Chapter 10

1206 Words
Felisa hanya bisa mematuhi yang di katakan Rubin kali ini untuk tidak melarikan diri, Felisa tahu dan seratus persen sadar kemanapun dirinya lari tidak akan pernah lolos dari lelaki bernama Rubin itu, dan jikalaupun bisa maka itu tidak akan lama. Felisa menghela nafas panjang untuk ke sekian kalinya, sekarang ia terkurung, benar-benar terkurung bahkan hanya sekedar keluar dari ruangan persegi ini pun dirinya tak mampu. Semua kenangan saat ayahnya masih ada terngiang di pikiran Felisa sampai tanpa sadar menjatuhkan air mata, sungguh ia merindukan keluarganya, kehangatannya, semuanya. Tapi sekarang dirinya malah menjadi salah satu tawanan pria psikopat. Felisa berdiri menuju jendela dan menyingkap korden berwarna gold itu hingga menampilkan pemandangan kota yang menakjubkan dari atas tempatnya sekarang, sekejap kegundahan yang Felisa rasakan menguap begitu saja. Dunia ini begitu luas dan penuh kika liku, semua orang tau di saat pertama kali kita membuka mata untuk pertama kalinya ke dunia ini maka sejak itulah sebuah petualangan hidup baru di mulai. Felisa merapatkan matanya menikmati matahari yang masuk menerpa wajahnya. “Aku tau semua yang terjadi akan segera berlalu, entah itu sekarang atau nanti aku tidak boleh menyerah.” Gumam Felisa seperti berdoa, mencoba menguatkan diri meski harus kembali berurusan dengan lelaki messum itu lagi. “Sedang memikirkanku Babe?” Ujar Rubin yang langsung mendekap Felisa dari belakang. “Menjauhlah dariku kau hanya akan membuatku sesak nafas.” Rubin tertawa pelan menarik dan membalik tubuh Felisa untuk menghadapnya, kedua tangannya menangkup wajah Felisa. Felisa tak membalas maupun menolak dia hanya diam membuat Rubin menatapnya sinis. “Kenapa sekarang kau tidak melawan, atau inikah seorang Felisa yang asli?” Felisa melepaskan tangkupan tangan Rubin dari wajahnya dan mengatakan hal yang sudah ia pikirkan sebelumnya. “Kamu sama sekali tak menyukaiku begitupun denganku, lakukan apa yang kamu mau. Kau benar, apapun yang aku lakukan tak akan pernah bisa menang melawanmu, aku tak mau kau mengejarku hanya karna aku berbeda dengan wanita lain sehingga kamu berinisiatif untuk menaklukanku dan setelah itu kamu membuangku seperti wanitamu yang sebelumnya, jadi jika kamu memperlakukanku seperti mereka dan menanganggapku begitu aku tidak bisa apa-apa, bahkan jika kamu membunuhku sekarang ini juga tidak masalah, asal setelah itu aku harap hutang keluargaku sudah lunas.” “Wow. Kalimat yang sangat panjang sekali. Jadi kamu menyerah?” sahut Rubin begitu Felisa berhenti sejenak untuk mengambil nafas. “Aku tidak pernah berharap lebih kepada orang yang telah menculik dan mengancamku.” Felisa memalingkan wajahnya. Rubin menatap dengan dahi berkerut kemudian senyum miring tercetak di bibirnya. “Itu lebih baik karna aku tak akan pernah menyukaimu, wanita hanya seperti pakaian buatku, jika aku bosan maka aku akan menggantinya dengan yang baru, tapi aku tak akan pernah melepaskanmu, kau adalah mainanku, hewan peliharaan ku” Rubin menarik dagu felisa dengan kasar. “Dengar! Kau hanyalah hewan peliharaanku, mainanku, tidak lebih dari itu. Kau akan ku bebaskan tapi jangan pernah berharap kau bisa lepas dariku.” Felisa menatap Rubin, lelaki di depannya ini sungguh sulit di tebak. “Bisa kamu berikan ponselku?” Pinta Felisa. “Aku sudah menghancurkannya.” jawab Rubin begitu santai, “Aku akan menggantinya dengan yang lebih baik, kau akan mendapatkan ponsel baru nanti.” Lanjutnya dan meninggalkan Felisa yang syok mendengar ponsel pemberian Nathan sudah di rusak si brrengsek Rubin. * Felisa keluar dari kamar mencari dapur, sungguh ia rasanya mau mati hanya karna kehausan. Tapi baru juga beberapa langkah melangkah keluar tiba-tiba sesuatu tengah melayang ke arahnya refleks Felisa langsung menangkapnya. “Tangkapan yang bagus, Itu ponselmu.” Ujar lelaki yang melemparnya. “Dimana Rubin?” Tanya felisa. “Apa kau merindukan lelaki yang telah menculik dan menyiksamu? Sungguh aku tidak tau jalan pikiran wanita jaman sekarang.” Lelaki itu berbalik meninggalkan Felisa, tapi tunggu dulu, bukannya lelaki itu adalah orang yang sama yang telah menodongkan piistol tanpa peluru waktu itu? “Jason.” panggil Felisa, lelaki itu menoleh. “Berani juga kau memanggil namaku setelah apa yang kau lakukan padaku hari itu.” Jason tersenyum kecil. Felisa mengabaikan apa yang diucapkan Jason dengan mengangkat sebuah kotak yang di lemparkan padanya tadi, “Terima kasih.” kata felisa tulus. “Tidak masalah, aku juga sudah memilihkan yang pas untuk selera wanita sepertimu.” Jason keluar dari ruangan luas dimana Felisa berada, kepergian Jason membuat Felisa ingin melihat ponsel baru miliknya dan kedua bola matanya nyaris melompat melihat jenis ponsel seharga ia bekerja di minimarket selama tiga tahun. “Selera orang kaya memang luar biasa.” Gumamnya sambil geleng-geleng. Baru juga di keluarkan dari dalam kotak si psikopat Rubin sudah menelfonnya di ponsel baru yang Jason berikan. Dengan malas Felisa mengangkat telfon dari Rubin. “Apa hewan peliharaan suka dengan ponsel baru yang aku berikan.” Kata Rubin dari seberang sana, Felisa langsung menekan tombol reject setelah itu tanpa menjawab sepatah katapun. “Tidakkah satu saja dari mereka yang bisa memperlakukan manusia seperti pada umumnya?” Dumel Felisa dalam hati, but wait! Rubin tadi mengatakan akan membebaskannya, apa itu artinya sekarang ia bisa keluar dari tempat membosankan ini?. Felisa melihat pintu yang terkunci dengan rapat dari atas sampai bawah dan sebuah catatan tulisan tangan tertempel. “Huh, sebegitu hebatnya kah dia sampai pintu saja memiliki kerumitan yang menyebalkan seperti pemiliknya.” Dumelnya lagi sambil terus membolak balikkan tangannya di papan scan hingga terdengar suara. “Pengenalan identitas dikenali” Felisa memutar bola matanya dan segera berlari secepat mungkin pergi dari tempat ini karna semakin lama dirinya di tempat ini ia akan merasa semakin terkekang bahkan rasa haus yang di rasakan tadi langsung lenyap ketika akhirnya ia akan bebas. Felisa yakin kali ini Rubin tidak akan menangkapnya karna Rubin sendiri yang menyuruhnya keluar. Gadis itu menuju rumahnya yang lama karna hanya itulah yang dia punya saat ini, sesampainya di sana terlihat beberapa carik kertas tulisan tangan Nathan yang menyuruhnya untuk segera menelfon ketika Felisa melihat pesannya. Felisa tersenyum, untung dirinya masih mengingat dengan jelas nomor Nathan, jadi ia tak perlu kesusahan. Terdengar nada sambung dari arah berlawanan hingga suara Nathan terdengar. “Halo siapa ini?” Beberapa saat kemudian. “Aku ingin mulai sekarang jangan menemuiku lagi.” Felisa menunduk merasa bersalah. Tangan Nathan terulur mengusap kepala Felisa setelah beberapa waktu lalu Felisa menyuruh Nathan untuk datang ke rumahnya. Akhirnya setelah mempertimbangkan keputusan nya Felisa mengambil jalan ini karna inilah satu satunya cara agar orang dekat nya tak terkena imbas dari kejahatan Rubin. “Aku seharusnya tidak membiarkan kamu tinggal di sini sendiri, harusnya aku yang meminta maaf tidak bisa mejaganu dan baik.” ujarnya. “Aku menyayangimu Nath.” gadis itu berhambur memeluk Nathan dengan erat. Nathan mengusap bahu Felisa sebelum melepaskan pelukannya dan menatap wajah felisa dengan intim tanpa sadar Nathan mendekatkan diri ke arah Felisa. “Nath?” tegur Felisa sedikit mendorong Nathan menjauh. Nathan berdehem menyeimbangkan diri bagaimana mungkin dirinya akan ... ah sudah lah biar bagaimana pun Felisa sudah ia anggap seperti adiknya sendiri. “Aku akan baik-baik saja?” ucap Felisa. Nathan menarik felisa kedalam pelukannya. “Maafkan aku.” ujarnya, “Nanti malam kamu ikut ya, ada beberapa anggota akan mengadakan acara kecil di bar.” “Iya, aku akan ikut tapi apa aku bisa masuk?” Nathan mengacak rambut felisa gemas. “Tentu saja bisa.” Eh tapi tunggu dulu. Itu bukan klub yang sama tempat nya bekerja kan? *** Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD