Klinik Itu

1512 Words
"Apa? Papa mau beli klinik itu?" Albert berteriak dari ujung telepon, membuat Bram memaki dalam hati. Biasa saja kenapa sih? Kenapa pakai teriak-teriak segala? "Iya Ko, mau papa beli, terus dihidupkan lagi klinik itu. Sebagai pengingat bahwa kita pernah tercerai berai di klinik itu." Bram tengah berada di kantin, ia belum makan siang. Tadi ada hal penting yang harus ia bicarakan dengan sang papa bukan? Jadilah ia sedikit telat makan. Untung ia tidak punya gerd, jadi tidak masalah kalau harus sedikit telat makan. "Ah terserah papa deh kalau begitu, kita bisa apa? Lagipula nggak ada salahnya kok klinik itu di buka lagi. Bukankah di lingkungan sana sedikit jauh dari pusat pelayanan kesehatan?" Bram nampak berpikir, benar juga! Mungkin klinik itu nantinya akan memberi banyak manfaat untuk masyarakat sekitarnya. Tidak salah sih jika papanya kemudian hendak menghidupkan kembali klinik itu. "Sudah kau hubungi kembali Dokter Feri?" tanya Albert ketika Bram terdiam sibuk memikirkan rencana sang papa itu. "Belum, aku makan dulu nih, Ko. Belum makan dari tadi," Bram mencebik, Albert mah enak doa sudah makan dari tadi. Kebetulan ia sedang praktek di RS sebelah. "Hahahaha ...." Rasanya Bram ingin memaki sosok itu, namun ia tidak ingin merusak suasana makan siangnya. Jadi ia hanya mengerucutkan bibirnya tanda tidak suka. "Makanlah dulu, habis ini Koko beres praktek bakalan mampir kesana. Kita bahas lagi, oke?" Tut! "Kampret!" maki Bram yang kesal sambungan teleponnya di putus sepihak oleh sang kakak. Bram hanya menghela nafas panjang lalu meletakkan iPhone miliknya di meja. Ia kembali melanjutkan acara makannya. Tiba-tiba ia teringat gadis yang ia tabrak tadi. Ia masih mencoba mengingat, apakah tadi adalah pertemuan pertama mereka? Rasanya baru tadi Bram bertemu dengan sosok itu, tapi kenapa rasanya sorot mata dan senyum itu begitu familiar? Siapa sebenarnya gadis SMA itu? Kenapa Bram begitu penasaran dengan sosok itu? Bram buru-buru melanjutkan kembali acara makan siangnya, ia benar-benar penasaran. Rasanya ia ingin mencari tahu lebih lanjut tentang gadis itu, namun sekarang yang terpenting adalah mencari tahu keberadaan adik kandungnya itu. Bram kembali tersentak, dengan susah payah ia menelan nasinya. Tiba-tiba ada sebuah pertanyaan yang mengusik hatinya dengan luar biasa. "Jangan-jangan ...." *** "Ma, Elsa pulang," Elsa melepas helmnya, lalu melangkah masuk ke dalam rumah sambil membawa helm berwarna biru itu. "Gimana, sudah dapat?" tanya Anita yang muncul dengan segelas es teh ditangannya itu. "Tentu dapat dong!" Elsa sontak nyengir lebar, "Es teh kayaknya seger tuh!" gumannya sambil menaikkan kedua alisnya memberi kode bahwa ia juga mau es teh yang ada di tangan mamanya. "Nih, di kulkas masih banyak, nanti kalau mau nambah, ambil saja di kulkas." Anita menyodorkan segelas es teh itu, lalu duduk di kursi ruang tamu. Elsa menerima gelas es teh itu dengan senyum lebar. Ia ikut duduk sambil menyedot es teh di tangannya itu. Segar benar minum es teh siang-siang begini. Benar-benar nikmat yang tidak bisa didustakan. "Besok ke UIB ya, kita daftar kuliah kamu." Sontak Elsa terbatuk-batuk, ia meletakkan gelas itu di meja, sambil menepuk dadanya berkali-kali. Membuat Anita geleng-geleng kepala heran. "Pelan-pelan dong! Keselek kan?" gerutu Anita sambil menghela nafas panjang. "Harus besok itu juga, Ma?" tanya Elsa tidak percaya, baru selesai Ujian Nasional belum ada seminggu ia sudah harus bergegas mendaftar? Astaga! "Iya lah, mumpung masih gelombang satu, Elsa. Masih murah uang pangkalnya!" Elsa menghela nafas panjang, lantas di sana dia akan ambil fakultas apa? Ia sama sekali tidak berminat dengan fakultas yang ada di universitas itu, sama sekali! "Elsa lalu mau ambil fakultas apa, Ma?" tanya Elsa lesu. "Lah, kamu mau ambil apa? Masak kayak gitu pakai tanya mama sih?" Anita bersandar pada sofa, sambil menatap anak sulungnya itu dengan seksama. 'Elsa pengen ambil fakultas kedokteran, Ma. Bukankah sudah dari belasan tahun yang lalu sudah Elsa katakan?' jerit Elsa dalam hati, rasanya benar-benar pedih. "Entah, masih bingung." jawab Elsa asal. "Ambil ekonomi manajemen saja, peluangnya banyak. Kamu bisa melamar di bank nantinya, jadi staff kantor atau yang lain-lain." guman Anita berapi-api memberi masukan. "Ah, itu juga bagus tuh, Ma." guman Elsa pasrah, bisa apa dia sekarang? Menolak? Mengutarakan keinginannya masuk fakultas kedokteran? Mustahil! Terlebih ijazahnya nanti tidak bisa ia gunakan untuk mendaftar ke fakultas kedokteran. "Nah ambil itu saja, temen mama banyak kok yang kerja di bank, jabatannya sudah tinggi. Stock orang dalam untuk kamu melamar kerja besok melimpah," guman Anita penuh semangat. Kerja di bank? Ahh ... Elsa sama sekali tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa ia harus bekerja di bank. Jadi apa dia nanti? Teller? Bagian customer service? Atau pemasarannya? Entah, yang jelas ia tidak berminta dengan pekerjaan yang seperti itu. Ia ingin kerja di rumah sakit. Walaupun tidak bisa jadi dokter. Tapi kuliah apa yang kemudian kerja di rumah sakit? Bukankah kuliah kesehatan, dari mulai keperawatan, kebidanan dan kedokteran itu mahal? Psikologi juga. Ahh ... mendadak kepala Elsa jadi pening! Bukan tidak bersyukur dengan kedua orang tuanya, bukannya tidak bersyukur dengan hidup yang sudah Tuhan berikan padanya, namun kenapa harus ia hidup di garis ekonomi terbatas macam ini? Kondisi yang membuat ia menyerah lebih dulu sebelum mencoba mewujudkan semua mimpinya, karena ia terlalu takut tidak mampu membiayai kuliah guna meraih mimpi mulianya. Elsa ingin menangis, tapi rasanya tidak baik jika harus menangis di depan mamanya. "Ma, Elsa ganti baju dulu deh," ia sontak bangkit dan melangkah masuk ke dalam kamarnya sambil membawa segelas es teh yang tadi ia letakkan di atas meja. "Langsung makan setelah itu, mama mau kerumah budhe Waryani sebentar." "Oke, nggak usah disuruh kalau itu, Ma!" canda Elsa yang merasa bersyukur setelah ini mamanya pergi ke rumah tetangga depan rumah. Elsa mendengar langkah Anita keluar dari rumah, ia langsung meletakkan gelasnya di meja belajar, duduk di tepi ranjang lalu menumpahkan semua air matanya. Apakah ia seburuk itu? Apakah sebegitu tidak pantasnya Elsa menyandang profesi mulia yang ia idam-idamkan itu? Elsa menutup wajahnya dengan kedua tangan, membiarkan air matanya deras menetes. "Tuhan, Elsa pengen jadi dokter!" *** Jika kemarin-kemarin isteri dan ketiga anaknya yang pergi mengunjungi klinik terbengkalai ini, sekarang Bastian lah yang datang kemari. Melihat kondisi klinik yang dulu sempat ditawarkan kepadanya untuk dilanjutkan operasionalnya. Bastian menghela nafas panjang, halaman parkir depan klinik lumayan luas, halaman yang ditumbuhi rumput-rumput setinggi pinggang. Beberapa gentingnya melorot ke bawah, catnya kusam dan mengelupas. Benar-benar sungguh memprihatinkan. Seandainya dulu Bastian setuju membeli klinik ini, apakah kemudian ia bisa dengan mudahnya menemukan keberadaan Puteri kandungnya itu? Kenapa harus terjadi peristiwa itu sih? Kenapa ia jadi korban atas belum sempurnanya sistem perina zaman dulu. Air mata Bastian kembali menitik, hatinya benar-benar pedih luar biasa. Ia sangat berharap bisa segera bertemu dengan Puteri kandungnya itu. Berharap dimana pun dia berada, dia selalu dalam kondisi baik-baik saja, sampai kemudian Bastian bisa menemukannya dan membawanya kembali berkumpul bersama-sama dengan keluarga besarnya. Bastian melangkah menyusuri lorong klinik. Sunyi senyap, hanya langkah kakinya yang terdengar. Pintu masuk digembok, jendela-jendela banyak yang rusak, namun ada tralis yang begitu kokoh yang membuat siapapun tidak bisa masuk kecuali tralis itu dicongkel. Air mata Bastian menitik, ia berharap semoga ia masih bisa membeli klinik ini. Berkas-berkas rekam medis itu masih tersimpan dan ia bisa mendapat data-data pasien yang ia butuhkan guna untuk menemukan dimana putrinya berada. "Papa akan cari kamu, Sayang. Akan papa cari sampai kapanpun sampai kita bisa kumpul bersama-sama lagi!" *** "Papa kemana, Bram? Di ruangannya nggak ada tuh?" Bram menoleh, nampak kakaknya melangkah masuk ke dalam ruang prakteknya. Ia masih dengan scrub warna biru dan snelli lengan panjang, ahh ... kakaknya itu kalau dilihat-lihat sedikit mirip dengan aktor Korea, macam pemain Hospital Playlist, Drakor hits itu. "Mana aku tahu, Ko. Ke kantin mungkin," jawab Bram santai sambil menulis di selembar kertas. "Nggak ada, sebelum ke sini aku ke kantin dulu," Albert duduk di kursi yang ada di depan adiknya. "Ah Koko kesini kenapa yang dituju pertama kali malah kantin sih?" protes Bram sambil menatap kakaknya itu dengan gemas. "Aku haus, kamu juga nggak ada minuman kan di sini?" jawab Albert santai. "Terserah deh!" Bram masih sibuk dengan kertas dan pulpennya, lalu mengangkat dan menatap kakaknya itu dengan seksama. "Jadi gimana? Apa rencana kita selanjutnya?" tanya Albert ketika Bram sudah fokus padanya, bukan pada kertas yang sedang ia coret-coret itu. "Kita ketemu bukan cuma sama Dokter Feri, tapi juga sama Dokter Wisesa, Ko. Itu yang papa minta." "Langsung bahas buat beli klinik itu?" tanya Albert terkejut. Tabungan papanya masih luar biasa banyak dong kalau gitu? "Iya, papa mintanya begitu, Ko!" Bram sudah begitu serius. "Okelah, kalau papa yang minta mana bisa kita nolak sih?" Albert menganggukkan kepala tanda mengerti. "Nah, begitu intinya rencana kita besok. Kita naik apa nih besok kesana?" Bram masih begitu serius dengan pembicaraan mereka. "Mobil ajalah, enak kalau kemana-mana mudah, gampang." jawab Albert sambil melepas snelli-nya. "Okelah, nanti gantian setirnya atau kita sewa supir?" tanya Bram yang rasanya hanya perlu mereka bertiga yang pergi, tidak perlu ada orang lain apalagi diluar keluarga mereka. "Bertiga cukup lah. Nggak perlu pakai supir, Ko!" Bram mengangguk, rupanya Albert sependapat dengan pemikirannya. Jadi mudah saja untuk mereka besok pergi. Demi mencari adik mereka. Demi mencari bagian dari mereka yang hilang itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD