Jena masih menatap punggung Bayu yang perlahan melangkah menjauh menuju motornya, ketika mendengar suara jeritan dari dalam rumahnya. Jeritan yang sangat familiar di telinganya itu, membuat Jena terperanjat. Ia sempat melihat Bayu membalik badannya dan menengok ke arah rumah Jena, sebelumnya akhirnya pergi meninggalkan pekarangan rumah dengan mengendarai motornya.
Buru-buru Jena masuk ke dalam rumahnya. Langkah berjalan cepat, hampir berlari mendekati sebuah kamar di dekat ruang tamu itu. Kamar milik Neneknya itu.
Jena berpapasan dengan mamanya begitu ia menginjak ambang pintu kamar neneknya. Jena mengedik bahu sedangkan Marlina menggelengkan kepalanya, mereka sama-sama tak tahu apa yang terjadi pada Nawang, Nenek Jena itu.
"Aaaa!!"
Begitu Jena dan Marlina memasuki kamar milik Nawang, wanita tua itu masih menutup matanya dan menarik rambutnya kuat-kuat. Terlihat sangat ketakutan. Nenek Jena itu kembali kambuh, tanpa alasan yang jelas.
"Ibu!"
"Nenek!"
Kedua ibu dan anak itu tergopoh menghampiri Nawang yang masih tampak ketakutan itu. Lalu segera berlari menghampiri Nenek Jena itu yang duduk di atas ranjangnya menghadap jendela itu.
"Ibu, tenang, Bu." Marlina segera berangsur memeluk ibunya. Menenangkannya ke dalam pelukannya. Ia dekap dengan erat ibunya itu, segera dielus punggung ibunya itu berulang kali.
Jena pun melakukan hal yang sama. Berusaha menenangkan Neneknya itu. Meskipun terakhir kali ia lah penyebab Neneknya itu menangis dan menjerit tak karuan seperti ini, namun kali ini Jena tak akan membiarkan neneknya itu menangis seperti hari itu lagi. Gadis itu sangat merasa kasihan pada Neneknya. Menanggung trauma yang sangat besar dalam sepanjang usianya sendirian. Pasti sangat menyakitkan.
Andai Jena bisa sedikit saja membantu meringankan rasa trauma itu dari ingatan Neneknya.
"Nek, tenang, Nek. Di sini udah ada Jena sama Mama," ucap Jena berusaha menenangkan neneknya. Ia jadi merasa bersalah sekarang karena terakhir kali membuat neneknya jadi seperti ini.
Jena merasa seperti cucu yang durhaka pada Neneknya.
Marlina masih berusaha menenangkan ibunya. Kembali tangannya mengelus punggung wanita yang telah melahirkannya itu. Selanjutnya, setelah dirasa tangisan ibunya itu mereda, ia segera menatap Jena yang kini berjongkok di bawah.
"Jena, tolong kamu ambilin minum buat Nenek kamu." Ia memerintahkan Jena.
Jena segera mengangguk. Dengan segera menuju luar kamar neneknya, mengambil gelas dan menuang air hangat untuk neneknya. Setelah itu, dengan cepat ia membalik badannya dan kembali menuju kamar neneknya.
Langkah Jena hampir mendekat ke arah ambang pintu kamar neneknya, hingga ia mendengar sesuatu yang diucapkan neneknya pada mamanya. Tentang hal yang sangat mustahil ia percaya.
"Lelaki itu hidup lagi. Aku takut. Dia akan membunuh mereka lagi."
Kalimat itu terdengar jelas di telinga Jena. Neneknya baru saja menyebut tentang 'Hidup Kembali' dan 'Membunuh'? Apa maksudnya?
Omong-omong, siapa sosok yang neneknya maksud itu hidup kembali?
"Siapa, Bu? Siapa yang hidup kembali?" Marlina bertanya pertanyaan yang Jena pikirkan sedari tadi.
Neneknya masih menangis. Karena tangisnya kian kencang, Marlina tak tega untuk bertanya lebih lanjut. Bahkan ia pun tak tega melihat tubuh ibunya yang sudah renta itu harus menangis terus menerus. Sesungguhnya menangis pun memerlukan tenaga.
"Tenang, Bu. Iya, Marlina gak akan tanya apa-apa lagi," putus Marlina. Tentu saja ia tak akan membuat trauma ibunya kian menjadi-jadi.
Kini ia putuskan hanya diam, dan hanya memeluk Ibunya itu. Sekali lagi tak tega melihat kondisi ibunya itu.
Di sisi lain, Jena masih terdiam di ambang pintu, belum berani melangkah masuk ke dalam kamar neneknya itu. Bahkan belum berani menyimpulkan apapun dari yang ia dengar itu.
Apapun itu, Jena harap, yang dimaksud neneknya itu bukanlah suatu yang buruk tentangnya.
Kini ia dilanda rasa penasarannya. Siapa gerangan sosok yang dimaksud oleh neneknya itu?
Dan ... mengapa mendadak perasaannya jadi tak enak?
***
Jun berjalan pelan menuju kamar ibunya. Cowok itu berjinjit, agar tak menimbulkan bunyi dari langkah kakinya. Ia sengaja ingin mengejutkan ibunya kali ini. Iseng, dan ia memang selalu iseng pada siapapun yang dikenalnya.
Kini tangan cowok itu perlahan memegang gagang pintu kamar ibunya, kemudian memutarnya pelan. Cowok itu mendorong pintu di depannya, sangat pelan, hingga mungkin ibunya tak akan menyadarinya. Namun alangkah terkejutnya Jun ketika membuka pintu kamar ibunya itu, sang ibu tak berada di sana.
"Eh, Ibu di mana?"
Cowok itu menggaruk pelipisnya sendiri.
"DOR!"
Baru saja Jun hendak membalik badannya, sebuah tangan menepuk bahunya dan mengejutkannya.
Sontak cowok itu melebarkan matanya yang sudah bulat itu.
"Ibu?!" Ia mengelus dadanya sendiri yang mendadak berdegup sangat cepat.
"Ngagetin Jun aja." Cowok yang pagi ini mengenakan kaos over size berwarna hijau itu memejamkan matanya sejenak dan menetralkan degup jantungnya.
Utami, Ibu Jun itu tertawa lebar. Bahkan hampir menitikan airmatanya saking terhiburnya.
"Aduh, Jun ... kamu bikin Ibu ngakak. Ekspresi kagetmu lucu sekali." Utami masih tertawa di sela ucapannya. Kemudian setelah meredakan tawanya, wanita itu menepuk lengan Jun.
"Lagian kamu yang tadinya mau ngagetin Ibu, 'kan?" sambungnya dengan nada menuduh. Ia sengaja membuat putranya itu merasa tertuduh, ia memang senang mem-bully anaknya sendiri itu.
Jun mencebik bibirnya. "Ibu, nih ..."
Cowok itu pura-pura marah pada Ibunya itu. Namun tak bisa lama, karena setelah itu, ia segera mengubah ekspresi wajahnya.
"Bu, Jun laper."
***
Hari minggu biasanya akan Jun habiskan dengan bersantai-santai di rumah, atau dengan tidur seharian tanpa melakukan apapun. Sedangkan kakak perempuannya sudah berangkat untuk mengajar les privat demi mencari tambahan uang.
Setelah Ayahnya meninggal dunia, yang menjadi tulang punggung keluarga adalah Ibunya. Ibunya bekerja di toko roti milik keluarga Jena. Kakak perempuan Jun juga bekerja setelah lulus dari SMA, lalu uang gajinya disisihkan untuk biaya melanjutkan kuliah. Maka dari itu, Jun sangat menyayangi kedua wanita dalam keluarganya itu.
Jun menyangga dagunya dengan tangannya. Kemudian cowok itu menatap punggung ibunya itu dengan seksama. Punggung wanita yang telah melahirkannya tujuh belas tahun lalu itu masih tegap, tak membungkuk dimakan usianya. Ibunya itu masih cantik, bahkan jika ia melihat dari sisi belakang. Hal itu adalah yang sangat disyukuri Jun.
Utami mematikan kompornya, kemudian membawa dua buah piring berisi nasi goreng di tangannya. Dengan segera ia melangkah mendekati putra bontotnya itu dan meletakkan piring itu ke atas meja.
"Makanan datang ...," ucap Utami dengan nada bercanda.
Jun terkekeh kecil. Kemudian menatap hasil karya ibunya itu yang tampak sangat lezat. "Wah, Ibu memang yang terbaik!" serunya girang. Cowok itu tersenyum lebar. Lalu tanpa menunggu lama lagi, dengan segera ia santap nasi goreng buatan Ibunya di hadapannya itu.
Utami tersenyum lebar memandang putranya itu yang kini lahap menyantap nasi goreng buatannya. Melihat Jun yang sangat lahap itu, rasanya membuatnya kenyang seketika tanpa perlu memakan nasi gorengnya. Bahkan setiap kelakuan putranya yang sering iseng padanya itu setiap hari selalu membuatnya tertawa. Jadi, jika Jun mendadak murung, maka ia akan langsung mengetahui hal itu.
"Ibu lihat, kamu hari ini seneng banget. Ada apa? Apa karena kamu sudah baikan sama Jena?" Utami bertanya pada putranya itu dengan nada penasaran. Ia tersenyum dengan mata menyelidik. Memperhatikan ekspresi wajah Jun.
Jun yang masih mengunyah itu tak terbatuk, melainkan ia makin mengunyah makanannya dengan pelan.
"Udah," ucapnya sembari tersenyum. "Jun dan Jena udah baikan," sambungnya diiringi senyum yang makin lebar.
Utami ikut tersenyum lebar. "Nah, 'kan. Sudah Ibu duga pasti kamu sudah baikan sama Jena makanya hari ini jadi senang banget." Ia terkekeh.
"Bagus seperti itu. Artinya kalian berdua masih memiliki ikatan persahabatan yang kuat," sambung Ibu Jun itu. Kini ia mulai ikut menyantap nasi goreng buatannya itu.
Jun tersenyum lagi. Ia menelan makanannya sebelum kembali berkata, "Makasih, ya, Bu. Semua ini berkat saran Ibu."
Mendengar hal itu, Utami tersenyum. Ia mengangguk seraya berucap, "Sama-sama, Nak. Jangan pernah musuhan lagi dengan Jena."
"Siap!"
***