Pelajaran hari ini yaitu olahraga. Seluruh murid berkumpul di aula olahraga guna melakukan pemanasan. Jun maju memimpin jalannya pemanasan secara sukarela. Cowok itu pertama-tama berdiri tegap, kemudian mulai melakukan peregangan otot pada bagian kepala, tangan, hingga ke kaki.
"Satu ... dua .... tiga ... empat ..."
Tema hari ini yaitu pengambilan nilai untuk basket. Semua murid yang telah melakukan pemanasan, bergegas berpencar dan memulai jalannya olahraga hari ini. Murid laki- laki dan perempuan dipisah untuk penilaiannya. Jadi para siswa akan melakukan penilaian terlebih dahulu, sedangkan untuk siswi dilakukan penilaian untuk terakhir. Regu siswi sengaja diberikan jatah bermain terakhir, karena untuk menjadi tim pemandu sorak bagi para siswa.
Karena jumlah siswi di kelas sebelas IPS 4 jauh lebih banyak dari jumlah siswanya, maka untuk itu regu siswi dibagi menjadi empat regu. Sedangkan siswanya hanya terbagi menjadi dua regu. Masing-masing diberi jatah bermain selama lima belas menit.
Pembentukan regu disusun berdasarkan urut absen, sehingga membuat banyak siswa maupun siswi mengeluh, karena tidak mendapat teman satu regu yang jago bermain. Bahkan ada satu regu yang semua orangnya tidak jago bermain basket, sehingga mereka hanya bisa berpasrah saja mendapatkan nilai pas-pasan sesuai KKM.
Untuk regu putra dibagi menjadi dua dengan masing-masing berisi enam orang. Sedangkan untuk regu putri diisi masing- masing lima orang.
Jun dan Rehan berada di regu yang berbeda. Jun bersama dengan anak- anak dari urutan nomor absen awalan, sedangkan Rehan kebalikannya, yaitu regu dengan urutan nomor absen akhir. Rehan berada di regu yang hampir semua orangnya jago bermain basket, hal itu membuat ada ketidakseimbangan regu. Sedangkan Jun, hanya sebagian saja yang yang pandai bermain basket. Namun tentu saja mereka tidak bisa berbuat apapun, karena semuanya sudah mutlak ketentuan dari guru mereka.
"Ayo, mulai!"
Prit!
Peluit tanda mulainya pertandingan dibunyikan dengan keras. Jun memulai jalannya pertandingan. Cowok itu men-dribel, lalu berlari ke sana dan ke mari kemudian mengoper bola basket ke teman seregunya. Regunya cukup memiliki peluang dalam babak pertama ini, buktinya hanya dalam beberapa menit, regunya dapat melakukan shoot terbaik dan mendapat poin.
"Semangat, Jun!"
"Ayo, Jun!"
"Rehan, semangat!"
Sorak sorai dari tribun di aula olahraga itu terdengar nyaring bersahutan. Mereka menyoraki pemain andalan mereka masing- masing. Meskipun pertandingan basket ini hanya untuk penilaian olahraga biasa, namun atmosfernya sudah seperti tengah bertanding untuk kejuaraan. Bahkan kedua regu basket yang tengah bertanding itu melakukan usaha semaksimal mungkin untuk mendapat skor terbaik.
"Jun, fighting!"
Jena berteriak keras menyebut nama Jun. Gadis itu bahkan bertepuk tangan dengan penuh semangat saat melihat regu Jun memimpin jalannya pertandingan.
"Yey!"
Jun yang tengah dalam pertandingannya sesekali melirik bangku tribun itu. Ia melihat Jena dengan antusiasnya bersorak untuk dirinya. Bahkan tanpa memperhatikan suaranya yang sangat cempreng terdengar menggema ke seisi ruangan.
"Jena, Jena." Jun terkekeh menatap Jena sembari menggelengkan kepalanya. Berikutnya, cowok itu bergegas kembali fokus ke dalam pertandingan.
Rehan rupanya tak mau kalah begitu saja. Ia dibantu oleh teman-teman seregunya mulai aktif mengoper bola. Akhirnya skor menunjukkan jarak yang tidak terlampau jauh. Rehan dapat menyusul skor milik regu Jun.
"Gue gak akan dari lo," ucap Rehan sembari men-dribel bolanya. Ia saat ini tengah berhadapan dengan Jun yang menanti untuk mengambil alih bolanya.
Jun terkekeh lalu menyeringai. "Lihat aja!"
Tepat setelah itu, bola di tangan Rehan seketika berpindah kepemilikan. Jun mengambil alih bola basket itu lalu berlari kencang menuju ring milik regu Rehan, lalu dengan sekali hentak cowok itu melompat dan melakukan jump-shoot. Bola itu kini sudah bersarang di ring. Skor tambahan untuk regu Jun.
"Yey!"
Rehan mengumpat keras seiring berbunyinya peluit tanda berakhirnya pertandingan itu. Regunya kalah, dan ia harus menerima kekalahannya. Regunya hanya mendapat lima belas poin sedangkan regu lawan mendapat dua puluh poin. Cowok itu kini melihat regu Jun tengah bersorak senang merayakan kemenangannya, diiringi oleh tepukan tangan meriah dari para siswi di bangku tribun.
Rehan tersenyum, ia tidak mendapat nilai tinggi namun ia tetap senang. Setidaknya ia dapat melawan regu Jun dengan sportif. Kemudian ia berlari menuju Jun dan ikut merayakan kemenangan regu Jun itu. Dengan cepat ia menepuk punggung sahabatnya itu.
"Congrats, bro." Rehan mengangkat tangannya tepat di depan wajah Jun untuk ber-high five.
Jun langsung menyambutnya dengan wajah senang. "Thank you." Cowok itu mengusap keringatnya yang mengucur deras di pelipisnya. "Lo bilang bakal kalahin regu gue."
Rehan mencebik bibirnya, kemudian menunjuk arah lain membuat Jun ikut menoleh. "Mereka berisik banget, makanya gue gak fokus." Cowok itu menarik sudut bibirnya memandang para siswi yang masih menyoraki mereka dengan antusias.
"Gak apa-apa Rehan, masih ada hari esok!" teriak Fina keras-keras tanpa malu.
Rehan berdecih mendengar teriakan Fina itu. "Apaan sih, Pin."
Jun menatap Jena dan Fina yang berada di bangku tribun itu. Kedua gadis itu yang paling antusias bersorak untuk mereka. Bahkan Jena membawa kertas yang dituliskan nama Jun, sedangkan Fina lebih niat lagi, gadis itu membawa papan tulis kecil yang dituliskan nama Rehan. Sedangkan Karina tidak terlalu antusias bersorak, dan malah santai.
"Iya, bener. Mereka berisik banget. Gak tahu abis sarapan toa apa ya." Jun terbahak menertawai candaannya sendiri disusul dengan tawa Rehan.
Kedua cowok itu kemudian melambai tangan pada Jena dan Fina. Tunggu, mereka tentu saja juga melambai seluruh siswi di bangku tribun. Berikutnya, regu putra bergantian tempat dan menuju tribun.
"Sekarang regu putri A melawan regu putri B."
Pak Asep, guru olahraga mereka itu berseru dari bangku tribun yang tak jauh dari bangku para siswi. Guru itu mengedarkan namanya dan mulai mengabsen satu per satu nama siswinya sesuai urutan absen kelas sebelas IPS 4.
"Ana, Anggi, Ani, Dita, dan Erni di regu A. Berikutnya Feya, Gita, Hani, Indah, dan Kaila di regu B," seru Pak Asep menjelaskan absennya. Guru berambut kriting itu mengedarkan tatapannya lagi.
Selanjutnya, seluruh siswi yang merasa namanya terpanggil mulai beranjak dari tempat duduk masing- masing dan melangkah ke tengah lapangan dalam aula itu. Mereka memulai berjalannya pertandingan itu setelah peluit dibunyikan.
Sorak sorai mulai terdengar bersahutan saling menyemangati teman sekelas mereka itu. Karina pun ikut menyemangati teman sekelasnya itu yang baru dua hari dikenalnya. Ia mungkin tidak ingat nama semua murid di kelas dalam dua hari ini begitu saja. Namun Karina tentu saja berusaha keras untuk terus mengingatnya. Bahkan Karina sedang berusaha menghafalkan urutan nama murid di kelas dari daftar absen.
Mata Karina tiba- tiba mengerjap. Ia baru tersadar ada yang aneh dengan urutan nama yang dipanggil oleh gurunya tadi. Pak Asep melewatkan urutan huruf J di dalam absen, di mana hanya Jena Mustika-lah yang berawalan huruf J.
"Jena gak ikut main?" Karina kini menyenggol lengan Fina di samping kirinya. Diam-diam ia melirik Jena yang duduk di samping kiri Fina itu.
Fina menoleh, kemudian menatap Jena di sebelahnya yang tengah fokus menonton pertandingan, sebelum kembali menatap Karina. "Oh, Jena? Dia emang gak pernah ikut pelajaran olahraga."
Karina menautkan alisnya. "Gak pernah ikut olahraga? Enak dong," candanya dengan nada tawa sumbang.
Fina yang mendengar itu sontak menoleh. "Enak apanya? Jena 'kan sakit, makanya dia gak pernah dibolehin buat ikut pelajaran olahraga, apalagi kalau olahraga berat kayak lari- lari gitu di lapangan," jelasnya panjang lebar. Kemudian ia terkekeh lagi pada Karina. "Dia sakit jantung. Oh iya, lo belum tahu ya kalau Jena sakit."
"Tahu," batin Karina dengan cepat. Namun ia tidak mengucapkannya di depan Fina. Gadis itu hanya tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Oh gitu," sahutnya.
Fina tersenyum. "Jena tetap kerjain tugas, kok. Dia selalu dapat tugas pengganti untuk nilai olahraganya," sambungnya lagi. Setelah mengucap itu, Fina kembali memandang teman-temannya yang tengah bertanding di lapangan. Ia fokus kembali bersorak untuk menyemangati teman-temannya.
Karina kini melirik Jena yang tengah bersorak dengan antusiasnya. Benar juga apa yang dikatakan Fina. Tentu saja Jena tidak boleh bermain pertandingan basket yang sangat menguras tenaga itu. Bisa- bisa terjadi sesuatu yang akan membuat sakit Jena bertambah parah. Bahkan kemarin saja Jena pingsan, tidak mungkin gadis itu berolahraga sekarang.
Maka setelah meyakinkan dirinya sendiri untuk memaklumi Jena, Karina tersenyum tipis dan kembali bersorak untuk teman sekelasnya yang tengah bertanding di lapangan dan bersiap untuk menunggu gilirannya mengambil nilai.
***