Merugikan diri sendiri karena bodoh adalah kejahatan terburuk
Eva tidak yakin kapan tepatnya kebiasaannya itu bermula. Eva tidak akan bisa tidur tanpa meminum minuman beralkohol, tentu tidak sampai membuatnya mabuk, meski hanya segetuk wine itu sudah cukup. Di situasi tertentu Eva bahkan terpaksa harus meminum obat hanya agar bisa tidur.
Eva tahu ini sudah pagi, tapi ia masih ingin tidur lebih lama lagi ketika Lala mengguncang-guncang tubuhnya dengan brutal. “Apa sih, La?!” Bentak Eva marah.
“Gawat, Mbak, Gawat!”
“Apanya yang gawat?”
“Mbak lihat sendiri ini.” Lala menghadapkan layar ponsel tepat di depan wajah Eva, Eva menyipitkan mata berusaha memfokuskan pengelihatannya pada layar ponsel yang menampilkan laman sebuah akun f*******:.
Kesombongan sang Aktris Terbaik.
Mohon izin berbagi pengalaman. Jadi kemarin saya dapat orderan kirim rangkaiam bunga, sewaktu tahu penerimanya ternyata artis terkenal yang baru saja menang piala, saya senang bukan main. Wah, semoga bisa bertrmu langsung dengan orangnya. Mau minta foto karena kata orang-orang dia sangat baik.
Sampai di rumahnya, doa saya terkabul karena dia sendiri yang membuka gerbang. Awalnya dia terima, tapi saat lihat siapa pengirimnya tiba-tiba dia bilang salah alamat dan saya disuruh bawa kembali bunganya. Saya bilang, mohon maaf ya, saya cuma dibayar untuk mengantar. Kalau saya harus bawa balik ke toko bunga, saya tekor bensin. Mungkin karena kesal atau tempramennya yang buruk, dia memberi saya ongkos tapi terlihat tidak ikhlas karena uangnya dilemparkan begitu saja.
Akhirnya saya kembali lagi ke toko bunganya, saya ceritakan apa yang terjadi. Si Neng yang kirim bunga terlihat kecewa, kasihan sekali lihatnya. Usut punya usut ternyata si Neng ini masih keluarganya si aktris terbaik ini. Tidak ada yang menyangka kan dia bisa setega itu? Kalau keluarga sendiri diperlakukan seperti itu, tidak heran dia memperlakukan saya begitu.
Postingan ini tidak memiliki maksud apa-apa, intinya cuma mau mengingatkan kalau apa yang ada di layar kaca tidak sama dengan dunia nyata. Jangan mudah memuja-muja seseorang hanya karena di tersenyum di depan kamera, kalian tidak pernah tahu dia aslinya seperti apa.
“Siapa yang melakukannya?" Tanya Eva yang masih bisa tenang. Unggahan itu memang tidak menyebut langsung namanya, tapi siapapun yang membaca akan bisa menebaknya.
"Sepertinya kurir bunga yang Mbak beri uang sejuta kemarin." Jawab Lala. “Di kolom komentar sudah ramai menyebut kalau sang aktris terbaik ini Mbak Ev. Lihat itu, itu--"
"Aku bisa baca sendiri, La." Eva berdecak kesal, tangan Lala menunjuk-nunjuk layar hingga menganggu pandangannya.
Seketika Lala memasang mode patung. Eva selesai membaca ulang unggahan itu kedua kalinya. “Mbak Prita sudah tahu?”
Lala menganggukkan kepala. “Sudah, dia sedang lacak orang ini. Karena ponsel Mbak Ev mati jadi aku disuruh buru-buru membangunkan Mbak Ev."
“Telepon Mbak Prita sekarang.”
“Eh? Mbak Ev mau buat klarifikasi?”
“Bilang ke Mbak Prita, kalau sudah ketemu orangnya, aku mau dia dibawa langsung ketemu aku."
Eva sangat ingat lelaki paruh baya yang mengantar bunga kiriman Erina, tidak mungkin dia bisa menulis sebuah status dengan penulisan begitu rapi dan runtut. Eva bisa merasakan seberapa keras kurir itu bekerja dari gurat letih di wajahnya dan sorot mata kuyu. Tipe orang yang hanya memikirkan bagaimana hari ini pulang membawa uang, Eva tidak yakin kurir itu masih sempat berpikir untuk 'curhat' di sosial media. Karena itu Eva tidak ragu memberinya ongkos dalam jumlah banyak.
Siapapun yang menulis itu adalah orang yang sudah biasa bekerja dengan kata. Eva baru akan tahu penilaiannya salah atau benar setelah bertemu dengan kurir nanti.
***
Orang IT kenalan Eva bekerja cepat melacak asal unggahan tersebut, karena masih satu kota, hanya selang beberapa jam saja orang itu sudah didudukkan di depan Eva seperti keinginan Eva.
Laki-laki tua itu gemetaran, tidak berani menatap wajah Eva. Eva langsung percaya saat Bapak itu mengatakan dia tidak terbiasa memakai media sosial dan hanya aktif di aplikasi tukar pesan dan ojek online saja. Ada orang di balik unggahannya itu.
“Dia bilang, saya nggak akan dapat masalah karena nggak menyebutkan nama. Saya nggak tahu kalau yang dimaksud itu Mbak Evaria.” Cicit Bapak itu sangat pelan. “Saya akan hapus sekarang juga, maafkan saya, Mbak Evaria.”
“Harusnya Bapak terpikir untuk menghapusnya sebelum dibaca lima ratus ribu orang dan sudah dibagikan ke lebih dari separuh yang baca. Kalau saya mau itu dihapus, saya bisa langsung minta orang buat menghapusnya begitu saya tahu. Saya sekarang akan membiarkan status itu sebagai bukti fitnah yang Bapak lakukan.”
"Tapi bukan saya--"
"Iya, saya tahu tapi itu diunggah dari akun Bapak." Potong Eva. "Saya bahkan tahu Bapak nggak pernah membuat status sebelumnya, itu adalah unggahan pertama Bapak setelah 5 bulan lalu mengunggah gambar ucapan selamat hari raya. Tapi Bapak tetap bersalah karena sudah membantu menyebar kebohongan."
Bapak itu terbelalak. “Mbak mau laporkan saya ke polisi? Jangan, Mbak. Saya mohon.”
“Lalu saya harus bagaimana? Di sini saya yang paling dirugikan. Se-indonesia sekarang menganggap saya tidak punya etika karena melempar uang dan melupakan keluarga. Bapak tahu darimana kalau orang itu keluarga saya?”
“Itu...”
“Coba ingat-ingat lagi, apa benar saya melempar itu ke Bapak?"
“Maafkan saya, Mbak. Bukan—“
"Benar, tidak?" Desak Eva.
Kurir itu menggeleng ketakutan. "Tapi saya--"
“Ada yang menyuruh Bapak, iya iya, saya tahu!” Eva benar-benar jengah. “Kalau Bapak bisa membuktikan siapa yang menyuruh, Bapak saya lepaskan.”
“Dia mengirim WA, saya disuruh copy ke f*******:. Titik komanya nggak saya ganti, benar-benar persis seperti yang dia kirim. Saya bahkan nggak baca karena panjang sekali, saya tidak mengerti. Tadinya dia mau mengetik sendiri di ponsel saya, tapi berhubung saya sedang buru-buru, jadinya dia hanya minta nomor saya.”
“Bagus. Mana saya lihat chatnya?”
“Itu... Dia menyuruh segera hapus setelah saya buat status.”
"Alasannya?"
"Saya tidak mengerti. Alasannya banyak pakai Bahasa Inggris jadi saya kurang bisa paham."
Eva mengangguk sekali, seolah mereka sudah menemukan solusi. "Baiklah, mau bagaimana lagi. Semua bukti mengarah ke Bapak, kita selesaikan ini sebagaimana seharusnya. Nama saya yang sudah Bapak cemarkan harus dibersihkan."
“Tapi sumpah bukan saya, Mbak. Saya benar-benar orang bodoh yang nggak mengerti apa-apa.”
"Saya maunya ya percaya sama Bapak, dan menuntut orang itu. Tapi saya nggak punya bukti, saya nggak mungkin kan, menuntut orang tanpa dasar? Nggak peduli siapa yang salah, yang paling penting sekarang adalah mengembalikan nama baik saya.
Tidak ada yang ingin Eva katakan lagi, sebelum berdiri, dia melirik kurir itu. Keringatnya bercucuran deras padahal mereka sedang berada di ruangan berpendingan. Eva percaya di belakang ini ada Erina, ia juga bersumpah tidak akan membiarkannya begitu saja. Di balik sikap kejam Eva, Eva berharap kurir ini mempelajari sesuatu.
“Mbak yakin tetap mau tuntut Bapak itu? Mbak nggak kasihan? Mbak Ev sendiri tahu dia cuma disuruh.” Lala tergopoh-gopoh mengimbangi langkah Eva.
Eva memakai kaca mata hitam yang membuat wajahnya terlihat semakin dingin, bahkan di keseharian ia tetap berjalan tegak dengan dagu terangkat layaknya sedang berjalan di atas catwalk. "Kebodohan juga termasuk kejahatan, La. Dia jahat karena sudah menempatkan dirinya sendiri dalam bahaya hanya karena mudah ditipu dan dihasut orang lain."
"Tetap saja ini nggak adil— Eh.” Lala kaget Eva berhenti mendadak.
“Kunci mobil.” Eva menengadahkan tangan kiri.
Lala menaruh kunci mobil ke tangan Eva dengan hati-hati. “Mbak Ev... Mbak Prita bilang, Mbak Ev nggak boleh kemana-mana sendiri.” Lala seketika diam, meski sudah ditutupi kacamata hitam, Lala bisa merasakan tatapan menusuk Eva. “Oke, kalau Mbak Prita memarahi aku, Mbak Eva harus membelaku. Janji?”
"La..." Eva memutar bola mata.
***
“Kali ini kamu keterlaluan, Mir.” Erina berusaha menekan suaranya agar tak terdengar pembeli yang sedang memilih bunga.
“Sudah saatnya semua orang tahu aslinya dia seperti apa.” Jawab Mira santai, merasa telah melakukan hal benar.
“Kak Eva nggak akan tinggal diam, dia pasti akan cari siapa orang dibalik ini. Kamu nggak kasihan menjadikan kurir itu jadi tumbal?”
“Evaria Dona bisa apa kalau se-Indonesia sudah percaya? Terlebih korbannya sendiri yang buka suara.”
"Tapi kamu bawa-bawa aku."
"Ya kan, di cerita ini memang tentang kamu dan Evaria."
Erina tidak sempat menanggapi karena pembelinya sudah membawa bunga-bunga yang sudah dipilih untuk dirangkai jadi buket. Selagi Erina sibuk dengan pekerjaannya, Mira tampak begitu menikmati membaca komentar-komentar warganet terkait Evaria Dona.
Hingga terdengar bunyi lonceng dan sosok Evaria Dona muncul dengan kaca mata hitam, wajah riasan seperti biasa, dan pakaian yang terlalu berlebihan untuk dipakai sehari-hari. Erina berusaha menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat, sementara Mira pura-pura tak peduli.
Eva berkeliling toko, berlagak melihat-lihat bunga, lalu berhenti di depan vas kaca bunga peony yang belum mekar sempurna.
“Terima kasih.” Erina mengantarkan pembelinya keluar lalu menghampiri Eva.
“Hi, Kak—“ Erina terlalu terkejut untuk bereaksi melihat jemari lentik Eva mencabuti satu per satu kelopak bunga peony. Jenis bunga sama yang dikirimnya kemarin. Kelopak-kelopak bunga berwarna merah muda itu berjatuhan di atas kaki Eva.
Ketika tangkai bunga itu tinggal menyisakan satu kelopak, Eva memutar badannya menghadap sang adik tiri yang menuntut ingin diakui. “Kamu pasti sakit hari sekali ya aku mengembalikan kirimanmu? Jangan salah paham, aku bukannya tidak menghargaimu. Justru sebaliknya, aku sangat menghargaimu hingga ingin memberitahu agar jangan pernah mengirimiku lagi bunga atau apapun itu."
Kedua tangan Erina saling meremas, terintimidasi oleh aura Eva. Eva sangat benci dalam kondisi seperti itu, Erina masih memaksakan diri tersenyum. "Aku sudah menganggapmu orang asing, kenaoa kamu nggak membuat ini mudah dengan melakukan hal sama? Toh sejak awal kita berdua orang asing, sebelum mamamu menggoda papaku.”
“Mama nggak menggoda Papa.” Air mata Erina mendesak minta keluar mendengar tuduhan itu.
“Seseorang bilang, untuk membuat perasaanku lebih baik aku menunjuk kamu untuk disalahkan. Dia sepertinya nggak tahu kalau kamu juga punya cara sendiri untuk merasa lebih baik, yaitu mengingkari kenyataan.”
“Aku yang memberitahu kurir itu kalau Erina adik kamu, Evaria.” Mira tidak bisa diam saja melihat Erina dipojokkan.
“Aku tahu.” Eva memandang Mira remeh. “Gagal membuktikan rumor palsumu, kamu membuat rumor palsu baru.”
“Itu bukan rumor palsu!” Mira menantang Eva. “Kurir itu saksinya kamu mengembalikan bunga kiriman Erina. Kamu mungkin bisa menyangkal, tapi kamu akui atau tidak, Erina sah adik kamu.”
Eva bersendekap di depan Mira, postur tubuh yang sudah tinggi ditambah sepatu hal tinggi membuat sosoknya begitu berkuasa. “Aku penasaran, apa yang kamu dapat dari ikut campur masalah orang lain? Harusnya jangan buat sejelas itu, aku bahkan nggak perlu mikir untuk mengerti kebenarannya. Yang kamu pikirkan pasti hanya bagaimana mempermalukan Evaria Dona, tanpa memikirkan nasib kurir tua yang kamu jadikan tumbal. Dia mungkin akan kehilangan pekerjaanya, atau kalau kalian masih menyebalkan, dia mungkin berakhir di penjara.
“Kalau-kalau kamu nggak tahu, kurir tua itu tulang punggung keluarga, dia punya anak lumpuh yang nggak bisa bekerja. Kalau dia dipenjara, kalian harus bertanggungjawab atas hidup keluarganya.” Eva melanjutkan. "Lalu siapa yang jahat sekarang?"
Plak! Erina menjerit saat telapak tangan Mira menampar pipi Eva. “p*****r sialan!”
Eva tersenyum sinis, pipinya terasa panas dan terhina luar biasa. Mira yang bukan siapa-siapa berani menyentuhkan tangannya yang kotor di wajah seorang Evaria Dona. “Aku harap kamu sadar apa yang barusan kamu lakukan."
“Aku sadar, jangan khawatir. Kamu pikir kamu bisa selamanya di atas, hah?!” Mira memprovokasi dengan nada tinggi. “Semua orang tahu kamu menjual diri ke Rizal Chandra untuk jadi artis. Dan semua barang-barang mewah kamu, semua yang kamu pamerkan dan banggakan, semua itu pemberian laki-laki yang kamu rayu! Saat kamu menutupinya dengan jawaban-jawaban bijak, artis-artis lain yang tahu kelakukan kamu tertawa. Dasar munafik.”
"Tubuhku yang aku jual, kenapa kamu yang keberatan?"
"Aku tidak peduli dengan tubuhmu, aku kasihan dengan orang-orang yang benar-benar bekerja keras tapi tepatnya direbut oleh kamu dengan cara kotor."
"Baru sadar kalau hidup ini tidak adil, huh?"
"Hidup itu adil. Tapi orang-orang menjijikkan sepertimu yang membuatnya tidak adil."
“Menjijikkan? Sayang, kita berdua nggak ada bedanya. Cara kotor yang kamu pakai untuk menjatuhkan aku, aku pastikan kamu yang akan jatuh di lubang itu." desis Eva di depan telinga Mira.
"Anjing!" sekali sentak Mira menjambak rambut belakang Eva hingga Eva terpaksa mendongak. "Kamu kira kamu istimewa karena menjadi Evaria Dona?"
"Setidaknya aku punya banyak uang." Eva masih bisa mengejek. "Coba berkaca, apa kamu yakin sudah cukup kuat melawan aku? Berapa sih gaji wartawan?"
Mira semakin marah, ia menarik rambut Eva makin kuat sampai Eva menjerit dan berusaha melepaskan diri dengan balas menarik rambut Mira. Kedua perempuan itu saling menyerang, saling ingin menunjukkan kekuatan dengan seberapa lama mereka bisa saling menyakiti tubuh masing-masing.
"Sudah, Kakak... Sudah..." Erina kewalahan meminta mereka untuk berhenti tapi tidak ada yang mendengarkan, sampai ketika Saga tiba-tiba datang, sejenak terpaku melihat pemandangan di depan matanya, sebelum kemudian langsung berusaha menjauhkan Eva dari Mira. Di sisi lain Erina berusaha membantu dengan menarik Mira, tapi malah terdorong hingga jatuh ke lantai.
Aksi mereka baru berhenti setelah mendengar suara pecahan vas kaca yang tersenggol Erina. Keduanya terlihat sangat berantakan, ada darah di sudut bibir Mira.
“Kalian ini apa-apaan, sih?!” Bentak Saga mambantu Erina berdiri setelah memastikan Erina tidak terluka.
Dada Eva naik turun mengatur nafas.
Mira terbelalak saat mengusap bibir menemukan jejek darah. “Jangan kira aku akan diam saja, aku akan tuntut kamu atas pengaiayaan!” Ancam Mira.
“Lakukan saja."
“Kalian berdua, diam!” Pelan-pelan Saga melepaskan Erina yang sudah mulai tenang. Matanya langsung tertuju pada Eva. Lurus hanya pada Eva.
“Apa? Kamu mau tanya kenapa ini bisa terjadi?” Teriak Eva, ia sudah tahu Saga akan menyalahkannya. Seperti sebelum-sebelumnya. "Kenapa kamu tanya? Bukan aku yang memulainya!" Teriak Eva.
Rahang Saga mengetat menahan geram, Saga menarik tangan Eva hendak membawanya ke pintu keluar.
“Lepas.” Eva menghentakkan tangan Saga hingga terlepas dengan sisa-sisa tenaganya. “Aku bisa pergi sendiri.” Eva kemudian memungut kaca mata dan tasnya di lantai. Sebelum membuka pintu, ia sempat berhenti untuk menarik nafas panjang. Dengan tangan bergetar ia berusaha menyisir rambut panjangnya. Sebuah usaha sia-sia lantaran rambutnya masih mengembang seperti singa. Eva memakai kaca matanya sebelum benar-benar membuka pintu dan keluar dari sana.
Eva baru duduk di dalam mobil, ketika Saga mengetuk-ketuk kaca jendela dan berusaha membuka pintu mobilnya yang untungnya sudah Eva kunci. Eva hanya melirik sekilas sebelum menjalankan mobilnya. Ia tidak mau mendengar omong kosong Saga yang hanya akan membuat perasaannya jadi lebih buruk.
Jalanan cukup lengang sehingga Eva bisa menyalurkan sedikit amarahnya dengan mengebut, namun ia harus mengumpat saat harus berhenti di lampu merah persimpangan delapan cabang. Ia berharap masih bisa mengendalikan emosinya sehingga tidak melindas motor-motor di depan. Saat itulah Eva merasakan sesuatu mengalir keluar dari lubang hidungnya.
Hidung Eva mengeluarkan darah, buru-buru Eva meraih tisu untuk menyeka darahnya. Darah yang keluar terlalu banyak hingga Eva kesal pada dirinya sendiri. Eva memukul-mukul setir berkali-kali.
Ia berteriak, teriakan yang hanya didengar dirinya sendiri.
Eva tidak sadar lampu sudah berubah hijau, kendaraan-kendaraan di belakang bersahutan membunyikan klakson tak sabaran
Rasanya kepala Eva akan pecah.
Bersambung