Bab 12. Jemputan Aneh

1106 Words
“Nih! Potokopian punya kamu, Yan!” “Thankyou, Bro! Berapa duit nih?” “Santai.” “Kutraktir ngopi nanti!” “Okeh!” Bersama Adrian, kami duduk bersebelahan. Hanya ada satu mata kuliah hari ini dengan beban tiga SKS. Lumayan, dari pukul delapan sampai pukul setengah sebelas siang. Jadi begini rasanya menjadi mahasiswa, terlihat santai, tapi …. Fuuuh, tak perlu dijelaskan lagi. Baru semester satu ini. Membereskan perlengkapan kami, namun aku belum berniat untuk keluar kelas. Lain dengan Adrian, yang sudah berdiri ketika dosen keluar dari pintu. “Duluan, ya!” “Oke.” Masih malas untuk ke apartemen, tapi … guru pencak silat yang kemarin pasti sudah menunggu. Demi berduel dengan Prima, aku harus bersungguh-sungguh mempelajarinya. “Kalian duluan, aku masih ada urusan.” Suara dari gadis yang duduk di kursi depan pojok kanan dekat pintu masuk. Setelah teman-temannya pergi, dia menghampiriku. “Ujang! Kamu … masuk ke sini ilegal, ya?” Tiba-tiba dia menyapaku dengan sebuah pertanyaan. Bukan pertanyaan, lebih tepatnya itu adalah tuduhan. “Kalau ilegal, mana mungkin namaku ada setiap absensi oleh dosen?” jawabku santai. Dia merengut memajukan bibirnya. Seakan kecewa karena ia gagal menemui cela atas diriku. Belum ia bertanya lagi, ia sedikit memiringkan tubuhnya untuk mengecek bagian bawah yang kugunakan. Dari sepatu, celana, kaos, kemeja, tas dan gaya rambut. Untung aku tidak menggunakan baju yang disediakan Hudson, aku sudah meminta pada Rena agar mengganti baju-baju itu dengan baju yang dijual di kaki lima dan sepatu murahan. Alhasil, Mawar tidak terlalu curiga. “Dari mana kamu dapet duit buat kuliah? Hah?” Aku diam tak menjawab. Mana mungkin aku tiba-tiba mengatakan diberi oleh ayahku. Karena yang mereka tahu, aku hanya punya emak dengan status entah sebagai ibuku atau nenekku atau bahkan bibiku, entah. “Bukan bapakku, kan, yang ngasi kamu uang? Awas, kalau sampai ketauan bapakku yang ngasi kamu uang, bakalan kutagih di dunia dan akhirat. Sebagai anaknya, aku nggak ikhlas!” cibirnya padaku. Ya Robbi … ini anak kenapa, sih? Mulutnya jahat minta ampun, pantes sama Prima. Padahal, bapaknya baik banget, kenapa anak gadisnya begini? “Sekarang jawab jujur! Dari mana kamu dapat uang untuk kuliah? Terus, kenapa pas masa orientasi kamu nggak ada? Bagaimana kamu bisa menyelinap ke mari menjadi mahasiswa baru tanpa orientasi? Untung A Prima nggak tahu, kalau dia tahu kamu bakal diospek sendirian sama dia!” Prima lagi, Prima lagi. Untung kemarin dia nggak sempat melihat Prima sedang merayu Neng Iis, bisa patah hati tujuh tanjakan dia. “Bener, ya, ngomong sama kau tuh, ngeselin. Diem mulu kayak orang b1su!” Aku berdiri, menggantung tas pada pundak. Mendorong kursi ke belakang menggunakan kaki, dan aku pun keluar dari bangku tersebut. “Mau ke mana? Kamu belum jawab aku! Ujang!” Aku berhenti dan menoleh padanya. “Aku dapat beasiswa, Neng. Jadi aku bisa kuliah. Udah ya …? Aku permisi.” Biarkan saja jika Neng Mawar menyimpan rasa kesal. Maafkan aku, Neng, aku nggak bisa kamu injak-injak lagi. “Ujang! Ujang …! Tunggu!” Setelah aku jauh berjalan, dia memanggil dan mengejarku sambil berlari menyusuri lorong. Aku biarkan saja dan abaikan panggilan, walau aku sadar sepenuhnya, jika mahasiswa lain yang ada di lorong ini memperhatikan kita. “Ujang! Aku panggil kamu, tau! Kamu bude9, ya?” Muak, namun aku berusaha untuk tidak menunjukkan. Aku tetap mendoakan gadis ini suatu saat nanti bertemu orang yang dapat menyadarkannya dan mengajarinya sopan santun. “Kang …? Ayo pulang?” Ini apalagi, Ya Salam? Batik kotak-kotak, rok yang kainnya mengerut*, kacamata hitam, payung warna-warni, dan yang lebih aneh lagi adalah … rambut palsu berwarna kuning emas. Sedang apa dia berdandan seperti ini? Neng Mawar pun langsung melepas pegangan tangannya padaku. Dia mundur begitu melihat wanita berambut kuning emas ini. “Di … dia siapa, Jang?” tanya Neng Mawar sambil menatap aneh. “Perkenalkan saya Mayang, saya temannya dia.” Neng Mawar semakin menjauh dariku. Entah mengapa aku tidak ingin mengklarifikasi apa-apa tentang si Mayang ini, biar saja Neng Mawar salah paham dalam pikirannya. “Kita pulang yuk, Kang. Dahh!” Aku meng-iya-kan saja ajakan wanita aneh berambut kuning emas ini. Lalu kami berjalan hingga keluar dari area kampus. Begitu di depan kampus, aku pun melepas tangannya yang melingkar di lenganku. “Ngapain kamu ke sini?” tanyaku tanpa basa-basi. “Menjemput Anda, Tuan Muda.” Seketika gaya bicaranya pun berubah setelah tidak ada yang melihat kita. “Kenapa kamu berdandan seperti ini?” “Hudson melarangku menggunakan pakaian yang biasa kugunakan.” “Lantas, dia menyarankanmu menggunakan pakaian seperti ini?” “Bukankah ini sesuai dengan gaya mahasiswa?” Dia menunjuk pada kemaja dan rok nya. “Ok, anggaplah seperti itu. Lalu, apakah kamu tadi melihat ada mahasiswa dengan baju yang seperti kau gunakan sekarang?” Aku memperjelas maksudku. “Emmm … tidak.” Dia masih menjawab dengan santai. “Terus, kamu sadar?” “Iya, saya salah kostum, Tuan Muda. Maafkan saya!” “Kostumnya nggak salah. Dandanan kamu aja yang aneh!” Aku pun berjalan mendahuluinya. Jika dia bisa menjadi penata pakaian saat acara formal, kenapa dia tidak bisa mengerti bagaimana cara berpakaian seorang mahasiswa? Aku menuju pada salah satu limusin yang menjemput diriku dan Mayang. Kami duduk berdampingan, Mayang ada di sampingku sambil menutup payungnya. “Sebenarnya, Rena yang menyediakan baju ini.” “Hmmm ….” “Maaf, Tuan Muda. Apa kehadiranku membuatmu malu?” Pada hari itu aku melihatnya begitu agresif naik ke paha ayahku, lalu sekarang, dia begitu polos dan meminta maaf seperti anak kecil yang baru saja melakukan kesalahan. Apa dia meiliki kepribadian ganda? “Sebenarnya tidak membuatku malu sama sekali. Hanya saja … sungguh kau terlihat aneh. Sudahlah, jangan dibahas! Apa yang kau inginkan sampai menjemputku pulang begini?” “Emmm … Tuan Dwipa ingin mengobrol dengan Anda.” “Kenapa bukan Hudson yang menjemputku? Kenapa menugaskan padamu yang akhirnya membuat heboh anak-anak kampus tadi.” “Emmm … Tuan Hudson adalah asisten Tuan Dwipa, bukan asisten Anda, Tuan Muda. Jadi saya yang diperintahkan menjemput Anda.” “Ok, baiklah!” Kami pun sejenak terdiam, hingga aku sadar jika mobil ini tidak membawa kami ke apartemenku. Namun kami langsung pergi menuju ke Puncak, tempat mansion Tuan Dwipa berada. “Kukira kau akan mengantarku pulang ke apartemen dulu. Ternyata langsung ke sana. Bukankah dia yang menginginkan aku banyak belajar tentang berbagai hal? Tapi kenapa dia malah memanggilku semendadak ini?” keluhku pada Mayang. “Saya kurang tau, Tuan Muda. Tapi … Tuan Dwipa akan pergi ke Rusia beberapa hari. Sepertinya Anda akan diamanahi beberapa hal oleh beliau,” papar Mayang. “Turunkan aku di sini!” “Tapi, Tuan Muda!” * Bersambung ….
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD