Semuanya bukan mimpi. Semuanya sungguh kenyataan dan Lita pun tengah kelelahan karena harus menjalani resepsi pernikahan akbar yang dihadiri ribuan tamu undangan. Hampir semua tamu undangan dari kalangan berada. Dari pebisnis, pejabat, bahkan artis. Beberapa dari mereka juga Lita dapati tidak bisa berbahasa Indonesia karena sepertinya, mereka memang berasal dari negara lain. Sering kali, Lita dibuat gemetaran karena terlalu gugup dan memang tidak terbiasa berurusan dengan orang-orang penting.
Untuk hiburan di resepsi sendiri juga bukan kaleng-kaleng. Arkana sekeluarga menyewa artis tanah air maupun artis dari luar negeri dan kian memeriahkan suasana. Harusnya Lita bahagia karena biar bagaimanapun, pernikahan yang ia dapatkan merupakan pernikahan impian. Semuanya serba mewah, meriah, dan benar-benar spesial. Bahkan tamu undangan saja tampak sangat bahagia baik segi tempat, makanan, dan juga hiburannya. Namun, otak Lita telanjur kacau karena sepanjang kebersamaan bahkan ketika semua anggota keluarga mereka naik mengiringi pengantin ke pelaminan, Lilyn sama sekali tidak terlihat batang hidungnya. Lilyn sungguh menghilang bak ditelan bumi.
“Arkana, please, ... aku enggak mau, dan aku memang enggak bisa.” Lita sibuk menggeleng dan mengabaikan kedua tangan Arkana yang siap membimbingnya naik ke panggung untuk berdansa layaknya pasangan lainnya.
Di panggung, tak hanya Dara dan Fean yang sudah berdansa bersama kakak Lita. Karena papah mamah mereka juga sudah ada di sana. Semuanya tersenyum ke arah mereka dan menunggu mereka untuk turut serta di panggung bersama pasangan lainnya. Terlebih kini, mereka merupakan pemilik pesta. Mereka yang sudah memakai pakaian pengantin warna putih, merupakan Raja dan juga Ratu di sana.
“Semuanya sudah menunggu. MC saja sudah capek panggil-panggil nama kita,” omel Arkana sambil menatap kesal Lita yang memakai gaun pengantin warna putih. Jujur, di resepsi pernikahan mereka, Lita terlihat jauh berkali lipat lebih cantik dari ketika mereka menjalani prosesi ijab kabul. Arkana sampai tidak ikhlas membiarkan istrinya dilihat oleh orang lain apalagi laki-laki lain karena kali ini, istrinya benar-benar cantik.
Sore menjelang malam di acara resepsi akbar pernikahan mereka, Lita memakai gaun pengantin lengan panjang dengan rok ballgown yang mewah, dibalut brokat bunga kecil dihiasi manik-manik di atasnya. Gaun tersebut memiliki detail rumit menutupi hampir seluruh bagian gaun, tapi kenyataan tersebut justru menjadi kemewahan tersendiri bagi Lita yang memakainya. Kecantikan Lita menjadi terpancar elegan sekaligus mewah. Termasuk kenyataan rambut Lita yang kini disanggul modern dihiasi mahkota kecil di bagian tengah tanpa poni. Penampilan Lita menjadi paling menonjol karenanya terlebih dengan adanya perhiasan berlian putih yang melengkapi. Bahkan, alasan Arkana kesal karena Arkana tak sabar untuk berdansa dengan Lita. Arkana ingin memanfaatkan kesempatan agenda dansa nanti, untuk memulai memiliki sang istri.
Lita menghela napas dalam, merasa tak habis pikir pada Arkana padahal pemuda itu tahu alasannya seperti sekarang. “Lilyn, Kana. Lilyn di mana? Dari sebelum ijab kabul kita, dia sudah pergi. Dia pasti enggak kalah terpukul bahkan malah frustrasi gara-gara kamu malah menikahiku.”
“Orang-orangku sudah menemukannya dan mereka sedang bersamanya.” Arkana meyakinkan.
“Apakah ucapan kamu bisa dipercaya?” lirih Lita memastikan, ia masih menatap Arkana penuh keraguan.
Kesal, Arkana buru-buru mengeluarkan ponselnya dari saku sisi celana panjang warna putih selaras dengan gaun pengantin yang dipakai Lita. “Dia sudah pergi bersama teman-temannya. Puas!”
Merasa kurang puas karena memang foto di ponsel Arkana, baginya kurang jelas, Lita sengaja mengambil alih ponsel tersebut. Setelah mengamati, benar itu foto Lilyn bersama teman-temannya di sebuah club malam.
Arkana buru-buru mengambil kembali ponselnya, kemudian meraih paksa kedua tangan Lita. Kali ini Lita menurut sekalipun keraguan masih tampak begitu kuat dari gadis yang telah ia nikahi itu.
“Orang-orang kamu beneran ada di sana buat jaga Lilyn, kan?” lirih Lita yang membiarkan kedua ajudan Arkana memegangi kedua sisi gaunnya yang memang besar dan sebagiannya sampai jatuh ke lantai.
Arkana tidak menggubris dan memasang tampang yang benar-benar dingin. Lita sampai tidak berani mengusik, meski ia juga tidak bisa mengakhiri kekhawatirannya kepada Lilyn yang malah sedang di club malam.
Lampu di panggung mendadak dimatikan ketika akhirnya Arkana dan Lita sampai. Kedua ajudan yang awalnya membantu Lita menenteng kedua sisi gaunnya yang sebagiannya jatuh menyapu lantai, juga buru-buru undur. Semua mata seolah terhipnotis dengan kebersamaan Lita dan Arkana padahal kedua sejoli itu masih biasa-biasa saja. Keduanya hanya berdiri berhadapan, yang mana Lita terlihat sangat canggung dan sekadar menatap Arkana saja seolah tidak berani.
Ini aku jadi gugup tegang begini, ya? Rasanya beneran enggak jelas, dan Kana, ... kenapa dia melihatku seperti itu? Cara dia menatapku, seolah-olah, dia sangat mencintaiku dan dia juga sangat ingin memiliki aku, batin Lita yang memilih untuk tidak menatap Arkana, terlebih baru saja, sorot lampu tertuju pada mereka dan mereka menjadi satu-satunya fokus penerangan di sana.
“Astaga ...,” lirih Lita pasrah. Ia langsung merasa panas dingin tidak jelas ketika akhirnya Arkana mulai mendekapnya. Lita memilih memejamkan kedua matanya, sementara kedua tangannya bergerak ragu antara diam atau balas mendekap Arkana.
“Bagaimana rasanya melarikan diri, tapi diselamatkan oleh orang yang kamu tinggalkan?” lirih Arkana sambil mendekap kepala Lita. Ia mengendus dalam kepala Lita kemudian tersenyum puas ketika akhirnya tangan kanan Lita meninjunya.
“Diselamatkan apanya? Tolong koreksi ucapan kamu!” omel Lita berbisik-bisik.
“Ah ... yang benar begini, bagaimana rasanya melarikan diri, tapi malah meminta tolong kepada orang yang harusnya kamu tinggalkan? Begitu, bukan?” Arkana sengaja meledek dan kali ini ia tertawa penuh kemenangan di sebelah telinga Lita yang mana wanita itu juga kembali meninju perutnya.
Ketika akhirnya Arkana menahan tawanya, detik itu juga suasana yang tadinya hanya dihiasi lantunan lagu romantis lirih berjudul Beautiful In White, menjadi turut diwarnai sorak-sorai sekaligus tepuk tangan.
“Kana, ... ini ada apa lagi?” lirih Lita yang berangsur meletakan kedua tangannya di pundak Arkana. Ia mengamati sekitar karena teramat penasaran, kenapa suasana mendadak ramai bahkan baru saja, sampai ada yang bersuit secara berestafet.
“Mereka hanya terlalu bahagia karena melihat kebersamaan kita,” lirih Arkana meyakinkan.
Lita menatap ragu Arkana. “Aku makin enggak bisa percaya ke kamu, setelah apa yang terjadi. Lima tahun, ... lima tahun ini aku telah dibohongi mentah-mentah sama kamu. Astaga, andai tidak ada orang lain, sudah habis kamu aku gebukin!” Karena kini saja, kedua tangan Lita sudah mencengkeram kedua lengan Arkana yang kokoh hingga bukannya Arkana yang kesakitan, malah Lita yang menjadi sibuk meringis.
“Enggak apa-apa. Habis ini aku pijitin. Kita bahkan bisa pergi lebih awal buat malam pertamaan,” bisik Arkana sengaja menggoda lagi. Kali ini ia makin mengeratkan dekapannya sambil terus melenggang santai mengikuti irama lagu karena biar bagaimanapun, mereka harus berdansa layaknya pasangan lainnya.
Tak mau kalah, Lita buru-buru melakukan serangan balik. Ia menginjak-injak kedua kaki Arkana penuh tenaga. Semangat empat lima ia melakukannya meski ketika akhirnya Arkana justru menyerangnya melalui ciuman mesra di bibirnya, Lita menjadi tidak bisa berbuat apa-apa. Dunia Lita mendadak hening, berputar lebih lambat, dan benar-benar aneh. Harusnya dia marah, tapi ia hanya mendorong d**a Arkana sejenak sebelum malah membalas karena Arkana berkata, “Lilyn dalam bahaya andai aku menarik orang-orangku dan membiarkannya.”
Lita sadar Arkana telah memanfaatkan kepergian Lilyn untuk memperdayanya. Pria yang telah menjadi suaminya itu sengaja menjebaknya. Namun terlepas dari semuanya, kenapa Lita juga menikmati agenda ciumannya dan Arkana? Lita enggan mengakhirinya dan berharap ciuman mereka tak pernah berakhir atau setidaknya berlangsung sedikit lebih lama lagi, meski ketika akhirnya tatapan mereka bertemu bersama ciuman yang juga berakhir, Lita benar-benar merasa sangat malu. Buru-buru Lita menunduk menghindari tatapan Arkana yang seolah berusaha mengucapkan terima kasih kepadanya. Lita berpikir, alasan Arkana ingin mengucapkan terima kasih tak lain karena ciuman pertama mereka yang baru saja mereka langsungkan dan sepertinya terbilang lama meski tidak sampai lebih dari tiga menit.