“Jadi nanti, ini adalah hal-hal yang akan Anda pelajari. Lalu di sini ada pilihan mentornya. Dan di bagian ini … Anda dapat memilih jadwal belajar Anda sendiri.”
1. Pembelajaran bela diri Modern.
2. Pembelajaran bela diri tradisional.
3. Pelatihan menggunakan senjata api.
4. Pelatihan mengendarai macam-macam kendaraan.
5. Pelatihan tentang ilmu komputer, jaringan, dan teknologi.
6. Pelatihan bisnis dan ekonomi.
7. Pelatihan Sosialisasi.
8. 9. 10. 11. 12 … 20.
“Ini … adalah dua puluh pembelajaran?”
Tuan Hudson mengangguk. “Ini rincian dari setiap pembelajaran.”
Aku mengambil salah satu map yang bertuliskan pelatihan menggunakan senjata api.
“Di sana berisi berbagai model senjata api yang harus Anda kuasai. Di sana … ada pula tenggat waktu yang diberikan untuk Anda dan Anda harus menguasainya selagi ada kesempatannya.”
Kubuka dan k****a rincian dari setiap senjata yang harus kupelajari. Lembar demi lembar ini seakan tidak ada habisnya. Kurang lebih sekitar lima puluh jenis senjata api yang harus dipelajari dalam waktu satu bulan.
Lalu kulihat pada bagian bela diri, baik yang modern maupun tradisional. Semuanya memiliki banyak target untuk dipelajari, namun dalam waktu singkat.
ASTAGHFIRULLAH HAL ‘ADZIM!
*
“Maaf, kalau begini lebih baik aku pergi!”
Dengan berlari dan uang seadanya, aku kabur dari mansion. Mereka semua gila kerja, gila belajar dan gila harta.
Aaah … maafkan aku, Tuan Hudson. Aku mengkhianatimu.
Menggunakan bus untuk kembali Bandung adalah cara termudah untuk bisa terlepas dari semua beban. Gerah dan panas sudah menjadi kawanku. Berebut tempat sudah menjadi identitasku sebagai rakyat kecil. Mungkin kehidupan seperti inilah yang lebih baik untukku. Aku tak ingin menjadi orang kaya, karena ternyata orang kaya itu sangat-sangat banyak aturan hidupnya.
Karena macet, perjalanan Puncak – Bandung pun terasa sangat lama. Bus selalu berhenti tiap beberapa menit sekali karena macetnya. Akhirnya setelah enam jam melakukan perjalanan pun, aku tiba di terminal Leuwi Panjang.
Turun dari bus, aku langsung melihat di rumah sakit. Beliau nampak tidur dengan tenang, aku jadi tak tega untuk membangunkannya. Para penjaga berseragam hitam yang berjumlah dua orang juga menjaga ruang emak. Mereka berdiri tanpa berbicara sedikit pun. Hanya membungkuk saat aku lewat atau menggeleng jika kutawari makan.
“Mak, Ujang nggak sanggup jadi anaknya Tuan Dwipa. Banyak syaratnya. Ujang harus basa ini, bisa itu. Bahkan Ujang harus bisa nembak, Mak. Nembak pake Bedhil beneran? Kan, Sieun nya Ujang teh.” (Bedhil : Senapan. Sieun nya Ujang teh : Takut lah, Ujang tuh.)
“Makanya Ujang pulang aja. Maaf kalau bikin emak kecewa.”
Aku membelai tangannya yang terdapat jarum infusan. Aku berusaha agar posisi tangannya tidak berpindah tempat atau bergeser sedikit pun.
“Jang …!”
“Iya, Mak?”
Ternyata emak terbangun saat aku hendak pergi.
“Bawa Ical, Eti dan Obi. Ajak pulang ke rumah, ya. Emak sebentar lagi sembuh dan akan kembali pulang ke rumah, Jang!”
“Baik, Mak!”
Aku harus mencari Ical, Eti dan Obi. Tapi di mana mereka? Aku nggak tahu mereka ada di mana?
“Hey kalian tahu di mana adik-adikku disembunyikan? Cepat katakan!”
Aku berusaha mengancam, namun aku tak memiliki banyak nyali sebenarnya.
Mereka malah menundukkan kepala lalu kembali berdiri tegak seperti sebelumnya. Aduuh, apa Tuan Hudson sengaja mempekerjakan penjaga yang bisu?
“Maksudku … aku bertanya, di mana adik-adikku itu kalian bawa? Kalian tak perlu menunduk padaku.” Terpaksa aku mengulang pertanyaanku.
Namun kali ini mereka malah tidak bergerak sama sekali.
Ah, si4l! Aku pergi saja, daripada semakin kesal. “Titip ibuku, ya, woy!”
Dan mereka menunduk lagi.
Biarlah. Lebih baik aku pergi dan segera pulang ke Cisewu saja. Nanti aku akan cari kembali anak-anak.
*
Rumah ini nampak tak berbeda, masih terlihat sangat lusuh, reyot, dan hampir rubuh. Aku tak memiliki uang untuk memperbaikinya, karena uang penghasilanku kerja di bengkel toko elektronik hanya cukup untuk emak berobat dan makan adik-adik. Aku mengabaikan tempat tinggal yang menjadi naungan kami.
Sekarang aku sendiri di sini, aku tak mendapati anak-anak di sini. Rumah tua ini menjadi sangat sepi karena ketiadaan mereka. Apa mereka akan menyakiti emak dan juga adik-adik begitu aku kabur? Aduh! Aku tidak terpikir ke sana.
“Jang! Ujang! Woy!”
Brak brak brak
“Kamu udah balik dari Puncak? Cepet banget?”
“Neng Mawar?” sapaku pada wanita yang sedang menggedor pintu rumahku dan berhasil membukanya menggunakan tendangan sepatu.
“Heh! Kalau mau pergi, itu adekmu diperhatiin. Jangan main titip titip aja sementara kamu enek-enakan!” Dengan berkacak pinggang, gadis di hadapanku ini memaki dan menjatuhkan harga diriku.
“Itu, si Ical, kenapa ditinggal di rumah kita? Biar bisa numpang makan gratis? Cuih ….”
Lud4h itu mengenai ujung sandal capit swallaw milikku. Kenapa Neng Mawar menjadi sekasar ini? Aku menyesalkan akan sifatnya yang perlahan mulai berubah menjadi mirip dengan Prima.
“Sumpah, jijik banget ya aku dengan keluarga kalian! Tukang ngutang! Minta-minta! Sekarang nitipin anak nggak tau diri banget! Untung aja nggak aku buang mereka jadi anak jalanan.”
Setelah puas memaki Neng Mawar pun berbalik dan keluar dari rumahku.
“Aku besok mau berangkat ke Bandung buat kuliah di universitas terkenal! Sebelum aku berangkat besok, pokoknya itu tiga anak caludih harus sudah pergi dari rumah aku! Aku nggak mau pas lagi belajar jadi mahasiswi di kota Bandung malah kepikiran sama tiga anak caludih yang bakal bawa penyakit buat ibu bapakku! Ngerti!” hardiknya sambil memasang helm.
Aku masih berdiri mematung. Bukankah anak-anak dititipkan pada orang-orang suruhan dari Tuan Hudson? Kenapa malah ada di rumah keluarga Neng Mawar?
“Aduuuh! Den … Den Prana …!” Pak Kades, ayahnya Mawar berlari dan menuju ke arahku.
“Eh, Pak Kades ada apa? Ini Ujang, Pak. Panggil aja Ujang!”
“Aduh, maafin Neng Mawar ya, Den. Nggak! Bapak nggak bisa pura-pura lagi, sebenarnya Bapak tau dari lama kamu itu Den Prana. Tapi Emak selalu melarang saya untuk memberitahu pada siapapun, Den. Maaf, ya …! Maafin Neng Mawar.” Bahkan Pak Kades sampai bersujud.
“Aduh, jangan begini, Pak!” Kuangkat lagi Pak Kades agar ia berdiri.
Tilililit tilililit.
Suara apa ini?
Aku mencari sumber suara dari dalam tas merah milikku yang kumal. Ada sesuatu yang berdering disertai getaran dari dalamnya. Begitu aku membuka tasku, ternyata benda itu bercahaya. Segera saja kuambil benda pipih yang terus mengeluarkan bunyi itu.
“Sejak kapan ada ponsel di rumahku?”
Hudson memanggil.
Aku pun menekan tombol hijau dan menggesernya untuk mengangkat panggilan.
“Ha … halo?”
“Iya, maaf, ya! Aku pergi nggak bilang-bilang.” Ternyata dia tidak marah.
“Emmm itu … tawaran belajarnya masih berlaku atau tidak?”
“Iya iya! Aku mau! Aku akan ikut program belajar itu, tapi … ada syaratnya.”
*
Bersambung …
Kira-kira syarat apa yang diajukan Ujang alias Prana untuk mau belajar dengan program yang disusun oleh Tuan Dwipa?