Elsa menatap nanar nomor perserta ujian nasionalnya. Kenapa ia begitu benci dengan dirinya sendiri sekarang? Kenapa ia begitu pecundang? Menyerah sebelum bertanding, mengecilkan Tuhan? Kenapa? Kini ia menyesal salah jalur, ia menyesal kenapa harus masuk SMK, karena dengan masuk SMK dan lulus dengan ijazah sekolah kejuruan ini, itu berati mimpinya untuk bisa masuk fakultas kedokteran sirna dan hancur begitu saja.
Kalau sedang tidak berada di dalam ruang ujian, rasanya Elsa ingin berteriak-teriak, ia ingin menanggis sekencang-kencangnya. Mengutuki dirinya yang begitu bodoh dan pesimis. Sekarang apa yang bisa ia lakukan? Tiga tahunnya di SMK sia-sia sudah, semua berakhir sia-sia karena ijazahnya tidak akan bisa mengantar Elsa guna menggapai impianya, meraih snelli seperti yang ada ddalam anggannya selama ini.
Surat edaran dari Konsil Kedokteran Indonesia yang tertanggal 15 Juni 2020 yang merujuk pada Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 mengenai aspek kesematan pasien dan sesuai dengan keputusan dari Konsil Kedokteran Indonesi yang sendiri tentang Standar Pendidikan Dokter Nomor 21 A/KKI/KEP/XI/2006 tanggal 09 November 2006 menyatakan bahwa yang dapat diterima menjadi mahasiswa program studi pendidikan dokter adalah lulusan sekolah menengan umum dari jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), bukan dari jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).
Sudah jelaskan? Sudah sangat jelas bahwa di yang bakal menyandang ijazah lulusan SMK Administrasi Perkantoran akan tidak akan bisa mendaftar apalagi sampai lolos seleksi masuk fakultas kedokteran mana pun.
Elsa menghirup oksigen banyak-banyak, berusaha menghilangkan sesak yang menghimpit dadanya dengan begitu luar biasa itu. Rasanya ia benar-benar kehilangan arah untuk saat ini. Ia tidak tahu lagi harus bagaimana, ia tidak tahu lagi setelah lulus nanti ia harus apa, yang jelas di hadapannya sekarang sudah tersedia lembar soal dan lembar jawab ujian nasional tingkat SMK miliknya yang sudah hampir lima menit waktu bergulir namun sama sekali belum ia sentuh!
Elsa menghela nafas panjang, apapun nanti yang terjadi, apapun hal berat dan hal bodoh yang sudah ia lalui, yang harus ia lakukan sekarang adalah melewati apa yang sudah menghadang di hadapannya ini bukan? Dengan mantab Elsa meraih pensil 2B-nya, lalu mulai meraih lembar soal dan mulai mengerjakan kewajiban terakhirnya di bangku SMK.
Setelah ini apa? Entah, Elsa tidak tahu, yang ia tahu dan yang ingin ia lakukan setelah ini adalah pergi, lari ke kamar mandi dan menanggis sejadi-jadinya.
***
Ujian sudah usai, Elsa belum mau pulang, ia masih duduk di hadapan komputer yang masih menyala itu. Perpustakaan tidak terlalu sepi, ada beberapa anak yang sibuk membahas soal ujian yang tadi keluar, dan Elsa sama sekali tidak peduli akan hal itu. Di hadapannya terpampang website resmi dari PTN yang ada di kotanya, website yang menampilkan fakultas kedokteran PTN negeri satu-satunya di Kota Solo itu.
Ingin menangis? Ah tidak! Elsa sudah puas melakukannya beberapa menit yang lalu. Ia duduk termenung menatap website itu sekarang, duduk sambil menikmati rajaman pedih yang menyiksa hatinya dan dirinya dengan begitu luar biasa.
Kenapa ia begitu bodoh? Kenapa ia tidak cari tahu via internet dulu sebelum memutuskan untuk memilih masuk SMK? Kenapa ia tidak pikir panjang sebelum setuju bersekolah di sini dengan beasiswa? Bukannya tidak bersyuku, Elsa bersyukur bisa sekolah gratis selama tiga tahun di SMK Negeri favorit nomor satu di Kota Solo itu, hanya saja ijazah yang akan ia punya tidak dapat ia gunakan untuk meraih mimpinya menjadi dokter! Tidak bisa!
Setelah ia mendapat harapan baru dengan adanya beasiswa Bidikmisi, kini ia harus rela kembali memupus cita-citanya karena ijazah yang ia punya tidak memenuhi persyaratan pendaftaran masuk fakultas impiannya!
"Tuhan, benarkah langkah ku mewujudkan mimpi harus berhenti sampai di sini?" desis Elsa lirih, matanya kembali berkaca-kaca, ia kembali ingin menangis rasaya, sungguh tragis bukan?
Elsa menutup jendela browser, mematikan komputer lalu bangkit dan melangkah keluar. Setelah mengambil tas dan barang-barangnya di loker, ia bergegas pergi dari perpustakaan sekolahnya, melangkah dengan lunglai menuju parkiran sekolah.
Kemana ia setelah ini? Ia sendiri tidak tahu, yang jelas ia belum ingin pulang! Agaknya beli es kelapa muda di seberang jalan depan sekolahnya adalah keputusan yang tepat, ia perlu menghibur diri, yang mana masih ada tiga hari lagi jadwal ujian nasional menunggunya.
Elsa sudah menghidupkan mesin motor, memakai helm dan pergi dari halaman parkir sekolah yang sudah hampir sepi itu. Pikirannya masih begitu kacau, ia bahkan sampai tidak bisa merasakan apa yang ia rasakan hari ini.
"Bu, es kelapa satu dong, pakai gula pasir saja ya," guman elsa ketika ia sudah berhenti dan duduk di bangku panjang milik sang pedagang.
"Oke siap," wanita paruh baya itu tersenyum dan segera menyiapkan pesanan Elsa.
Elsa sering menghabiskan waktu pulang sekolahnya guna minum es kelapa di tempat ini, seperti yang ia lakukan sekarang. Ia merogoh ponselnya dan tertegun ketika di akun f*******:-nya ada sebuah pesan masuk, Ramon Tanata? Elsa membuka pesan yang masuk via massanger itu, matanya membulat ketika menyadari pesan itu berasal dari seorang dokter yang memang sengaja ia add pertemanan guna mencari info perihal masuk fakultas kedokteran, ya ... sebelum ia menemukan surat edaran dari KKI.
Elsa kemudian membalas pesan itu, rasanya tidak sopan bukan sudah mengirim permintaan pertemanan dan malah mengabaikan pesan yang dikirim dokter berusia dua puluh tujuh tahun itu? Entah mengapa membaca pesan itu membuat suasana Elsa menjadi lebih baik.
***
Angela menatap nanar Vanessa yang tergolek tidak berdaya di atas bed kamar inap VVIP-nya. Wajah gadis kesayangannya itu memucat dengan bibir yang memutih. Rambut di kepalanya sudah habis efek kemoterapi, kukurnya menghitam, kakinya sedikit membengkak. Ya ... memang itulah yang terjadi pada anak bungsunya ketika ia selesai menjalani kemoterapi.
Mendadak Angela teringat ucapan Dokter Rino, dokter penganggung jawab putrinya selama ia dirawat di rumah sakit miliknya sendiri ini. Vanessa dicurigai tidak memiliki kesamaan DNA dengannya? Lelucon macam apa ini? Dia yang dulu hamil dan melahirkan Vanessa, kenapa sekarang ia dicurigai tidak memiliki kecocokan DNA dengan anaknya sendiri? Lalu dia anak siapa?
"Mama ...."
Angela tersentak, ia mengangkat wajahnya dan menatap nanar gadis kesayangannya itu.
"Ya Sayang, mama di sini. Vanessa ingin minum?" tawarnya lembut sambil tersenyum.
"Sakit, Ma ...," rintihnya dengan lelehan air mata yang membuat hati Angela sepertit tersayat pedih.
"Sabar ya, Vanessa pasti sembuh," Angela sendiri padahal tidak tahu apakah bisa nantinya Vanessa sembuh, ia memang dokter, tapi dia bukan Tuhan! Terlebih ilmu kedokteran yang ia pelajari adalah kedokteran anak.
Gadis itu mengangguk dan tersenyum simpul, ia kembali memejamkan matanya, membuat Angela menyusuri raut wajah itu. Kalau dilihat-lihat Vanessa memang sedikit berbeda dengan ketiga kakaknya. Kakak laki-lakinya semua berkulit bersih, karena memang genetik Angela dan Bastian berkulit putih. Sedangkan Vanessa, ia berkulit kuning langsat, entah dari mana ia mendapatkan skin tone itu, Angela tidak tahu. Belum lagi raut wajah Vanessa sedikit berbeda.
Benarkah dia bukan anak kandung Angela? Lalu dia siapa? Di mana anak kandungnya? Angela sedang berpikir keras, ia mencoba mencari asumsi-asumsi yang mendukung pernyataan Dokter Rino perihal dugaan tidak adanya kecocokan DNA antara dia sekeluarga dengan Vanessa, ketika iPhone miliknya berdering. Dengan sigap ia merogoh saku snelli-nya dan menemukan nama Bastian ada di sana.
"Hallo, aku lagi di kamar Vanessa, Pa. Ada apa?"
" ... "
"Oh oke, baik! Sebentar aku titip Vanessa ke perawat jaga dulu," Angela bergegas menutup teleponnya. Bastian sudah menunggu dirinya bersama tiga orang putra mereka, ada apa? Apakah hasil tes DNA itu sudah keluar?
"Sayang, mama izin sebentar ya, ada urusan." pamit Angela sambil mengecup lembut kening Vanessa.
Gadis itu hanya mengangguk lemah sambil tersenyum. Angela lantas melangkah keluar dari kamar rawat inap itu. Melangkah menuju nurse station guna meminta salah satu dari mereka menjaga dan mengawasi puterinya.
"Sus, saya keruangan bapak sebentar, titip anak saya ya!" pinta Angela pada beberapa perawat yang berjaga di sana.
"Oh baik, Dokter."
Angela tersenyum, ia bergegas melangkah menuju ruang pribadi suaminya yang menjabat sebagai direktur rumah sakit di rumah sakit milik mereka sendiri ini. Ya ... rumah sakit ini memang milik mereka berdua, yang mereka bangun dari hasil keringat dan warisan dari orang tua masing-masing. Rumah sakit milik klan Atmajaya.
Jantung Angela berdegub kencang, ia benar-benar risau. Apakah benar hasil tes itu keluar hari ini? Sehingga sang suami mengumpulkan ketiga anaknya di sana? Angela dan Bastian memiliki empat orang anak dari pernikahan mereka. Tiga laki-laki dan satu perempuan. Tiga anak laki-laki mereka kebetulan semua dokter juga.
Albertus Sebastian Atmajaya anak sulung mereka kini sudah menyandang gelar dokter spesialis bedah orthopaedi. Lulusan terbaik PPDS UNS dengan nilai hampir sempurna. Sekarang ia mengabdikan diri selain di rumah sakit milik keluarga, juga di sebuah rumah sakit khusus tulang milik pemerintah. Sudah menikah dengan sesama dokter juga, memiliki dua anak kembar yang sekarang berusia tiga tahun.
Yang kedua ada Bramasta Putera Atmajaya, di nomor dua yang lebih memilih menjadi ahli anestesi yang juga merupakan lulusan PPDS terbaik di kampusnya. Sudah menikah yang sekali lagi dengan wanita yang berprofesi sama sebagai dokter dan tengah menanti kelahiran anak pertama mereka,
Dan yang ketiga ada Christoper Andaru Atmajaya, ia baru saja selesai di wisuda dan sudah sah menyandang gelar dokter spesialis obstetri ginekologi. Belum menikah dan masih betah melajang, ia masih fokus pada kariernya dan malah sudah berencana untuk melanjutkan S2 kedokteran.
Dan yang terakhir, tentu ada Vanessa Clarabella Atmajaya, ia masih duduk di bangku kelas tiga SMA. Memang selisihnya cukup jauh karena semula Angela dan Bastian sudah cukup dengan tiga orang anak, hingga sesuatu yang tidak terduga pun terjadi, yaitu Angela kembali hamil. Dan yang membahagiakan adalah anak terakhir mereka perempuan, seolah menggenapi kekurangan yang selama ini mereka rasakan karena ketiga orang anak mereka kesemuanya laki-laki.
Sekarang ia sekeluarga tengah di goncang dengan kemungkinan bahwa Vanessa bukan lah darah dagingnya, lantas siapa dan di mana janin yang dulu ia kandung selama sembilan bulan? Kemana bayi yang ia lahirkan dulu?
Angela sudah sampai di depan ruangan suaminya, ia mengetuk sejenak pintu itu lalu menekan knop pintu. Tampak di ruangan itu sudah berkumpul suami dan tiga orang anak laki-lakinya, wajah mereka tampak tegang. Dan Angela tahu betul apa yang membuat mereka begitu tegang.
"Sudah keluar hasil tesnya?" tanya Angela sambil melangkah dan duduk di kursi yang masih kosong.
"Sudah, Dokter Rino sedang membawanya kemari, bagaimana kondisi Vanessa?" tanya Bastian lirih, raut wajahnya begitu pias, Angela sendiri sampai tidak bisa menebak apa yang sedang suaminya itu rasakan saat ini.
Angela hanya mengangguk, tampak ketiga putranya itu terdiam dan hanyut dalam pikiran mereka masing-masing. Entah apa yang sedang mereka pikirkan, namun seabagai tenaga medis, tentu mereka tengah memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi kenapa bisa dari lima orang yang duduk di dalam ruangan ini tidak ada satupun yang bisa memberikan donor sumsum tulang belakang untuk Vanessa.
Angela melirik arlojinya, berharap Dokter Rino segera datang membawa surat hasil tes dari laboratrium itu. Ia sangat penasaran dengan hasilnya, apakah benar Vanessa itu bukan anak kandungnya? Lantas Vanessa anak siapa? Di mana putri kandungnya?
***
Rino menghela nafas panjang, ia melipat surat dari laboratrium itu dan memasukkan benda itu ke dalam sebuah amplop. Ia bangkit dan membetulkan snelli-nya lalu menyambar amplop itu dan bergegas keluar dari ruangannya. Ia melangkah dengan tenang menuju ruang direktur utama rumah sakit yang mana hasil pemeriksaan DNA-nya sedang ia bawa itu.
Entah ini kabar baik atau buruk, Rino tidak tahu. Yang jelas ia ingin segera sampai di ruangan Dokter Bastian dan menyerahkan hasil yang sudah mereka tunggu-tunggu guna menentukan langkah lebih lanjut perihal perawatan medis anak bungsu mereka yang tengah berjuang melawan leukimia stadium empat.
Dan langkah kaki Rino terhenti di depan pintu besar itu, ia menghela nafas panjang kemudian mengetuk pintu.
"Masuk!" perintah suara itu dari dalam.
Rino kembali menghela nafas panjang, lalu menekan knop pintu ruangan itu dan masuk ke dalam. Sudah ada lima orang yang menantinya di sana. Kesemuanya mengenakan jas yang sama seperti yagn ia kenakan. Jas putih atau snelli kebanggaan para dokter.
"Selamat sore, Dokter." Rino menundukkan kepalanya sebagai bentuk rasa hormat.
"Sore, mari silahkan duduk. Kami sudan menanti sejak tadi, Dok." Dokter dengan rambut yang sudah hampir memutih itu tersenyum kaku, ia tahu pasti pemilik rumah sakit itu sudah tidak sabar dengan hasil pemeriksaan DNA-nya bukan.
"Terima kasih, sebelumnya saya ingin menyerahkan hasil laboratrium mengenai pemeriksaan DNA Dokter dengan Ananda Vanessa," dengan sopan Rino menyodorkan selembar amplop itu.
Dokter Bastian menerima amplop itu, dengan tangan sedikit bergetar ia mulai memuka amplopnya. Sang isteri, Dokter Angela bersingsut mendekati sang suami, sementara tiga orang anak laki-laki mereka menatap dengan seksama kedua orang tua mereka.
Rino menundukkan kepalanya, entah apa yang akan terjadi setelah ini ia tidak tahu, yang jelas ketika lipatan kertas itu dibuka, isak tangis sontak terdengar. Kemudian disusul teriakan tiga dokter itu secara spontan dan tiba-tiba.
"MAMA!"
Rino terkejut, di depan matanya pediatric itu jatuh terkulai. Sementara Dokter Bastian terisak sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Selembar kertas itu melayang jatuh, kemudian Dokter Bram memunggutnya, tanganya bergetar hebat.
"Ja-jadi ...," ia tidak sanggup lagi berkata-kata, ditatapnya Rino dengan tatapan nanar.
Rino menyunggingkan senyum kaku, entah ia sendiri tidak tahu harus tersenyum atau ikut menangis, yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah tersenyum dan menganggukkan kepalanya pelan sebagai jawaban dari pertanyaan menggantung dokter anestesi itu yang ia tahu betul kemana arah pertanyaannya.
"Semua sesuai dugaan saya, Dok!"