Faiq berlari menyusuri selasar rumah sakit begitu dia menerima kabar tentang menurunnya kondisi Farhana. Dengan perasaan cemas dan ketakutan pria itu melesat melewati beberapa ruang perawatan.
"Apa yang terjadi?" Dia hampir berteriak begitu melihat Aini duduk di depan ruang pemeriksaan. Bersamaan dengan itu muncul pula dokter yang telah selesai melakukan pekerjaannya.
"Kondisinya menurun dan dia mengalami depresi. Sesuatu membuatnya berpikir terlalu keras dan itu yang menyebabkan Farhana mengalami kondisi dimana dia tidak bisa menerima pengobatan dengan baik. Tubuhnya kembali menolak apapun jenis obat yang kami berikan," jelas sang dokter.
Faiq merasakan dirinya bagai terjun ke jurang tanpa akhir, sebab dia tahu apa yang menyebabkan istrinya mengalami hal demikian. Emosinya yang tak stabil ditambah pertengkaran dengannya tadi pagi memperburuk keadaannya.
Pria itu menyapu wajahnya perlahan, dengan napas yang berhembus berat.
"Jika terus seperti ini, kami tidak bisa menjamin dia akan membaik, sebab apapun yang dilakukan akan sia-sia mengingat keadaan psikisnya yang terus menurun, dan itu yang memiliki pengaruh terbesar pada tubuhnya. Dia menolak pengobatan, dan itu berarti tubuhnya menolak untuk sembuh," lanjut dokter.
Faiq tak ingin mengucapkan sepatah katapun, pandangannya terus tertuju kedalam ruangan dimana perempuan itu terbaring lemah tak berdaya, dengan slang infus dan alat bantu pernapasan menempel di tubuhnya.
Dia meninggalkan dokter untuk menghampiri istrinya, dengan perasaan berkecamuk dan pikirannya yang kalut.
Perempuan itu, yang mendampinginya sejak dia berjuang di bangku kuliah. Mendukungnya melakukan apapun yang dia impikan. Menemaninya melalui segala hal baik dalam kesulitan maupun kelapangan.
Perempuan itu yang menaruh kepercayaan pada kemampuannya, disaat semua orang tidak meyakininya. Bahkan ketika dirinya berniat kembali kuliah untuk mengambil gelar yang lebih tinggi, Farhana lah yang dengan keras mendukungnya untuk mendapatkan beasiswa, dan mereka berhasil hingga sejauh ini.
"Keluarlah Aini, aku akan menungguinya disini. Kau boleh pergi," ucapnya tanpa menoleh pada perawatnya.
"Pak?"
"Tidak apa-apa. Aku tidak akan melakukan hal buruk padanya. Aku hanya akan diam disini menungguinya." Faiq berhenti saat jaraknya hanya setengah meter dari tempat tidur dimana Farhana berbaring.
"Baiklah, saya ada diluar kalau-kalau bapak membutuhkan sesuatu." Perempuan itu bangkit lalu segera menghambur keluar dari ruangan tersebut.
Faiq duduk di tepi ranjang, dan dia terus menatap wajah milik Farhana yang semakin hari terlihat semakin pucat saja.
"Apa sebenarnya maumu Hana? Kenapa kamu malah menyiksa diri seperti ini? Ataukah kamu sudah tidak ingin berjuang denganku?" Dia berbicara seolah perempuan di depannya dapat mendengar ucapannya.
"Apa yang harus aku lakukan untuk membuatmu kembali memiliki semangat seperti dulu? Apa Hana?"
"Jangan katakan jika waktunya sudah dekat, karena aku belum siap. Masih banyak yang ingin aku lalui denganmu, dan waktuku tidak cukup. Aku mohon ...." Pria itu merunduk dan menempelkan keningnya pada bahu Farhana.
"Aku mohon ... apa yang harus aku lakukan?" bisiknya lirih.
"Aku ... hanya ingin kamu menikah lagi." Perempuan itu bersuara, dengan nada pelan namun mengoyak hati nurani Faiq sebagai seorang suami.
Pria itu membeku, tak mampu lagi mengucapkan kata-kata.
"Kamu sendiri tahu, waktuku tidak banyak. Bisa jadi hanya satu tahun, beberapa bulan, atau mungkin ...."
Faiq menggelengkan kepala.
"Setidaknya aku bisa pergi dengan tenang, mengetahui kamu akan aku tinggal dengan seseorang yang akan mengurusmu. Aku tidak akan merasa khawatir."
"Akalku tidak mampu menerima keinginanmu. Logika ku tidak mampu mencernanya. Bagaimana seorang perempuan dengan ringannya menyuruh suaminya untuk menikah lagi? Sedangkan dia sedang dalam masa kritis, dan lebih membutuhkan kehadiran suaminya dari pada ...."
Farhana menyentuh lengan suaminya dengan lembut.
"Aku tidak ingin pergi dalam keadaan kamu yang sendirian, setidaknya aku tahu kamu akan baik-baik saja."
"Aku baik-baik saja, dan kita baik-baik saja. Lagipula, memangnya siapa yang mengatakan jika kamu akan pergi? Aini? Apa saja yang dia katakan kepadamu?" Faiq mencondongkan tubuhnya.
"Kamu tahu, kamu akan sembuh. Aku akan melakukan segala cara agar kamu sembuh, kamu tidak akan pergi secepat itu, dan aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi sekarang. Tidak akan Hana!"
Perempuan itu menggelengkan kepala.
"Semua orang tahu, dan kita berdua juga tahu. Aku tidak akan selamat dalam hal ini bukan? Masalahnya hanyalah waktu."
"Hana ...."
"Jadi, sebelum aku mati aku ingin melihatmu bahagia bersama orang lain."
"Bagaimana aku bisa bahagia bersama orang lain sedangkan istriku dalam keadaan tak berdaya seperti ini? Katakan bagaimana bisa aku akan merasa bahagia sementara kamu ...."
"Aku bahagia jika melihatmu bahagia."
"Hana, aku mohon."
"Menikahlah Mas, agar ada yang mendampingimu saat aku pergi nanti." Perempuan itu kemudian menyentuh wajah Faiq hingga beberap saat.
"Aku bahkan tidak tahu apa yang akan aku lakukan setelah ini."
"Menikahlah ... dengan Aini," ucap Farhana, masih dengan kalimat yang sama.
Faiq bangkit dari posisinya dengan raut gusar.
"Kenapa Aini? Kenapa harus dia? Kita bahkan baru saja mengenalnya bulan-bulan belakangan. Apa dia mengatakan sesuatu kepadamu?" Pria itu mulai meracau.
Farhana menggelengkan kepalanya, namun sebuah senyuman terbit di sudut bibir pucat istrinya.
"Bagimana jika dia bukan orang baik-baik? Bagaimana jika dia punya niat jahat? Bagaimana jika ...."
"Mas ... " Farhana memotong perkataan suaminya saat menyadari perempuan yang mereka maksud muncul diambang pintu.
Faiq menutup mulutnya rapat-rapat dan dia tak berniat menoleh sedikitpun. Rasa marah menguar begitu saja hanya dengan melihat bayangan Aini walau hanya sekilas saja.
"Ma-maaf, dokter menyuruh saya mengantarkan ini." Dia membawa sebuah nampan kecil berisi obat beserta air minumnya.
Lalu perempuan itu berjalan masuk, dan dia berhenti tepat di dekat pasangan yang masih saja memperdebatkan masalah yang sama, yang akhir-akhir ini didengarnya tanpa sengaja.
"Dan maaf Pak, Bu ... saya sekalian mau pamit. Saya mau mengundurkan diri sebagai perawat Ibu. Mulai sekarang saya akan berhenti, maaf." ucap perempuan itu yang hampir meletakan nampan ditangannya.
"Aini, apa kamu tidak mau membantu perempuan sekarat ini?" Farhana dengan mata sayunya yang berkaca-kaca.
"Ini bukan soal memberikan bantuan, Bu tapi ...."
"Mungkin waktuku hanya tinggal sedikit, tapi aku ingin melihat suamiku memiliki pendamping sebelum aku pergi. Dan aku akan bahagia jika kamu yang ada di tempat itu."
Aini menggelengkan kepala, tentu saja diapun tak akan menerima alasan tersebut. Karena dirinya pernah berada di posisi sebagai seorang istri yang tersisihkan karena suatu alasan. Yang kini diketahui bahwasannya alasan itu adalah kehadiran perempuan lain dihati suaminya. Dan dia tahu rasanya, sakitnya, perihnya, dan betapa merana dirinya.
Namun dia tak mampu mengerti jika Farhana malah memiliki pemikiran yang berbanding terbalik. Perempuan itu malah bersikeras ingin menikahkan suaminya dengan wanita lain, seperti yang Faiq katakan bahwa mereka bahkan baru saja saling megenal beberapa bulan terakhir.
"Saya... Tidak bisa bu."
"Aku mohon, kebahagianku adalah melihat suamiku bahagia. Meski itu dengan orang lain."
"Tapi bukan saya."
"Aini ...."
"Hana?" Faiq tiba-tiba saja memegangi bahu istrinya, dan dia menatap wajah perempuan itu lekat-lekat.
"Benarkah dengan menikahinya kamu akan bahagia?" katanya dengan suara bergetar.
Farhana menganggukan kepala pelan-pelan.
"Kamu ... yakin?" katanya lagi dengan napas yang menderu-deru dan dadanya yang naik turun dengan cepat. Dia merasa marah sekaligus putus asa.
Farhana pun mengangguk lagi.
"Baiklah jika begitu ...." Faiq kemudian memalingkan wajahnya ke arah sang perawat yang membeku di dekat mereka.
"Aini ... nenikahlah denganku. Karena dengan begitu, Farhana akan merasa bahagia. Bantulah aku membahagiakannya hingga dia merasa menjadi wanita paling bahagia di dunia," ucap Faiq dengan berlinang air mata.
Tanpa sadar Aini melepaskan nampan ditangannya hingga jatuh ke lantai dan isinya berserakan di dekat kakinya.
Kalau sudah begini, apa yang akan dia lakukan?