantinya, Mas Satya akan langsung ke tempatnya bekerja. Pulang, entah jam berapa.
Mas Satya selalu mengatakan, bahwa ini demi kebaikanku. Ada banyak fans Mas Satya, tetapi tidak bisa dijamin bahwa semuanya baik. Jika hubungan kami disebarkan, keadaanku katanya akan berada dalam bahaya.
Sampai sekarang, aku mencoba bertahan. Entah sampai kapan. Tapi aku tetap selalu berharap, nantinya, Mas Satya akan menjadi milikku. Seutuhnya.
***
Teh dalam cangkir masih mengepulkan asap, tetapi aku langsung menyesapnya. Hanya beberapa kali hisapan, aku meletakkannya lagi di atas meja. Saat-saat istirahat seperti ini, rasanya bak di surga.
Aku bekerja di sebuah toko bunga, sederhana, tetapi terkenal. Sebenarnya ini milik Mas Satya, yang diwakilkan pada seorang iblis wanita bernama Lisa. Di tempat ini, aku memiliki teman. Zia namanya. Sebenarnya, kami sudah dari SMA bersahabat, dan dipertemukan lagi di tempat ini.
Sementara aku sibuk membaca majalah di tangan, Zia berceletuk tidak jelas sambil menonton televisi.
“Ya Allah ... Ma syaa Allah ... Mas Satya gantengnya kebangetan. Hatiku ... ya Allah, meleleh. Duh, senyumnya ... manis banget sih! Astaga!”
Itu sebagian dari ocehan Zia. Aku hanya menggeleng beberapa kali menanggapinya.
“Jangan terlalu kagum sama orang. Nanti susah move on-nya,” sahutku, tak acuh.
“Terlambat, Dina ... udah terlambat. Aku udah suka sama Mas Satya yang manis ... ugh! Rasanya pengen langsung bawa ke KUA,” ucapnya.
Cemburu? Tentu aku merasakan itu. Namun, mau bagaimana lagi? Aktor dan dikagumi oleh semua perempuan adalah dua hal yang tidak dipisahkan dari diri Mas Satya.
“Yaudah, cepetan move on. Nanti kalau dia udah nikah, kamu patah hati lagi.”
Bukan tanpa alasan aku mengatakan itu. Zia sahabat baikku, dan aku tidak ingin dia kecewa nantinya setelah tahu pujaan hatinya ternyata sudah menikah dengan orang lain. Aku sendiri.
“Nanti lah. Kalau Mas Satya udah sebar undangan.”
“Kalau Mas Satya sebar undangan baru mau move on, nanti kamu sakit hati, loh!”
“Males sekarang, Din. Lagian, aku nggak punya alasan buat move on.”
“Alasan kamu move on adalah, dia belum tentu jodoh kamu.”
“Kamu kok kayak gini, Din? Bukannya dulu kamu optimis banget, ya?”
“Udahlah, Zi. Dengerin aja apa kata aku, supaya kamu nggak nyesel nanti.”
“Ya ... iya!” Zia memutar bola matanya malas.
“MEDINA AZ ZAHRA!”
Aku dan Zia sama-sama tersentak mendengar bentakan dari suara cempreng milik si Iblisa. Ah, aku malas melihat dirinya.
“Ada apa, Bu?”
Hanya karena statusnya sebagai bos, maka aku berusaha bersikap sopan. Meski dalam hati sudah mendumel atas kelakuan iblisnya.
“Kamu masih punya lubang telinga, tidak? Saya dari tadi panggil kamu. Kenapa tidak menyahut?” bentaknya, memuakkan.
Seandainya bisa, aku pun ingin menutup gendang telinga mendengar suaranya itu.
“Maaf, Bu,” ucapku setelah menghela napas.
“Antar bunga ini! Kamu yang mengurus pesanan bunga Salsabila Mutia. Dia tadi telpon saya, dia sedang ada di lokasi shooting Mas Satya. Kamu antar ke sana. Lalu balik ke sini!”
Aku mengiyakan dengan malas perintahnya. Menerima bunga itu, dan segera menjalankan tugas dengan menggunakan motor matic merah kesukaanku.
Terkadang, aku merasa paling beruntung di dunia. Tidak bisa dibayangkan berapa banyak fans Mas Satya. Bahkan, hampir di seluruh penjuru negeri, pasti mengenal Mas Satya. Dan dia hanya memilihku sebagai seorang istri. Padahal, bisa saja Mas Satya membuat sebuah acara, misalnya, untuk memilih wanita tercantik, terpintar, dan terbaik untuk menjadi istrinya.
Memang, aku beruntung.
Sambil senyam-senyum, aku melalui jalan raya yang terik juga sedikit macet. Sampai akhirnya tiba di sebuah tempat yang terdapat ratusan manusia. Kebanyakan mungkin wanita. Mereka pasti fans Mas Satya.
Aku menyelipkan tubuh kecil ini di antara lautan manusia. Sesekali berjinjit untuk mencari pemilik bunga yang aku bawa ini.
Sampai di garis perbatasan, belum juga aku temukan. Sepertinya ini tugas berat, apalagi dengan banyaknya orang di sini. Aku berdecak pelan.
Matahari tepat di atas kepala, membuatku begitu kepanasan. Ditambah lagi dengan keadaan sesak seperti ini. Kepalaku mulai pusing, tetapi aku memaksa berputar balik.
Namun, dorongan dari belakang begitu kuat. Tubuhku tersungkur melewati garis pembatas. Aku meringis. Perih di kedua telapak tangan. Beberapa petugas segera menarikku dengan kasar.
“Cepat keluar!” bentak penjaga berbadan besar dengan kulit hitam.
“Ma –maaf ....” Aku belum menyelesaikan dengan baik ucapanku, saat dia langsung mendorong hingga aku menabrak kerumunan orang-orang. Kepalaku semakin pussing dibuatnya.
Pandangan tiba-tiba menggelap. Tubuh ini terasa berat untuk dikendalikan. Untuk kedua kalinya aku ambruk. Lalu ...
Gelap.
***
“Sayang ...?”
Aku membuka mata mendengar suara yang sangat kukenal. Mas Satya. Aku menoleh ke arahnya. Sesekali, aku memejamkan mata saat pandangan kembali menggelap.
“Kan aku sudah bilang tadi, Dina. Jangan berangkat bekerja! Kamu kenapa ngotot banget, sih? Jaga kesehatan kamu! Itu penting! Apa yang harus aku katakan sama papa kamu kalau kamu kenapa-napa?!”
Jantungku terasa dihentak kuat mendengar bentakannya barusan. Aku segera memalimgkan wajah ke arah lain, agar tetesan cairan bening yang memaksa keluar tidak terlihat oleh Mas Satya.
“Sayang ....” Mas Satya memanggil, dengan nada lebih pelan dari sebelumnya.
Aku merasakan sentuhan di punggung tangan, kemudian terangkat dalam genggaman Mas Satya.
“Kamu tau, Mas khawatir banget saat lihat kamu hampir diinjak-injak orang. Mas sampai harus ninggalin acara tadi karena khawatir sama kamu. Kamu tau sendiri kan, itu acara langsung. Bagaimana kalau orang lain curiga hubungan kita nanti?”
Aku menghela napas kesal, lalu menghentakkan tangan Mas Satya setelah mendengar penjelasannya.
“Ya udah. Balik lagi aja sana! Aku nggak papa kok!”
“Dina, jangan marah begitu.”
“Aku nggak marah, Mas.”
“Kenapa bicara kamu kayak gitu? Harusnya aku yang kesal di sini! Acara aku jadi berantakan demi nolong kamu! Dan kamu kayak gini gara-gara keras kepala kamu!” Mas Satya balas membentak.
Aku memaksa untuk bangun.
“Makanya! Balik lagi aja sana! Aku nggak papa! Aku nggak butuh kamu di sini! Pergi!”
“DINA! JANGAN BENTAK AKU!”
Nyaliku seketika menciut, melihat bagaimana Mas Satya berteriak sampai urat-urat lehernya menegang.
“Satya, ada apa?” Muncul suara baru dari arah pintu.
“Biasa, Kin. Fans. Minta peluk. Aku kan nggak nerima yang kayak begitu. Selfie boleh, peluk jangan.” Mas Satya membalas lembut ucapan Kinanti.
Aku mendecih dalam hati.
“Oh gitu. Aku kira ada apa.” Kinanti terdiam untuk sesaat. “Balik yuk, Sat. Orang-orang lagi nungguin kita. Kamu juga dipuji-puji tadi. Udah kayak hero, nolongin fans-nya yang pingsan.”
Mas Satya melirik padaku sekilas, yang kubalas dengan mengalihkan pandangan. Keduanya berlalu.
Kemudian, aku menangis.
Aku ternyata tidak terlalu beruntung.
***