BAB 1
"Aira, kau yakin kita masuk ke situ?" tanya Rena ragu-ragu.
"Iyalah, Mbak. Sudah sampai sini juga. Lagian kalau tadi Mbak Rena nggak setuju, aku juga nggak akan ikut pergi ke tempat ini," jawab Aira dengan ekor mata menatap ke sekelilingnya.
Perbincangan keduanya disela oleh kehadiran seorang lelaki yang merupakan rekan kerja mereka berdua.
"Kalian kenapa masih di sini, yang lain sudah pada masuk. Ayo buruan!" Rahman menarik Aira dan Rena yang masih berdiri di depan pintu masuk sebuah club malam.
Mereka bertiga memang sedang berada di salah satu club malam di daerah Jakarta atas undangan rekan kerja mereka. Aira, Rena, dan juga Rahman bekerja di salah satu perusahaan konstruksi dimana kantor cabang nya berada di daerah Surabaya. Sementara Kantor pusatnya berada di Jakarta. Dan sejak satu minggu yang lalu, mereka berada di Jakarta untuk mengikuti project meeting yang diselenggarakan di kantor pusat.
Hari ini adalah hari terakhir mereka mengikuti project meeting, setelah seminggu lamanya tenaga dan pikiran terkuras habis untuk mendiskusikan project yang sedang mereka tangani. Dan atas inisiatif salah satu Manager Project, beliau mengajak Aira beserta rekan-reka nya, untuk me-refresh otak dan pikiran sebelum mereka bertiga kembali ke Surabaya.
Dan di sinilah mereka sekarang berada, di sebuah club malam yang jujur baru pertama kali Aira datangi. Begitupula dengan Aira, Rena juga tampak ragu- ragu saat melangkahkan kakinya memasuki area club malam ini.
Suara hingar bingar musik yang menggema membuat Aira harus menutup kedua telinganya. Di temaramnya lampu club, bisa Aira lihat para perempuan seksi dengan baju kekurangan bahan berkeliaran di sana sini. Ada yang sedang berjoget, ada yang sedang minum, ada juga yang sedang berduaan dengan para lelaki. Mata Aira berkeliling ke seluruh penjuru ruangan ini, sampai kemudian ia melihat segerombol orang melambaikan tangan ke arah mereka.
"Mbak Rena, sepertinya itu orang-orang kantor kita." Aira menunjuk gerombolan orang-orang yang diantaranya masih melambaikan tangannya.
"Iya, itu Pak Hendra, Bu Risa dan anak buahnya," jawab Rena.
"Ayo kita ke sana." Rahman dengan tergesa menyeret Aira menuju meja Pak Hendra.
"Sabar kenapa, Bang." protes Aira berjalan terseok mengikuti langkah Rahman.
Dan disinilah mereka menghabiskan waktu malam ini. Bersenang-senang sebelum mereka kembali ke Surabaya. Rahman sudah entah ke mana perginya. Yang tadi Aira tahu, Rahman ditarik paksa ke dance floor oleh Irna yang merupakan salah satu karyawan di bagian marketing. Wanita yang sangat cantik dan seksi dimata Aira.
"Ra, kau yakin mau minum itu?" tanya Rena sambil mengangkat gelas yang berisi minuman berwarna merah, menciumnya dan dia langsung menutup hidungnya begitu saja.
Hoek
"Ra, ini minuman apaan. Mencium baunya saja sudah membuatku mual." celetuk Rena lagi, lalu meletakkan kembali gelas di atas meja.
"Aku hanya ingin nyobain sedikit saja, Mbak. Seumur-umur belum pernah aku ngerasain minuman beginian, penasaran aja gimana rasanya." Aira berkata sambil meraih gelas berisi minuman beralkohol.
Tanpa pikir panjang, langsung ia tenggak gelas berisi minuman berwarna merah itu.
Aira merasakan tenggorokannya seperti terbakar. Rasanya aneh dan lebih didomiasi rasa pahit. Ia heran kenapa juga banyak yang menyukai minuman beralkohol.
Entah apa yang ada dalam benak Aira, nyatanya wanita itu kini sudah kembali menenggak minuman yang bernama wine, hingga tak terasa gelas ketiga pun tandas tak bersisa.
Rena sudah tiada henti mengomeli Aira karena kini Aira berusaha menenggak gelas ke empat. Sampai tiba-tiba kepala wanita itu terasa pusing dan perutnya terasa mual, seperti diaduk-aduk. Rasanya ingin sekali muntah.
"Mbak, aku ke toilet sebentar, ya," pamitnya pada Rena.
"Mau ditemenin?" tawar Rena pada Aira.
"Tidak perlu. Mbak Rena di sini saja sama yang lain," tolak Aira.
Aira segera bangkit dari duduknya. Berjalan mencari toilet terdekat karena jujur dia sudah tidak kuat lagi. Perutnya bergejolak hebat ditambah kepalanya yang semakin berdenyut nyeri
.
Bugh ... auw ....
Aira meringis saat pantatnya menyentuh dinginnya lantai. Samar ia melihat seorang pria yang tadi menabraknya meracau tak jelas. Aira berusaha berdiri dengan dibantu lelaki tadi dan Hoek ... Hoek ... sudah tidak dapat Aira tahan lagi.
Aira muntah dan naasnya lelaki yang menabraknya sekaligus yang membantunya berdiri, harus terkena muntahan yang menyembur dari dalam mulutnya.
Astaga! apa-apaan ini. Perut Aira benar-benar tidak dapat diajak kompromi. Belum lagi kepalanya yang semakin pusing hingga penglihatan Aira samar-samar hilang dan entahlah Aira sudah tidak ingat apa-apa lagi.
*********
Bersambung