Bagaimana?

1631 Words
Angela berdiri mematung di depan pintu ruang inap VVIP itu. Air matanya mengambang, harus bagaimana ia bersikap di hadapan Vanessa? Perlukah ia menceritakan apa yang sesungguhnya terjadi? Bahwa sebenarnya dia bukan mama kandung Vanessa? Lantas bagaimana kalau nanti dia menanyakan di mana orang tua kandung Vanessa? Angela menyusut air matanya, ia hendak menekan knop pintu ketika suara langkah kaki yang serempak itu mengejutkan dirinya. "Ma ...." Angela menoleh, tampak Bastian, Albert, Bram dan Crist sudah berdiri di dekatnya. Wajah mereka begitu kaku dan datar, membuat Angela menghela nafas panjang. "Kita belum buat kesepakatan, Ma." desis Bastian lirih. "Kesepakatan?" alis Angela berkerut, kesepakatan yang macam apa? Yang seperti apa? "Iya, kesepakatan perihal jati diri Vanessa yang sebenarnya," mata Bastian berkaca-kaca, suaranya begitu lirih. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Angela lirih, ia menyandarkan tubuhnya di tembok, memijit pelipisnya dengan sedikit ditekan. "Kita tahu, harapan Vanessa hampir tidak ada, jadi lebih baik kita rahasiakan ini semua dari dia, beri kesan baik untuk dia diakhir sisa hidupnya." guman Albert lirih. "Jadi tolong, biarlah hanya kita yang tahu semua ini." sambung Bastian sambil menatap sang isteri yang tampak begitu lesu itu. Bram dan Christ hanya diam mematung di tempatnya berdiri. Sungguh pelik masalah yang keluarga mereka sedang hadapi ini. Di sisi lain mereka harus menyemangati sosok yang selama ini mereka sayangi, yang ternyata bukan siapa-siapa mereka itu, berjuang menghadapi kematian. Di sisi lain mereka memikirkan di mana bagian dari keluarga mereka berada. Di mana anak bungsu keluarga Atmajaya berada? Anak perempuan satu-satunya yang dimiliki keluarga Atmajaya? "Oke, baiklah. Mama setuju." Angela mengangkat tubuhnya yang ia sandarkan di tembok itu, menyeka kembali air matanya dan menghela nafas panjang. "Mau ikut masuk?" tanya Angela pada suami dan ketiga orang anaknya yang langsung di balas anggukan kepala dengan kompak. Angela menekan knop pintu, Vanessa yang tengah terbaring di atas ranjangnya itu tersenyum, senyumnya makin merekah ketika melihat Bastian dan ketiga orang laki-laki itu masuk. "Hai Sayang, apa kabar?" sapa Angela dengan suara bergetar. "Seperti yang Mama lihat," jawabnya dengan sedikit susah payah, "Kok tumben pada kumpul semua di sini? Ini bukan saat-saat terakhir Vanessa?" Sontak mereka semua terhenyak, air mata Angela sudah menitik, sementara tiga anak laki-lakinya hanya menghela nafas panjang sambil menundukkan kepalanya. "Kenapa kamu punya pemikiran begitu, Sayang?" Bastian mendekat, duduk di tepi ranjang lalu mendekap erat Vanessa, "Apakah salah jika kedua orang tua dan ketiga kakak mu mengunjungi mu bersamaan?" Vanessa tersenyum getir, "Vanessa hanya sedang bersiap-siap, Pa. Entah mengapa rasanya waktu sudah semakin dekat." "Nes, kamu ngomong apaan sih? Koko nggak suka dengarnya!" meskipun firasat Vanessa itu ada benarnya, namun sebagai dokter dan orang yang selama ini Vanessa anggap kakak, dia tidak boleh mematahkan semangatnya begitu saja, waktunya sudah tidak banyak. Jadi di sisa waktunya yang tinggal sedikit ini, ia harus bahagia. "Maaf Ko, Vanessa nggak bermaksud," desisnya lirih. Semua tampak menghela nafas panjang bersamaan, Albert dan Christ sudah duduk di sofa sambil bersandar dan memejamkan mata. Sementara Bastian masih dalam posisinya memeluk Vanessa. Angela berdiri di sisi bed dan Bram berdiri di ujung bed, menatap langsung Vanessa yang bergitu pucat itu. "Kamu sudah makan, Sayang?" tanya Angela sambil memijit kaki Vanessa dengan lembut. "Sudah, lidah Vanessa mati rasa, Ma." lapornya yang belum mau beranjak dari dekapan Bastian. Bastian tersenyum kecut, siapapun orang tua Vanessa, selama ini yang jadi kesayangan dia adalah Vanessa. Anak perempuan satu-satunya. Jujur Bastian benar-benar hancur ketika tahu bahwa dia bukanlah darah dagingnya. Ia kecewa dan marah. Anak gadis orang ia perlakukan seperti Puteri macam ini, ia manjakan, ia turuti semua apa yang Vanessa mau, lantas apakah di luar sana, entah di mana dia berada, Puteri kandungnya juga diperlakukan yang sama? Apakah dia bahagia? Atau malah sebaliknya? Bastian menahan sekuat tenaga air mata dan emosinya, yang jelas dalam waktu dekat, ia harus sesegera mungkin menemukan di mana Puteri kandungnya berada! Harus! *** Elsa celingak-celinguk menunggu di depan gerbang sekolahnya. Hari ini ujian nasional terakhir, dan sesuai janjinya dengan Ramon, mereka akan bertemu dan pergi keluar untuk pertama kalinya. Elsa merapikan rambut lurusnya yang panjang dengan sisir. Apakah penampilannya sudah oke? Apakah dia sudah cukup cantik untuk kemudian bertemu dengan sosok itu? Elsa tersenyum kecut, ia harap bahwa semuanya berjalan lancar. Elsa hendak menghubungi Ramon ketika kemudian Honda Brio putih itu berhenti tepat di hadapannya. Kaca mobilnya kemudian diturunkan dan tampaklah wajah yang Elsa nanti itu tengah tersenyum ke arahnya. "Hai, maaf menunggu lama, tadi potong rambut dulu." teriak sosok itu dari dalam mobil sambil tersenyum. Elsa balas tersenyum, ia bergegas masuk dan naik ke dalam mobil, mengulurkan tangannya ke arah dokter berusia dua puluh delapan tahun itu. "Elsa Gabriella Setiawan," guman Elsa sambil memperkenalkan diri ketika tangannya dijabat erat oleh sosok itu. "Ramon Tanata." Elsa melepaskan jabatan tangannya, lalu memakai seat belt. Sementara Ramon masih tersenyum menatap Elsa dengan seksama. "Kenapa, Ko?" tanya Elsa yang sadar tengah diperhatikan dengan seksama oleh Ramon. "Cantikan aslinya ya?" gumannya lalu membawa mobilnya melaju. "Ahh yang bener?" wajah Elsa memerah, apaan sih dokter satu itu? Kenapa hatinya jadi berbunga-bunga macam ini? "Koko nggak praktek ya?" tanya Elsa yang mencoba menekan semua perasaannya. "Yang di rumah sakit dapat jatah cuti nih, kalau di klinik nanti sore prakteknya." jawab Ramon sambil terus membawa mobilnya melaju. "Oh seperti itu," tampak Elsa menganggukkan kepalanya, ia memfokuskan perhatiannya ke jalanan yang ada di depan. Jantungnya berdegup kencang. Sosok itu benar-benar mencuri perhatian Elsa dengan begitu luar biasa. Ia jatuh cinta! "Kita makan di mana nih, Sa?" tanya suara itu membuyarkan lamunan Elsa. "Aku sih nurut yang traktir aja, Ko. Mau diajak makan di mana," jawab Elsa sambil tersenyum manis. "Oke, nggak boleh protes ya diajak kemana?" Ramon tersenyum, menoleh sekilas ke arah Elsa dan kembali fokus pada jalanan yang ada di depannya. "Oke, aku pemakan segala kok." Ramon kembali menoleh, mata mereka bertemu sesaat, kemudian tawa mereka pecah bersamaan. Ramon menginjak rem ketika lampu berbuah merah, mereka terlalu sibuk bercanda sementara lampu lalulintas menjadi merah. Mereka begitu serius dengan perasaan bahagia mereka sampai tidak sadar di dalam Pajero putih yang tepat di sisi mereka itu, tiga dokter laki-laki muda itu tengah pusing dengan masalah mereka, pusing mencari di mana keberadaan adik kandung mereka. *** "Nah kondisinya kayak gini, Ko!" Mobil yang Albert bawa sudah sampai di halaman klinik itu. Klinik yang sudah lima tahun ini terbengkalai. Christ melepas snelli-nya, kemudian melangkah turun lebih dulu, yang mana Albert dan Bram menyusulnya kemudian. "Lantas kita kemari hari ini apakah mau nekat merangsak masuk ke dalam, Ko?" tanya Christ yang tengah berkacak pinggang sambil melihat ke sekeliling. "Entah, sopan nggak sih kita masuk?" Bram kini berdiri di sebelah Christ, sementara Albert sibuk memotret kondisi klinik itu. "Nah itulah, walaupun kondisinya sudah kayak gini, tapi kesannya apakah sopan kita masuk?" Christ melangkah lebih dekat. Semua pintu tampak di gembok. Beberapa jendela rusak, namun mereka dilapisi tralis. "Tralis semua nih, kita kalau mau masuk lewat jendela bakalan susah, Ko!" lapor Christ pada kedua kakaknya. "Tidak ada jalan lain, satu-satunya jalan keluar adalah menemui pemilik. Kita minta kuncinya, cari berkas-berkas RM-nya, dan ...." "Sekian lama, klinik hanya sebesar ini, apakah masih tersimpan semua berkas RM delapan belas tahun yang lalu?" potong Albert putus asa. "Kita tidak ada yang tahu, Ko. Jadi lebih baik kita coba dulu," guman Bram menengahi. "Oke, aku setuju!" guman Albert kemudian, ia menatap dua adiknya dengan seksama. "Ada yang tahu Dokter Wisesa Adiguna kemana selepas pensiun dan klinik ini tutup?" Christ berjalan kembali mendekati kedua kakaknya, beliau adalah kunci utama masalah mereka. "Aku akan coba cari tahu, anak beliau dokter juga kan?" Albert memasukkan iPhone miliknya ke dalam saku, menatap satu persatu adiknya. "Oke, kabari kalau sudah ketemu, kita kesana temui beliau, semoga kita segera dapat solusi, Ko." Albert dan Bram kompak mengangguk, kemudian secara kompak mereka melangkah kembali masuk ke dalam mobil. Albert sudah dengan seat belt-nya ketika kemudian ia menatap sejenak klinik itu sebelum membawa mobilnya pergi. 'Kami akan menemukanmu, bagaimana pun caranya!' *** Angela mengelus lembut wajah Vanessa yang sepucat mayat, matanya terpejam setelah beberapa saat yang lalu selesai minum obatnya. Bagaimana kabar Puteri kandungnya? Apakah dia baik-baik saja? Apakah keluarga yang merawat mereka menyayangi dia seperti Angela menyayangi Vanessa? Tak terasa air mata Angela kembali menitik. Ia tidak bisa tenang selama ia belum menemukan Puteri kandungnya berada. Angela mengecup lembut kening Vanessa, lalu melangkah keluar dari kamar itu. Ia harus segera kembali ke ruang prakteknya. Sekaligus berusaha menenangkan dulu pikirannya yang kacau semenjak ia tahu bahwa antara mereka dan Vanessa sama sekali tidak ada kecocokan DNA. Angela melangkah dengan tenang ke polinya, meninggalkan bangsal rawat inap kelas VVIP itu. Harapan Angela tentu ia ingin anaknya segera di temukan, dia dalam kondisi baik-baik saja. *** Elsa dan Ramon sudah duduk berhadapan di meja sebuah resto ternama itu. Mereka tampak banyak mengobrol dan tertawa bersama, sambil menikmati pasta yang mereka pesan. Ramon tak bosan-bosannya menatap wajah itu, wajah manis dengan mata sipit dan hidung mancung. Sebuah pahatan yang begitu sempurna di matanya, begitu indah baginya. "Eh, kamu Koko ajak keluar makan gini pacar kamu nggak marah?" tanya Ramon tiba-tiba di sela-sela obrolan mereka, masa sih secantik ini jomblo? Tapi kalau punya pacar kenapa mau diajak Ramon keluar makan bareng? "Pacar? Pacar yang mana, Ko? Aku nggak ada pacar!" sergah Elsa sambil tertawa. "Ah yang bener? Secantik kamu dan jomblo? Impossible!" Ramon tersenyum kecut. "Bener lah, buat apa sih bohong?" Elsa tertawa, matanya menatap Ramon lekat-lekat. "Berarti nanti aman dong kalau Koko mau ajak kamu keluar makan lagi?" Elsa tersentak, ia menatap Ramon dengan seksama, Ramon masih mau mengajaknya keluar? Makan di luar seperti ini? Apakah itu artinya .... "Lho bengong malahan?" Ramon tersenyum, membuat Elsa sontak terkejut. "Eh ... iya boleh kok, nggak ada yang melarang." Ramon tersenyum, membuat Elsa makin membeku di tempatnya duduk. Kenapa laki-laki ini begitu mempesona sih?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD