Suami Istri

1950 Words
"Mbak Ai kok sudah bangun jam segini?" Mbok Mina menatap istri kedua majikannya itu dengan heran. "Setiap hari saya bangun jam segini kok? Mbok lupa ya?" Aini memberikan jawaban. "Maksud saya, kok jam segini sudah keluar kamar?" Mbok Mina memperjelas pertanyaannya. "Lah, kan biasa juga seperti itu? Saya kan harus menyiapkan kebutuhannya Mbak Hana. Belum lagi sekarang nambah Mas Faiq juga," jawab Aini yang mengerutkan dahi. "Maksud saya ... Itu." Mbok Mina mengangkat kedua alisnya ke atas. "Apa mbok?" Aini menenggak air minum yang baru saja dia tuangkan. "Mm ... pengantin baru kok udah pada keluar kamar aja?" Perempuan paruh baya itu akhirnya memperjelas perkataannya, setelah pada subuh tadi dia melihat Faiq yang keluar dari kamar Aini. Namun membuat istri kedua majikannya itu terbatuk dan hampir menyemburkan air yang tengah dia minum. "Eh, maaf maaf, saya kok jadi kepo ya? Jangan dipikirkan. Tidak usah dijawab juga. Maaf." Dia menepuk punggung Aini beberapa kali untuk meredakan batuknya, kemudian tertawa. "Ai?" Suara Faiq terdengar memanggil. "Ya?" Aini berbalik dan dia masih saja terbatuk. "Sepertinya Hana mau mandi, tapi aku tidak bisa membantunya. Hari ini ada rapat dengan staf di percetakan." Faiq berdiri di ambang pintu dapur dengan kemeja biru langit dan rambut hitamnya yang sudah disisir rapi. Aini membeku demi melihat pemandangan di depan matanya. Namun dia tersadar saat sang asisten rumah tangga mereka menyenggol lengannya. "Ba-baik Mas, aku yang urus mbak Hana." Lalu dia bergegas menuju kamar kakak madunya. *** "Aku pergi ya?" Faiq telah siap dan dia bermaksud untuk berpamitan. "Iya, Mas." Farhana menjawab. "Ai, kamu antar Mas ke depan," ucapnya ketika Aini keluar dari kamar mandi setelah mempersiapkan kebutuhannya. Adik madunya itu mendongak, bersamaan dengan suaminya yang menoleh. "Ee ...." "Tidak usah, aku buru-buru." Namun Faiq menolak. "Aini?" panggil Farhana, dan dia memberi isyarat kepada madunya itu untuk mengikuti suaminya. Yang dengan berat hati dilaksanakan oleh Aini. Pria itu masuk kedalam mobilnya tanpa menoleh dan segera pergi untuk menjalani pekerjaannya yang sempat terhenti karena mengurus Farhana. Sementara Aini tertegun didepan rumah. Beberapa saat kemudian dia kembali kedalam untuk mengurus Farhana. "Apa ... Mas Faiq memperlakukanmu dengan baik?" Farhana membuka percakapan, saat Aini mulai memandikannya. "Maaf, Mbak?" Perempuan itu sedikit mencondongkan tubuhnya. "Apa Mas Faiq memperlakukanmu dengan baik?" Farhana mengulang pertanyaan. "Maksud Mbak?" "Kamu tahu apa yang aku maksud." Sia mendongak untuk menatap wajah madunya lekat-lekat. "Mm ... i-iya, Mbak. Mas Faiq memperlakukanku dengan baik." Aini sedikit terbata, dia takut salah memberikan jawaban. "Bohong." Farhana tersenyum, "Dia tidak mungkin dengan mudah memperlakukan orang lain sebaik memperlakukan aku," katanya swngan bangga. Aini menutup mulutnya rapat-rapat namun dia memutuakan untuk meneruskan pekerjaannya. "Kamu tahu, dia bukan seseorang yang bisa dengan mudah berinteraksi secara pribadi dengan orang lain. Itu sebabnya dia tak punya banyak teman, bahkan saat kuliah dia lebih banyak menghabiskan waktunya bersamaku. Selain belajar dan mengerjakan tugas tentunya. Bahkan semalam kami harus berdebat terlebih dahulu saat aku menyuruhnya untuk mendatangimu." Farhana terkekeh. "Tapi jangan khawatir, hatinya sangat lembut dan dia mudah tersentuh dengan hal-hal kecil. Seperti mengantarnya ke teras saat dia pergi bekerja, atau menyiapkan makanan untuknya. Dan itu mudah, hanya saja kita yang harus berinisiatif dengannya. Tidak seperti tadi saat kamu mengantarnya pergi, dia bahkan tidak menyadari keberadaanmu." Dia ingat setelah memperhatikan lewat jendela, apa yang terjadi di teras beberapa saat sebelumnya. Aini terdiam, dia malah menyibukan diri untuk membantu membersihkan tubuh Farhana tanpa peduli dengan apapun yang perempuan itu katakan. "Mau aku cuci rambutnya, Mbak?" Sia mengalihkan topik pembicaraan. "Boleh." Farhana menjawab. Kemudian Aini membuka gulungan rambut perempuan itu dan mengurai ikatannya. Namun dia menahan napas saat satu gulungan besar rambut dari perempuan itu terlepas dengan sendirinya. Farhana mulai mengalami kerontokan rambut, bisa jadi hal tersebut merupakan efek samping dari kemoterapi yang dijalaninya, atau karena hal lain. "Aini, kamu dengar?" Suara Farhana membuyarkan lamunannya. "Ya, Mbak?" "Kamu dengar apa yang aku katakan?" ulang perempuam itu. "Mm ... dengar, Mbak." Aini segera menyembunyikan helaian rambut tersebut untuk menghindarkan Farhana dari kesedihan yang mungkin saja akan dia rasakan. "Sudah selesai, Mbak." Aini memberi tahu begitu dirinya yakin telah membersihkan seluruh tubuh Farhana. "Baik." Lalu dia mengeringkan tubuh ringkih itu, yang terlihat hanya tinggal tulang dan kulit. Merupakan pemandangan yang cukup memilukan untuknya, walau sebagai perawat dia pernah terbiasa dengan hal tersebut. Namun pikirannya tertuju kepada Faiq. Bagaimana pria itu tidak pernah membiarkan siapapun untuk memandikan Farhana, walau ada dirinya sebagai perawat sekalipun. Tapi untuk urusan yang satu itu, dia mengerjakanya sendiri. Faiq pasti mengalami hari-hari yang berat selama ini. Megetahui istrinya mengidap penyakit yang cukup parah, dan harus berjuang mengurusnya sendirian selama beberapa tahun. Yang semakin hari semakin bertambah parah saja. "Ai?" Untuk kedua kalinya Farhana menyadarkannya dari lamunan. "I-iya, Mbak?" "Aku ... kedinginan." Farhana tampak menggigil padahal Aini memandikannya sengan air hangat. "Mm ... maaf, Mbak. Mari?" Dia memindahkannya ke kursi roda setelah mengeringkan tubuhnya dengan handuk, lalu membawanya ke tempat tidur. Membantu Farhana mengenakan pakaian, mengusapkan minyak kayu putih agar tubuhnya hangat dan mendandaninya seperti biasa. "Aku seperti bayi saja, Ai." Perempuan itu terkekeh. "Bahkan untuk mengurus diri sendiri saja aku tak bisa. Aku pasti akan merepotkanmu." "Tidak apa-apa, Mbak. Sudah tugasku." Aini merapikan rambutnya. "Nanti kamu bisa keluarkan sebagian pakaian Mas Faiq dari dalam sana." Farhana menunjuk lemari di depannya. "Iya mbak? Sekarang juga bisa. Saya nggak ada kerjaan." "Baiklah kalau kamu mau, sekarang juga bagus." Aini membuka lemari yang hampir penuh itu, yang sebagian besar isinya merupakan pakaian milik Faiq. "Mbak mau apakan pakaian-pakaian ini? Apa sudah tidak terpakai? Padahal masih bagus. Mau mbak sumbangkan?" perempuan itu bertanya. "Tidak." "Lantas?" "Bawalah ke kamarmu, dan simpan di lemarimu. Agar mas Faiq tidak terburu-buru kembali kesini untuk berganti pakaian. Dan dia bisa lebih banyak menghabiskan waktunya denganmu." Aini tertegun. "Bersabarlah terhadap Mas Faiq, dia mungkin sulit ditaklukan, tapi ... aku yakin kamu pasti bisa." "Bukankah ini aneh?" Aini terkekeh. "Apanya yang aneh?" "Mbak sebagai seorang istri, menyemangatiku yang merupakan madu agar bisa menaklukan Mas Faiq." "Ada yang salah?" "Hanya saja ini tidak biasa. Mungkin saja Mbak merupakan jenis manusia yang hanya ada satu diantara sejuta. Yang meminta suaminya untuk menikah lagi, dan mendukungnya untuk menjalankan rumah tangga secara normal." "Aku hanya berharap dengan begitu Mas Faiq akan menemukan kebahagiaan." "Dan Mbak percaya jika pernikahan kami akan membawa kebahagian?" "Kamu tidak percaya?" "Entahlah, tapi... ada satu hal." "Apa?" Farhana mendongak. "Cinta Mbak sepertinya begitu besar." Aini menatap wajah kakka madunya tersebut lekat-lekat. "Cinta?" Aini mengaggukan kepala. "Karena cinta Mbak yang begitu besar, membuat Mbak mampu merelakan orang yang paling Mbak cintai untuk memiliki kebahagiaan lain, meskipun itu tidak dengan Mbak sendiri." "Kamu pikir begitu?" "Iya." Aini mengangguk. "Aku hanya ...." "Mbak mau berjemur?" Aini kembali mengalihkan pembicaraan. "Mungkin Mbak butuh menghirup udara luar, cuacanya pagi ini sangat bagus." "Benarkah?" "Ya. Mbak tahu, matahari di saat pagi mengandung bayak vitamim untuk tubuh. Dan itu sangat bagus untuk kesehatan." "Baiklah, kamu perawatnya disini." Farhana sedikit tertawa. "Tapi sambil makan ya? Kan Mbak harus minum obat, setelah itu Mbak tidur," bujuk Aini. "Baiklah, terserah padamu." *** Faiq tiba pada malam hari dalam keadaan lelah dan berantakan. Pekerjaannya hari itu memang cukup menguras tenaga dan pikiran karena memang dalam beberapa bulan pria itu tak bisa sepenuhnya fokus pada pekerjaan disebabkan kondisi Farhana yang tak bisa dia biarkan begitu saja. Dia langsung saja menjatuhkan tubuh lelahnya diatas tempat tidur. "Mas, harusnya kamu mandi dulu, baru istirahat." Farhana mengguncangkan tubuhnya. "Sebentar Hana, aju lelah. Hari ini banyak pekerjaan terbengkalai yang harus aku selesaikan sekaligus." "Tapi Mas, sebaiknya kamu bersihkan diri dulu. Tidak baik tidur dalam keadaan kotor seperti ini," ucap Farhana lagi. "Mas ...." Faiq tiba-tiba bangkit kemudian berjalan ke arah kamar mandi. "Sebaiknya kamu mandi di tempat Aini, Mas." Farhana kembali berbicara. "Kenapa?" Faiq memutar tubuh dengan raut kesal. "Semua pakaian gantimu sudah dipindahkan kesana." "Apa?" "Pakaian gantimu sudah Aini pindahkan ke kamarnya," ulang perempuan itu. Rasa lelah hampir saja membuatnya bereaksi, namun ketika menatap wajah pucat istrinya dia menahan apapun yang hampir keluar dari mulutnya. Faiq pun mengalah, dan dia melenggang keluar menuju kamar istri mudanya. *** Aini baru saja menyelesaikan sholat isya'nya saat pintu paviliun kembali di ketuk dari luar. Perempuan itu segera berlari untuk mencari tahu siapa yang datang meskipun dirinya sudah menerkanya. Dan benar saja, wajah suaminya yang berada di sana begitu dirinya membuka pintu. "Mas sudah pulang?" Dia mengucapkan kalimat pertamanya. Faiq tak menjawab, dia menerobos masuk kedalam paviliun dan segera melesat ke kamar. "Aku mau mandi," katanya, seraya melepaskan kancing kemejanya satu persatu. "Ma-maaf, Mas?" "Aku mau mandi, apa kau tidak dengar?" ulangnya, dan dia melepaskan kemeja yang seharian ini melekat di tubuhnya, hingga hanya menyisakan kaus dalam saja. "Mm ... ke-kenapa mas mandi di sini?" Aini tergagap. Tentu saja dia merasa gugup melihat seorang pria melepaskan pakaian di hadapannya, walau dia sendiri menyadari jika itu adalah suaminya. "Kenapa katamu?" Faiq maju beberapa langkah hingga jarak mereka hanya tinggal setengah meter saja. Aini merasakan kakinya gemetar dan dia tak dapat bergerak sedikitpun. Situasi ini sungguh membingungkan baginya. "Kau yang memindahkan semua pakaianku kesini bukan? Lalu sekarang kau tanya kenapa?" "Mm ... soal itu ... Mbak Hana yang menyuruh aku memindahkannya. Tapi tidak semuanya, Mas. Ada beberapa yang aku tinggal disana." "Apa?" "Aku tidak bohong. Mbak Hana yang menyuruhku melakukannya." Aini meyakinkan. Faiq terdiam untuk beberapa saat. "Bukannya Mas mau mandi? Sebentar aku siapkan airnya, Mas bawa handuk tidak?" Perempuan itu menghambur kedalam kamar mandi dan melakukan apa yang baru saja dia ucapkan, kemudian keluar setelah menyiapkan air hangat di dalam bak mandinya. "Sudah, Mas. Silahkan kalau mas mau mandi sekarang," katanya. Kemudian Faiq menyelesaikan urusannya. *** Pria itu keluar setelah hampir tiga puluh menit, dengan bertelanjang d**a dan sehelai handuk yang melilit di pinggang. Titik-titik air masih tersisa ditubuhnya, dan itu merupakan hal tak lazim bagi Aini. Dia segera membalikkan tubuh untuk menghindarkan pandangan. "Baju?" ucap Faiq. Aini tak bersuara, namun dia menunjuk pakaian diatas tempat tidurnya yang telah dia pilihkan. Kemudian dengan cepat Faiq mengenakannya di belakang perempuan itu yang berdiri membeku. "Kenapa aku malah diam disini?" Batin Aini. Dia berniat keluar dari kamar untuk menghindar ketika tiba-tiba saja Faiq memanggilnya. "Mau kemana kamu?" tanya pria itu yang mengusak rambutnya dengan handuk. "Ke - keluar, Mas. Mau menyiapkan makan. Mas belum makan?" jawabnya tanpa menoleh sedikitpun. "Tidak usah, aku sudah makan tadi di kantor dengan karyawan," jawab Faiq dengan entengnya. "Sudah?" "Iya." Pria itu mendekat kemudian menyodorkan handuk yang dia pakai barusan. Aini sedikit melirik, lalu dia menerima benda tersebut, kemudian memberanikan diri untuk menoleh. "Aku mau langsung tidur," katanya, yang kemudian naik ke tempat tidur dan merebahkan tubuhnya disana. "Sepertinya Hana sedang tidak mau aku temani tidur, jadinya dia mencari cara untuk membuatku keluar dari kamar," lanjutnya, dan dia menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. "Seperti katamu, aku akan tidur disini untuk membuat pikirannya tenang." "I-iya, Mas." Aini menganggukan kepala. "Ayolah, kita tidur?" Pria itu menepuk sisi kosong disampingnya. Aini merasakan lututnya bergetar, mendengar kalimat itu seperti dirinya menemukan hal paling menakutkan di dunia. "Jangan takut begitu, kita kan sudah suami istri?" "Suami istri?" Faiq menatapnya dalam diam. Sebenarnya dia ingin tertawa, melihat tingkah perempuan di depannya ini sungguh lucu. Aini seperti anak perawan yang terjebak dengan p****************g yang akan merenggut kesuciannya, padahal dia sudah pernah menikah sebelumnya. Tapi sepertinya, pernikahan itu menyisakan trauma mendalam baginya. Mungkin itu yang menjadi penyebab istri mudanya tersebut bersikap demikian? "Kemarilah, kita tidur." Faiq kembali menepuk sisi kosong di sampingnya. "A-aku hanya ...." "Aku tidur di sini, dan kamu disana. Kita akan tidur seperti semalam. Kamu tahu, aku tidak akan melakukan apapun kepadamu. Setidaknya, tidak sekarang." ucap Faiq, dan kini sapaanya pada istri barunya itu pun berubah. Namun Aini masih tertegun di tempatnya berdiri. "Ck!! Terserahlah, aku lelah dan ingin tidur." Pria itu menarik selimut hingga menutupi hampir seluruh tubuhnya. Dan dia segera memejamkan mata untuk mengistirahatkan tubuh dan pikirannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD