Jena berjongkok mengambil selimut neneknya yang terjatuh itu. Namun gadis itu kini teralihkan oleh suatu benda yang ikut jatuh bersamaan dengan selimut itu. Bentuknya seperti kertas, namun saat Jena mengambil selimut yang sedikit menutupi benda itu, ia bisa melihat bahwa benda itu adalah selembar foto.
Jena mengambil foto itu. Foto yang sudah usang karena termakan zaman. Jena melihat foto itu dengan jelas lagi.
"Nenek selalu mandangin foto ini." Jena terkekeh ikut memandang sosok di dalam foto itu. Yang Jena tahu, adalah kakak dari neneknya itu.
Namun seiring senyuman Jena, sudut bibirnya mulai memudar begitu menyadari sesuatu. Selama ini ia sering memandangi foto itu, namun ia baru sadar kali ini. Sosok di dalam foto itu adalah sosok yang sama dengan yang ia lihat di sekolahnya. Sosok itu, adalah Jun dengan mengenakan pakaian dari masa lalu.
Mata Jena membelalak lebar.
Jun yang ia lihat hari itu ... kini tampak nyata dalam foto itu. Bagaimana bisa Jun ada di dalam foto yang usianya sudah berpuluhan tahun itu.
"Jun?" Jena masih terperangah memandang foto itu. Kini ia menatap Neneknya dan foto bergantian.
Yang paling mencengangkan dan membuatnya terkejut saat ini adalah ... mengapa bisa neneknya memiliki foto itu?
"Nek? Ini siapa, Nek?"
Jena kini bangkit dari jongkoknya. Tidak mengambil selimut yang jatuh, malah kini fokusnya tertuju pada foto yang ia pegang itu. Ia mendekati neneknya yang juga masih menatapnya itu.
Mendapat pertanyaan seperti itu, Neneknya hanya diam memandangi Jena. Membuat Jena kini bertambah tak sabar.
"Nek, dia siapa? Kenapa wajahnya mirip sekali dengan Jun?" tanya Jena dengan nada menuntut.
Ia menunjukkan foto itu tepat ke hadapan wajah Neneknya.
Neneknya kini tampak ketakutan melihat mata Jena yang melebar. Hanya gumaman tidak jelas yang dapat dilontarkan dari bibirnya.
"Andjani ..."
Kini Nenek Jena itu mulai mengangkat tangannya mencoba meraih foto itu dari tangan Jena.
Jena masih bersikeras menuntut neneknya berbicara yang sebenarnya. Meskipun gadis itu tahu bahwa sulit sekali mendapatkan jawaban dari neneknya itu.
"Nek, jawab Jena! Dia siapa, Nek?" tanya Jena dengan nada yang terdengar membentak.
"Andjani ..." Neneknya kini sudah kelelahan dan tak berusaha merebut kembali foto itu. Yang ada malah tangannya yang berusaha menutupi kedua telinganya rapat-rapat.
Kemudian mulai terisak pelan.
"Andjani ..." racau Sang Nenek lagi.
Jena makin mendekati Neneknya. Ia tidak sabar menunggu neneknya itu. Ia kini sudah menyentuh kedua bahu Sang Nenek, dan sedikit meremasnya. Matanya masih melebar, menuntut jawaban.
"Nek, tolong jawab Jena, kenapa Jun ada di dalam foto itu? Dan siapa sih sebenarnya dia?!" tanya Jena lagi. Lalu ia makin tak sabar melihat neneknya kini malah menangis tak karuan.
"Nenek!" bentak Jena begitu saja.
Ia akhirnya sudah kehabisan kesabarannya. Gadis itu ikut frustrasi saat melihat neneknya menangis kian keras, bahkan menjerit-jerit tak karuan.
"Jena!"
Teriakan di ambang pintu kamar neneknya membuat Jena menoleh.
Mamanya datang dengan tergopoh dari sana, dan langsung mendekati Jena.
"Kamu apain Nenek kamu?!"
Marlina mendelik menepuk lengan Jena dengan sedikit dorongan. Kemudian ia segera berangsur memeluk Nawang yang masih menangis kencang itu.
"Cup ... cup ... Bu, udah jangan menangis lagi. Ini ada Marlina."
Mama Jena itu masih menenangkan ibunya sembari mengelus punggungnya. Kemudian ia segera menatap Jena yang berdiri di samping ranjang dengan pandangan kosong.
"Jena, kamu tahu 'kan kalau nenek kamu ini sakit? Kamu jangan bikin dia makin trauma," jelas Marlina sembari menatap Jena.
Sedangkan anak gadisnya itu kini malah terdiam. Marlina melihat ada sebuah foto di tangan Jena yang tampak terlipat.
"Ma ..."
Kini Jena mulai sadar, dan kembali menatap Mamanya. Sedari tadi ia terguncang, dengan kenyataan aneh yang baru disadarinya.
"Ini Jun, Ma ...," lirih Jena menatap nanar Mamanya itu. Ia menunjukkan foto yang ia genggam itu ke hadapan mamanya.
"Dia ada di dalam foto ini," sambung Jena lagi dengan nada lirih. Gadis itu tampak linglung dan tak bertenaga.
Marlina menatap putrinya itu dengan bingung. "Maksud kamu?" Ia melihat foto yang ditunjukkan Jena itu.
Kemudian matanya memandang sosok dalam foto itu, yang bahkan tak ia kenal itu. Yang Marlina tahu, sosok itu adalah Kakak dari ibunya.
"Itu kakaknya Nenek kamu. Kenapa memangnya?"
Jena mengerti akan hal itu. Bahkan ia tahu kalau sosok itu adalah kakak dari Neneknya. Namun yang ia tidak mengerti adalah mengapa bisa wajahnya sama persis dengan wajah Jun?
Kalau hanya mirip saja, ia tidak yakin.
"Ini Jun, Ma. Jena lihat dia hari itu." Jena menatap Mamanya dengan raut nanar.
Mamanya itu malah menggelengkan kepalanya berulang kali. "Kamu jangan mengada-ada, Jena. Lebih baik kamu kembali ke kamar sekarang." Marlina meninggikan nada suaranya.
"Tidur, udah malam," putusnya.
Berikutnya, Marlina segera memunggungi Jena yang masih mematung itu. Marlina masih berusaha menenangkan ibunya itu, dan kembali memeluknya. Ia mengabaikan Jena. Membuat Jena merasa sangat menyedihkan dengan berbagai perasaannya yang berkecamuk di d**a.
Jena ke luar kamar Neneknya dengan tangannya yang masih menggenggam foto itu. Ia tutup pintu kamar neneknya itu perlahan, kemudian bersandar di belakang pintunya.
Jena sekali lagi memandangi foto itu. Lalu dua kali lagi memandangi foto itu, namun tetap saja tak bisa mencerna apa yang kini terjadi.
Neneknya dan Jun, juga sosok dalam foto itu ... sebenarnya apa hubungan ketiganya?
Mengapa semuanya kini makin rumit?
***
Jena mengaduk jus mangganya dengan tak berselera. Di depannya, Jun dan Rehan tengah mengobrolkan banyak hal yang tak ia mengerti tentang OSIS atau hal cowok lainnya dan tak ingin ia dengarkan. Bahkan sejak tadi Karina dan Fina di samping kanannya itu terus bercanda gurau, bagai tidak menganggap keberadaan Jena di sana. Namun Jena tidak merisaukan hal itu, ia merisaukan hal lain. Tentang kejadian semalam. Tentang Neneknya dan Jun.
Jena menatap Jun yang tengah menyantap baksonya. Diam-diam gadis itu memperhatikan wajah Jun dengan seksama. Mulai dari mata cowok itu yang bulat, hidungnya yang bangir, serta jatuh ke bibir Jun yang merah muda. Tipikal cowok ganteng yang sering dibicarakan seisi sekolah.
Jena membandingkan wajah Jun itu dengan wajah sosok yang terakhir kali ia lihat hari itu yang juga ada dalam foto dari neneknya. Dan sejauh apapun Jena mengingatnya, sosok yang hari itu dilihatnya memanglah berwajah sangat mirip dengan Jun. Bagai pinang dibelah dua. Benar-benar seperti saudara kembar.
Namun bagaimana bisa dua orang dari jarak waktu tahun yang berbeda memiliki wajah yang sama?
Aneh. Dan sepusing apapun Jena memikirkannya, hal ini benar-benar sulit ia mengerti. Sangat tidak masuk akal.
"Kenapa lo ngelihatin gue dari tadi?"
Jena tersentak. Lamunannya buyar. Gadis itu mengerjap kemudian menoleh ke depannya dan samping kanannya, dan langsung bertatapan dengan keempat orang di meja itu. Terutama ketika ia menatap Jun, orang yang menangkap basah dirinya.
Jena bahkan tidak sadar bahwa sejak tadi ia ketahuan sudah memandangi Jun dalam waktu yang cukup lama. Gadis itu merutuki dirinya dalam hati.
"Hah?" Jena kini menunduk. Lalu menyedot jus mangganya. "Enggak," sambungnya dengan nada datar. Gadis itu segera mengalihkan tatapannya.
Jun tak mau begitu saja menerima jawaban itu dari Jena. "Kenapa, Jen? Ada yang pengen lo omongin sama gue?" tanya cowok itu lagi. Ia mengangkat alisnya bingung.
Jena kini berusaha mengangkat kepalanya. Ia mencoba menatap Jun dan memikirkan apakah ia harus menceritakan semuanya pada cowok itu. Kemudian ia menatap Fina, Karina, dan juga Rehan yang masih menanti jawabannya.
"Kalian pernah ngelihat orang yang wajahnya sama?" Jena mengernyit sendiri mendengar kalimat tanya yang ia lontarkan. Terdengar aneh.
Jujur ia pun bingung bagaimana menjelaskan kejadian ini pada semua sahabatnya itu.
Fina yang masih mengunyah siomaynya menyahut, "Maksud lo orang kembar?"
Jena mengangguk antusias. "Iya. Kek orang kembar. Tapi yang satunya itu dari masa lalu. Pakaiannya pun dari masa lalu. Pakai baju batik tradisional gitu." Jena menggebu menjelaskan. Ia menatap keempat sahabatnya itu. Namun masing-masing memberi respon berbeda.
"Maksud lo, kembar tapi beda zaman?" Rehan menanggapi. Cowok itu menyangga dagunya menatap Jena.
Jena kembali mengangguk. "Iya. Jadi gue ngelihat orang ini mempunyai wajah yang sama tapi dalam pakaian yang berbeda, satunya dari masa sekarang, tapi yang satunya itu kek dari zaman dulu, dia pakai baju batik orang jadul pokoknya. Menurut kalian itu gimana?" Gadis itu kembali menjelaskan dengan antusias. Ia menatap semua orang di meja itu.
Hening. Tidak ada yang menyahut. Keempatnya saling bertatapan. Lalu detik berikutnya, mereka tertawa bersamaan.
Hal itu membuat Jena mengerjap. Ia baru saja ditertawai oleh semua sahabatnya?
"Kok kalian ketawa?" tanya Jena dengan raut wajah bingung. Ia menyenggol lengan Fina lalu menyuruhnya berhenti tertawa.
"Gue beneran. Gak lagi bercanda." Jena pada akhirnya geram.
Jun menghentikan tawanya. "Lo abis nonton drama makanya halusinasi gitu?"
"Iya, Jen. Lo yakin gak lagi halusinasi?" Karina menyahut setelah meredakan tawanya. Gadis itu menyetujui pendapat Jun.
Jena kini hanya diam. Berikutnya ia menggelengkan kepalanya dan mengalihkan tatapannya. Percuma saja mengatakan hal itu pada mereka, toh mereka tidak akan percaya padanya.
"Udah, lupain aja," ketusnya kemudian menyedot kembali jus mangganya. Ia tidak menghiraukan lagi tawa mereka semua di depannya.
Memang ucapannya sangat tidak masuk akal bagi siapapun sekarang. Namun memang begitu kenyataannya. Dan dari semua orang yang ada di meja itu, setidaknya ia berharap ada satu saja yang mempercayainya.
Dan ia harap orang itu adalah Jun.
***