23- Tatapan Dingin di Pintu Bakery

1048 Words
Jena pulang ke rumah tanpa Jun yang biasanya bersama dengannya. Gadis itu masih marah pada Jun, sebab cowok itu tidak mempercayainya. Sangat marah malah. Jena membanting tasnya ke atas ranjangnya, kemudian merebahkan dirinya dengan keras ke atas kasurnya. Gadis itu bahkan belum melepas seragam OSIS-nya, namun sudah bertelentang di atas kasur. Sebelah lengannya terangkat, ia menutupi kedua matanya. Jena menangis dalam diam. Ia menangis setiap kali sehabis bertengkar dengan Jun. Ia menangis karena sudah bertingkah kekanakkan di depan cowok itu. Dan ia menangis, karena Jun tidak memercayai semua ucapannya di saat hanya cowok itu yang Jena punya sekarang. "Jahat ..." Jena masih menangis sesenggukkan. Tangannya kini mulai menepis airmata yang jatuh ke dua belah pipinya itu. Gadis itu tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihannya. Jena kini bangkit dari tidurannya, dan terduduk di atas kasurnya. Mata gadis itu mengedar. Ia memikirkan sesuatu sekarang. Kali ini, Jena harus memberikan foto itu pada Jun agar cowok itu dapat memercayainya. Ia tidak akan menyerah sampai Jun percaya padanya. Jena bangkit dari duduknya, ia mulai melangkah menuju nakas di dekat ranjang. Gadis itu hendak mencari keberadaan foto itu. Foto yang terdapat sosok yang sangat mirip dengan Jun itu. Jena mulai menarik satu per satu laci nakasnya demi menemukan foto tersebut, namun ia tak dapat menemukannya. Foto itu semalam entah ia letakkan di mana, karena semalam pikirannya sangat kalut. Sehingga ia hanya sembarangan meletakkan foto itu. Tak menyangka akan seperti ini jadinya karena ulahnya sendiri yang ceroboh. "Duh, mana sih foto itu?!" Jena geram karena tak kunjung menemukan foto usang itu. Ia sudah membuka satu per satu laci nakasnya, bahkan sampai mengobrak-abrik isinya, namun foto itu tak jua ditemukan. Akhirnya Jena menyerah. Gadis itu melangkah menuju tasnya di atas ranjang, dan mencari foto itu di tasnya. Mungkin saja terbawa olehnya sampai ke sekolah. Ia mencari dalam tasnya itu, membuka sleting tasnya satu per satu. Namun tetap saja foto itu tak ia temukan. Di manakah gerangan foto itu ia letakkan? Jena terus berpikir tentang siapa yang kemungkinan mengambil foto tersebut. Bisa saja Mamanya, atau neneknya. Namun tidak mungkin neneknya, 'kan? "Apa jangan-jangan?!" Jena segera melangkah pergi meninggalkan kamarnya untuk menuju suatu tempat yang ia pikirkan. Pasti mamanya yang telah mengambil foto tersebut. Iya, Jena yakin. *** Jena mendorong pintu Bakery di depannya. Bunyi lonceng langsung terdengar memenuhi Bakery begitu pintu itu bergetar. Jena mengedarkan tatapannya ke penjuru Bakery milik mamanya itu. Ia mencari keberadaan mamanya sekarang. Gadis berambut panjang itu berjalan memasuki Bakery, kemudian segera menuju tempat yang ia yakini bahwa mamanya ada di sana. Mamanya pasti saat ini ada di ruangan miliknya, tepatnya ruang kecil di dekat meja kasir. Jena berpapasan dengan ibu Jun namun ia tak sempat menyapa wanita itu. Jena langsung saja masuk ke dalam ruangan milik mamanya itu setelah mendorong pintunya. "Jena?" Marlina terkejut mendapati anak gadisnya itu masuk begitu saja ke dalam ruangannya. Apalagi anak semata wayangnya itu masih mengenakan seragam OSIS-nya yang sudah tampak kusut itu. "Kamu ngapain di sini, Sayang?" Meskipun terkejut, namun Marlina masih menanyakan apa maksud Jena mendatanginya sekarang. "Mama lihat foto itu?" tanya Jena to the point. Tanpa berbasa-basi, Jena langsung menanyakan hal itu pada mamanya. Ia tidak ingin bertele-tele lagi. Marlina mengernyit. "Foto? Foto apa?" tanyanya bingung. Jena tidak menjawab pertanyaannya, dan Marlina dengan segera mengetahui jawabannya. "Oh! Foto itu?" Marlina menepuk tangannya sendiri. "Foto itu sudah Mama kembalikan ke Nenek kamu. Bukannya itu punya Nenek kamu?" Marlina tersenyum lebar. Wanita itu tak mengerti bahwa saat ini Jena bahkan tak bisa tersenyum membalasnya. "Kenapa Mama kasih ke Nenek? Foto itu penting buat Jena." Putri semata wayang Marlina itu mencoba menekan suaranya. Ia hendak melangkah pergi dari sana, namun langkahnya terhenti saat Marlina mencegahnya. "Kamu mau ke mana?!" Marlina meninggikan nada suaranya. Wanita itu yang sejak tadi masih duduk di kursi kerjanya kini bangkit. Ia mendekati anak gadisnya itu. "Kamu mau ambil kembali foto itu, terus bikin Nenek kamu jadi menangis lagi? Begitu, Jen?" sambungnya. Jena menatap Mamanya dengan jengah. Ia sudah tak tahan mendengar mamanya tak pernah memercayai ucapannya. "Jen, lagipula gak mungkin foto orang yang usianya sudah berpuluh-puluh tahun lalu itu tiba-tiba sangat mirip dengan Jun." Marlina mulai merendahkan nada suaranya. "Cukup, Sayang. Berhenti memikirkan hal yang aneh-aneh," tambahnya dengan senyum menenangkan. Ia mengelus punggung tangan Jena itu. Yang segera ditepis oleh Jena. "Percuma. Mau bagaimanapun Jena jelasin, Mama tetap gak akan percaya sama Jena." Ia menatap mamanya dengan sorot kecewa. Gadis itu segera melangkah meninggalkan Mamanya itu. Jena mendorong dengan keras pintu ruangan Mamanya kemudian melangkah ke luar. Gadis itu berpapasan kembali dengan ibu Jun yang berada di depan meja kasir. Jena sontak menghentikan langkah kakinya. Kali ini ia ingin menyapa ibu Jun itu. Bagaimanapun juga, ia tidak bisa mengabaikan orang lain yang tidak ada hubungannya begitu saja ketika ia tengah marah sekarang. "Tante ..." Jena menyapa Ibu Jun itu. Ia tersenyum, meskipun tipis, namun ia segera mencoba melebarkan senyumnya lagi. Meski tak berhasil. "Jena? Ada apa, Nak?" Utami, Ibu Jun itu tersenyum membalas sapaan Jena itu. Ia melangkah mendekati gadis berambut panjang yang lebih pendek darinya itu. Kemudian menepuk pundaknya. Jena menggeleng pelan. "Gak apa-apa, Tante. Jena permisi dulu," ucapnya ramah. "Kamu udah makan siang?" Utami mencoba menahan langkah Jena itu. Ia kembali bertanya. "Belum ganti baju, pasti kamu baru pulang, 'kan?" Jena tertegun. Ia merasa senang mendapatkan perhatian dan respon hangat dari Ibu Jun itu. Bahkan sejak Jena kecil, Ibu Jun itu selalu menganggapnya seperti anak sendiri. "Jena belum laper, Tante. Jena pamit dulu." Ia menggeleng menolak dengan sopan, lalu selanjutnya tersenyum. Utami akhirnya membiarkan Jena kembali melanjutkan langkahnya yang tadi ia hentikan itu. Kemudian ia melihat Jena sempat bersitatap dengan Jun yang tiba-tiba masuk ke Bakery. Kedua anak remaja itu tak bertukar sapa seperti biasanya. Bahkan terkesan dingin. Kemudian Jena berlalu begitu saja dan mendorong pintu Bakery untuk ke luar. Jun yang merasa ditinggalkan itu hanya terdiam tanpa suara. Bahkan dari tempatnya berdiri, Utami masih dapat melihat bagaimana raut wajah sedih Jun setelah ditinggalkan oleh Jena itu. Cowok itu sempat menundukkan kepalanya sebentar. Namun detik selanjutnya, Jun mengangkat kepalanya dan mendongak mengedarkan tatapannya. Cowok itu akhirnya bertemu mata dengan Utami yang langsung tersenyum. Jun yang tadi tampak sedih itu, kini lenyap. Yang ada hanya lah Jun yang ceria seperti biasanya. "Bu!" Bahkan cowok itu masih sempat tersenyum lebar dan melambaikan tangannya pada Utami. Ada apa dengan sepasang sahabat itu? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD