Part 10

1234 Words
“Woah ... indah banget,” teriak Maita dengan takjub setelah melihat pemandangan di depan matanya saat ini. “Ayo turun,” ajak Omar yang segera membukakan pintu mobil untuk Maita. “Aku tak menyangka ada taman seindah ini,” ujar Maita yang masih ternganga dengan pemandangan di hadapannya. “Taman di Dandennongs memang terkenal dengan keindahannya. Apa kamu menyukainya?” tanya Omar. “Hu’um ... aku suka, sangat suka. Ini tolong bawakan tasku,” kata Maita sambil menyerahkan handbag miliknya kepada Omar. “Kamu mau ke mana?” tanya Omar heran. “Itu,” kata Maita menunjuk ke arah danau. “Jangan lari seperti itu Carol, nanti kamu jatuh. Ingat kamu nggak sendiri!” teriak Omar memperingati Maita. Seketika itu Maita tersadar dan langsung menghentikan langkah kakinya. “Upss ... sorry, aku lupa itu,” ucap Maita sambil menutup bibirnya. Omar menggelengkan kepala sambil berjalan mendekati Maita. “Lain kali jangan seperti itu lagi!” ujar Omar. “Siap Boss.” Omar tersenyum sambil mengacak puncak kepala Maita. “Ih ... rambutku kan jadi berantakan,” keluh Maita. “Sini aku betulin,” kata Omar menawarkan. “Enggak mau, biarin aja kamu malu jalan sama aku. Biar dikira kamu melakukan penganiayaan,” ketus Maita. Padahal mereka belum kenal terlalu lama, akan tetapi Maita sudah merasa nyaman dengan kebersamaan bersama dengan Omar. Maita memutuskan berjalan mengitari danau yang ada di taman ditemani oleh Omar. “Omar, aku noleh bertanya kepada kamu?” ucap Maita gugup. “Tentu ... katakanlah!” ujar Omar. Maita menghentikan langkahnya lalu duduk di pinggir danau. “Kenapa kamu menolong aku, padahal kamu belum mengenal aku sama sekali. Jika aku berbohong mengenai kejadian yang sedang aku alami, apakah kamu tidak akan membenci aku nanti?” tanya Maita ragu. Omar nampak berpikir sejenak dengan kata-kata yang diucapkan oleh Maita saat ini. “Benar juga ya ... kalo kamu ternyata bukan wanita baik-baik aku kan bisa rugi,” kata Omar sedikit pelan sambil menggaruk lehernya yang tidak gatal sama sekali. “Nah ... kan, itu maksudku,” kata Maita. Nampak jelas kekecewaan pada raut wajah wanita itu setelah mendengar jawaban dari Omar. “Tapi tenang, aku bukan manusia sepeti itu kok. Entah kenapa aku melihat kamu saat sedang berada di pinggir sungai dan akan melompat, aku merasakan aku harus menolong kamu. Aku bahkan tak memikirkan resiko apa yang akan aku terima. Entah kamu membohongi aku atau apapun itu. Niatku murni ingin menolong kamu,” ujar Omar dengan mantab. Sejujurnya Omar saat ini menyembunyikan sesuatu dari Maita. “Terimakasih, aku akan membayar semuanya nanti,” ujar Maita berjanji. “Jangan terlalu dipikirkan. Kamu fokus saja dengan kehamilan mu, aku berharap anak yang kamu kandung akan tumbuh dengan sehat. Jika kamu mau aku akan menikahimu,” ujar Omar. Mendengar ucapan Omar Maita segera beranjak dari tempatnya duduk saat ini. Entah kenapa mendengar ucapan Omar dadanya terasa nyeri, ia langsung teringat dengan Jackson lelaki yang telah meninggalkan dirinya. Maita beranjak meninggalkan Omar tanpa sepatah katapun yang keluar dari bibirnya. Melihat hal itu Omar segera menarik tangan wanita itu. “Wait Caroll, bukan begitu maksudku. Aku hanya tidak ingin anakmu tumbuh tanpa adanya sosok figur seorang ayah,” jelas Omar. “Maafkan aku Omar, aku tolong jangan bahas hal ini dulu. Aku tahu maksudmu, tapi aku akan berusaha merawat anakku dengan kasih sayang yang cukup. Jangan khawatir dengan semua itu. Hingga saat ini hanya ada satu nama yang ada di dalam hatiku,” jelas Maita. “I see, but,” Omar menggaruk tengkuknya dengan wajah bingungnya. Jujur saja sepertinya dia salah mengucapkan sesuatu sehingga Maita salah mengartikan ucapannya. “Jangan bahas ini lagi,” tandas Maita. “Baiklah. Maafkan aku Caroll, sebagai gantinya aku akan mengajak kamu pergi meniki kereta uap Puffing Billy,” kata Omar. Maita hanya mengangguk. Moodnya kali ini masih buruk karena ucapan Omar. Maita hanya tidak ingin mengingat masalah yang ingin dia lupakan saat ini. Omar membawa Maita menuju ke stasiun kereta uap Puffing Billy, Kereta api uap ini termasuk salah satu kereta api dengan perawatan terbaik di dunia. Saat ini kereta ini beroperasi di jalur sepanjang dua puluh empat kilo meter per milik yang melintasi hutan pohon ash pegunungan yang tinggi dan parit tanaman pakis di Dandenongs Rages. Puffing Billy berjalan dibatasi jembatan kayu. “Kamu siap?” tanya Omar. “Tentu, sepertinya perjalanan kali ini akan menyenangkan,” ujar Maita dengan senyuman mengembang. Seolah sudah melupakan masalah yang baru saja dia hadapi, dengan capat mood Maita kembali. “Memang dasar ibu hamil, baru sebentar saja sudah berubah semanis ini,” gumam Omar. Kruuk! Perut Maita terdengar berbunyi. “Kamu lapar?” tanya Omar. “Hehe ... iya, aku hanya makan roti tawar selai buatanmu tadi,” kata Maita nyengir di depan Omar. “Kita pindah gerbong ke gerbong kelas satu saja yuk, di sana menyediakan makanan,” jelas Omar. Maita mengangguk. Omar mengulurkan tangannya kepada Maita. Dia nampak berpikir sejenak sebelum meraih tangan Omar, namun dengan cepat Maita meraih tangan pria di hadapannya saat ini. “Silahkan duduk tuan putri,” kata Omar mempersilakan Mati untuk duduk di kursi yang sudah tersedia. “Thanks Omar,” ucap Maita. “You're welcome.” Mereka memesan makan dan segera menikmati makanan yang sudah tersaji di atas meja yang ada di hadapan mereka berdua. “Caroll, kapan kamu akan mulai melanjutkan kuliahmu?” tanya Omar di sela-sela makan mereka. “Entahlah, aku takut di saat aku masih dalam kondisi seperti ini malah akan menghambat semuanya,” jelas Maita dengan kecewa. “Aku mulai besok sudah mulai masuk ke rumah sakit baru,” jelas Omar. “Benarkah? selamat ya,” ucap Maita dengan senyum lebarnya. Melihat Maita yang begitu manis dan menggemaskan membuat Omar mendadak menjadi linglung dan kehilangan akal sehatnya. “Tenang Omar, jangan hilaf. Dia milik orang,” kata Omar di dalam hatinya. “Omar ...?” teriak Maita karena dirinya sudah beberapa kali memanggil nama pria itu namun dia malah melamun tanpa menyahuti ucapan Maita. “Eh ... sampai mana tadi?” tanya Omar kemudian. “Enggak tau,” ketus Maita dengan bibir cemberutnya. “Jangan begitu kenapa sih, bibirmu bisa diikat dengan karet kalo begitu. Lucu,” kata Omar dengan gemas. Maita malah ngambek dan tidak mau melanjutkan makannya. “Caroll ... habiskan makananmu,” titah Omar. Namun Maita tidak memperdulikan ucapan lelaki yang berada di hadapannya saat ini. Maita malah memalingkan wajahnya ke arah samping. Rasa kesal di dalam hatinya mendadak memuncak. Maita memilih melihat ke arah luar menikmati pemandangan yang disuguhkan oleh alam di sekeliling kereta. Aroma khas tanaman dari luar memanjakan pernapasan Maita saat ini. Ia bahkan merasa nyaman karena dirinya tidak merasakan mual sama sekali. Melihat lahan pertanian di sebagian perjalanan yang disuguhkan juga membuat otak Maita yang dipenuhi dengan kepenatan mendadak menjadi semakin nyaman dan tenang. Omar sengaja membiarkan Maita menikmati pemandangan saat ini. Tanpa disadari perasaan yang tak seharusnya tumbuh di dalam hati Omar. Namun lelaki itu belum menyadari akan hal itu. Ia hanya merasa harus bertanggung jawab dengan Maita sepenuhnya. Karena dialah yang membawa wanita itu lari ke Melbourne saat ini. Ting! Omar segera membuka pesan yang masuk di ponselnya. (Bagaimana, apakah keadaannya baik-baik saja? Jangan lupa laporkan kegiatan kalian setiap harinya!) Baagitulah kira-kira isi pesannya. (Baik, akan saya laksanakan semua perintah dengan rapi) Balas Omar dengan cepat. Perjalanan mereka dilanjutkan menjelajahi kota tua yang ada di Dandenongs. Sampai saat ini Maita masih menatap keindahan yang ada di luar jendela kereta.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD