"Non, dari mana baru pulang?" tanya seorang wanita bertubuh gemuk yang datang tergopoh mendekati Nara yang sedang berjalan memasuki rumahnya dengan langkah yang terlihat aneh seaneh perasaan yang gadis itu rasakan pada tubuhnya.
Asisten rumah tangga keluarga Nara itu mengernyit merasakan aroma tidak enak dari tubuh Nara dan menatap pakaian gadis itu yang ternoda, bercak putih bekas muntahan Nara semalam telah mengering tapi tetap saja mengeluarkan aroma tidak enak.
Namun, bukan itu saja yang menarik perhatian sang asisten rumah tangga tapi karena ini untuk pertama kalinya Nara tidak pulang semalaman, apalagi pagi ini gadis itu pulang dalam keadaan yang berantakan.
"Non Nara nggak apa-apa? apa terjadi hal buruk sama Non Nara?" tanya wanita yang sudah begitu lama bekerja di keluarga Nara tersebut dengan penuh kekhawatiran.
"Aku nggak apa-apa kok, Bik, aku nginep di rumah Risa semalam," jawab Nara bohong, gadis itu lalu berjalan meninggalkan sang asisten rumah tangga yang masih menatapnya dengan tatapan aneh.
Nara langsung meniti anak tangga untuk menuju kamarnya yang berada di lantai dua rumah mewah tersebut.
"Bik, tolong siapin sarapan buat aku ya nanti habis mandi aku mau makan," kata Nara yang sudah meniti setengah tangga melengkung rumah mewah itu.
"Iya, Non," jawab asisten rumah tangga Nara, wanita itu lalu dengan sigap menyiapkan sarapan untuk nona mudanya.
Sementara setelah sampai di kamarnya Nara langsung kembali melucuti pakaiannya untuk membersihkan diri.
"Papa kapan sih pulangnya, Bik?" tanya Nara pada wanita yang biasa dia panggil Bik Rum yang sedang membantunya menyisir rambut sementara dirinya menghabiskan sarapan, Nara benar-benar merasa kelaparan seperti seseorang yang sudah lama sekali tidak makan atau seseorang yang baru saja menghabiskan banyak tenaga untuk sebuah kegiatan.
"Tadi pagi nyonya Lily telepon, katanya malam ini mereka udah sampai rumah," jawab Bik Rum yang sudah selesai menyisir rambut Nara, gadis cantik itu langsung menoleh menatap wanita paruh baya yang berdiri di belakangnya.
"Mama Lily telepon? terus nanyain aku?" tanya Nara, gadis itu takut jika sang ibu tiri tahu dirinya tidak pulang semalam pasti sang ibu tirinya itu akan mengadu pada Papanya, Nara bukan takut dimarahi gadis itu hanya malas menjelaskan sesuatu yang sebenarnya dia sendiri saja tidak ia mengerti.
"Iya Non," jawab Bik Rum singkat.
"Terus Bik Rum bilang apa?" tanya Nara penasaran yang ditanya malah tersenyum.
"Bibik bilang kalau Non Nara belum bangun tidur," jawab Bik Rum sambil tersenyum, Nara pun ikut tersenyum manis mendengarnya.
"Makasih ya Bik," kata Nara karena tahu Bik Rum tidak ingin dirinya berada dalam masalah, Bik Rum menganggukkan kepala lalu meninggalkan Nara di meja makan sementara dirinya akan melanjutkan pekerjaan.
Nara menghela nafas panjang lalu teringat pada sesuatu, dia mengkhawatirkan dirinya sendiri, dan sambil mengunyah makanannya Nara mengambil ponsel lalu mengetik sebuah kalimat sebagai kata kunci pencarian informasi di internet.
'Rasanya kehilangan keperawanan'
Setelah membaca semua artikel yang memuat informasi yang Nara ingin kan Gadis itu bergumam, "ternyata rasanya emang beneran sakit dan itu normal. yang nggak normal adalah, aku kehilangan keperawanan dengan cara seperti ini, sayang banget. ini semua gara-gara Valdo!"
Nara merasa ada sesuatu yang hilang dalam dirinya seperti penyesalan terasa menyakitkan tapi Nara sadar jika semua itu tidak ada gunanya, apapun yang dia rasakan dia tidak mungkin bisa membalikkan waktu dan membuat semuanya lebih baik.
"Valdo emang b******k, sia-sia selama ini aku nolak setiap kali dia ngajakin ML, aku malah ML sama orang yang enggak aku kenal! Aku bahkan enggak inget kayak apa mukanya, aku juga nggak ingat gimana rasanya selain rasa sakit ini!" racau Nara kesal, Gadis itu menaruh ponselnya di atas meja lalu memejamkan mata berusaha mengingat apa yang terjadi semalam.
Namun yang Nara ingat tetaplah dia mengobrol dengan sesosok patung, tapi perlahan Gadis itu merasakan desiran aneh dalam tubuhnya ketika perlahan dan samar-samar bayangan itu muncul dalam ingatan.
Nara membuka matanya dan desiran aneh itu buyar Karena rasa takutnya ketika teringat dirinya dalam kungkungan tubuh kekar seorang laki-laki yang memacu hasrat di atas tubuhnya.
"Kok rasanya aneh gini," gumam Nara sambil mengelus tengkuknya yang tiba-tiba saja meremang, walaupun tetap saja dirinya tidak bisa mengingat wajah laki-laki itu walaupun sedikit teringat kegiatan yang mereka lakukan semalam.
Gadis cantik itu bangkit dari tempatnya duduk meninggalkan piring yang sudah kosong juga meninggalkan ponsel yang tergeletak di sebelahnya Nara langsung mengambil alat tulis yang ada di dalam lemari hias, Nara berusaha mengingat-ingat bentuk tato yang ada di bahu belakang laki-laki itu dan menggambarkannya di kertas yang ia pegang.
"Itu tato gambar apa sih, bentuknya aneh!" gumam Nara sambil mengingat-ingat bentuk tato itu walaupun dirinya hanya sekilas melihatnya dan tidak begitu jelas tapi Nara tetap berusaha menuliskannya di atas sebuah buku berharap pada sesuatu yang bisa dia ungkap dari gambar tato tersebut.
"Ini apa ya? ini huruf V, ini huruf I, ini huruf L? VIL? maksudnya apa ya? apa ini sebuah nama? terus ini apa, gambar pagar?" gumam Nara sambil menatap gambar yang ada di buku yang ia pegang gambar yang ia buat berdasarkan ingatannya.
"Apa ini huruf A? VILA? artinya apa? Masa iya orang itu namanya VILA? ah, nggak tahu ah pusing!" Nara lalu melempar asal buku dan pulpen yang dia pegang ke atas sofa yang saat ini sedang didudukinya.
"Lagian buat apa juga Aku berusaha nyari dia, mau minta pertanggungjawaban? ya nggak mungkin juga dong, one night stand kan udah biasa buat orang-orang di luar sana, lagian ini semua juga salah aku pake acara mabok di klub malam!"
"Aaahhhh ini semua gara-gara si b******k Valdo!"
Nara berjalan meninggalkan gambar yang baru saja dia buat di atas buku begitu saja, gadis itu menyambar asal ponselnya dari atas meja makan lalu kembali berjalan ke dalam kamar rasanya Nara benar-benar malas pergi ke kampus hari ini hingga ia putuskan untuk menghabiskan hari di dalam kamar. Tidur.
***
Sebenarnya sudah dua kali Bik Rum memanggilnya untuk turun dan makan malam tapi Nara rasanya masih enggan beranjak dari ranjangnya, Gadis itu kembali merasakan amarah pada Sang mantan kekasih karena telah memberikan rasa sakit hati dan membuat sebuah hal besar terjadi pada dirinya saat ini.
"Nara ... yuhu ... Nara .... Kamu kenapa sih? Patah hati? Kenapa ngurung diri di kamar kayak gini? kata Bik Rum dia udah manggil kamu dua kali tapi kamu nggak mau turun, emang kamu nggak laper? biasanya yang bikin perut nggak ngerasa lapar tuh rasa patah hati!"
Nara hanya sekilas melirik dingin pada seorang perempuan yang berjalan mendekatinya, perempuan cantik yang usianya tidak terpaut jauh darinya tentu saja bukan Risa sang sahabat atau teman kuliah Nara yang lainnya.
"Apaan sih, Ma! datang-datang ngoceh kayak burung beo!" kata Nara setelah berdecak kecil, wanita yang dia panggil Mama itu lalu duduk di tepi ranjangnya sambil menatap wajah Nara, wanita itu jadi semakin yakin kalau Nara sedang patah hati.
"Kami bawa oleh-oleh banyak loh buat kamu, nggak pengen lihat gitu?" tanya wanita yang duduk di depan Nara yang duduk bersandar pada kepala ranjangnya melamun sedari tadi, tapi Nara tetap terlihat tidak bersemangat, tidak seperti biasanya ketika orang tuanya membawakannya oleh-oleh dari luar negeri.
"Ini sih fix, beneran kamu lagi patah hati!" kata perempuan itu membuat Nara kembali berdecak kesal.
"Iya," jawab Nara malas, Gadis itu merasa jika dirinya tidak bisa menyembunyikan apa-apa dari perempuan yang tiba-tiba saja menjadi Mamanya itu padahal usia mereka tidak terpaut jauh, jika sekarang Nara berusia dua puluh tahun maka wanita yang dia panggil Mama baru berusia dua puluh lima tahun.
Lily namanya seorang gadis muda yang dinikahi oleh Bryan Maven Ayah Nara yang saat ini berusia empat puluh delapan tahun, nyatanya perbedaan usia yang begitu jauh tidak membuat Lily tidak jatuh cinta pada pesona duda tampan itu.
"Kamu putus sama Valdo?" tanya Lily penasaran sambil menatap wajah sang anak tiri yang sudah menjadi sahabat dekatnya setelah wanita itu dinikahi oleh Bryan, awalnya Nara begitu canggung memanggil wanita yang lebih pantas menjadi kakaknya dengan sebutan Mama tapi Bryan tetap meminta Nara memanggil wanita itu dengan panggilan yang semestinya.
"Iya dan Mama pasti nggak akan nyangka alasannya apa," jawab Nara cepat membuat wanita cantik yang duduk di depannya menatapnya dengan begitu penasaran.
"Apa alasannya cepat ceritain!" pinta Lily tidak sabar.
"Risa ngelihat dia di club sama cewek, terus pas aku samperin Valdo cerita kalau ternyata itu ceweknya, mereka jadian sebelum Valdo jadian sama aku. selama ini aku tuh dijadiin selingkuhan sama Valdo!" kata Nara menceritakan nasib buruk yang terjadi pada dirinya tapi Gadis itu tidak menceritakan tentang malam yang dia habiskan dengan seorang laki-laki asing.
"Emang b******k, nggak kelihatan banget sih kalau Valdo sebrengsek itu selama ini!" kata Lily meluapkan rasa kesalnya mendengar apa yang anak tirinya katakan.
"Emang b******k makanya aku benci banget sama dia!" kata Nara dengan wajah merengut kesal.
"Itu lah yang jadi alasan Mama jatuh cinta sama Papa kamu, Papa kamu tuh luar biasa baik dan enggak akan mungkin nyakitin Mama!" kata Lily cepat, Nara langsung menatapnya dengan tatapan sebal.
"Terus maksud Mama aku juga harus cari pacar yang tua gitu? di dunia ini tuh udah nggak ada lagi high quality duda kayak Papa! Lagian selera aku bukan om-om kayak selera Mama ya!"
"Ehem! siapa nih yang disebut-sebut tua?"
Nara dan Lily saling bertatapan lalu sama-sama menahan tawa mendengar ucapan Bryan yang ternyata sedari tadi mendengarkan pembicaraan mereka.
"Iya, kita lagi ngomongin Papa tapi kan ngomongin tua dari segi baiknya," jawab Nara Sambil tertawa kecil sang ayah lalu langsung berjalan mendekatinya dan memeluk sang putri tercinta.
"Kasihan banget anak Papa lagi patah hati, apa kita harus ke dokter buat menyambung patah hati kamu? gimana kalau cari dokternya di Korea, cari idol favorit kamu buat mengobati rasa sakit hati kamu?"
"Beneran, Pa?"
"Iya tapi kamu perginya sama Mama ya, Papa harus ketemu sama rekan kerja Papa yang kebetulan lagi ada di Indonesia. ada banyak pekerjaan yang harus kami bicarakan."
"Ah Papa enggak asik, kerja terus. pantes aja aku nggak dapet-dapet adik bayi!"