Sejak Syam mengerti apa itu hari ulang tahun, sejak saat itu ia percaya bahwa hari itu sama dengan hari sial. Syam tidak mengerti kenapa teman-temannya selalu menceritakan hal-hal membahagiakan tentang ulang tahun mereka. Liburan keluarga, hujan hadiah, dan pesta. Karena itu tak perah terjadi pada dirinya. Dari foto-foto di album yang berdebu, Syam menemukan foto Ayah, Ibu, dan sosok anak kecil yang kata Eyang adalah dirinya sedang berpose di belakang kue ulang tahun. Ada tiga foto dengan angka lilin berbeda.
Artinya Syam pernah merayakan pesta ulang tahun, itu sebelum Bundanya meninggal dunia.
Setelah berziarah ke makan Bundanya tadi, Syam dan Widia—Eyang Syam, melanjutkan perjalanan ke sebuah panti asuhan untuk memberikan santunan dan doa bersama untuk ketenangan sang bunda di Surga serta untuk masa depan Syam.
“Ayah…,” tangan mungil Syam membuka pintu sebuah ruangan dengan hati-hati, takut mengejutkan ayahnya yang berada di dalam ruangan itu. Syam sudah mengenakan piyama tidur, ia sengaja menahan kantuk demi menunggu ayahnya pulang.
Di atas meja kerjanya, Ayah Syam yang bernama Jeffrey menatap Syam sekilas lalu kembali menekuni kertas-kertas di hadapannya. Padahal sudah malam dan ayahnya telah bekerja di kantor seharian, tapi di rumah pun dia masih sibuk bekerja.
“Kenapa?” tanya Jeffrey terkesan tidak benar-benar peduli pada Syam.
“Besok Ayah disuruh ke sekolah sama gurunya Syam,” jawab Syam, menyampaikan hal yang membuatnya rela menunggu sang ayah pulang.
Seketika itu juga Jeffrey membanting kertas yang dipegangnya dan akhirnya menatap Syam. “Lagi?”
Syam hanya bisa menundukkan kepala, takut.
“Ck, kenapa kamu selalu aja membuat masalah dan merepotkan semua orang? Aku nggak punya waktu buat kamu, Teddy yang akan mengurusnya. Sana kembali ke kamar.” Jeffrey mengakhiri dengan sebuah titah, menegaskan bahwa dirinya memang tidak peduli pada Syam. Buktinya, Jeffrey bahkan tak mau repot-repot bertanya tepatnya masalah apa yang dibuat oleh Syam di sekolah.
“Baik, Ayah,” jawab Syam lemah. Meski tahu ayahnya tidak akan datang ke sekolah, tapi Syam selalu memberi tahu langsung padanya setiap kali gurunya menyuruh orangtua Syam datang ke sekolah. Padahal bisa saja Syam langsung mengatakannya pada Teddy, karena toh sekretaris ayahnya itulah yang selalu menjadi wali Syam. Hanya dengan begitu Syam merasa memiliki seorang ayah.
Syam berjalan kembali ke kamar dengan langkah lesu.
“Syam? Kenapa kamu nggak di kamar, Nak?” Langkah Syam terhenti ketika mendengar suara sang nenek dari arah belakang, sejurus kemudian Widia berdiri di hadapan Syam.
“Bu Guru menyuruh Ayah datang ke sekolah besok, tapi Ayah nggak mau.” Syam mengadu.
Wanita paruh baya dengan rambut sepenuhnya putih tapi wajahnya masih tampak segar dan cantik itu mengehela napas sambil mengusap kepala Syam. “Ayah mungkin sedang banyak pekerjaan. Besok biar Eyang yang bertemu sama guru kamu.”
“Eyang besok masih menginap di sini?” tanya Syam penuh harap.
“Maafkan Eyang, Sayang. Eyang akan pulang sorenya,” jawab Widia dengan berat hati. Dia memang tidak tinggal di sini bersama Jeffrey dan Syam karena harus mendampingi sang suami yang menjabat sebagai rektor di sebuah universitas di kota tetangga. Dari keempat anaknya yang semuanya sudah mandiri dan tinggal terpisah, Widia hanya menginjungi rumah Jeffrey saja. Setidaknya sebulan dua kali, Widia selalu menyempatkan untuk mengunjungi rumah Jeffrey hanya demi sang cucu.
“Yaa … aku senang kalau Eyang di sini,” ungkap Syam polos.
“Oh, Sayang, Eyang juga ingin selalu sama kamu.” Widia menarik Syam ke pelukannya, mengusap kepala Syam yang berada di batas perutnya. Syam pasti kesepian sekali di rumah ini. “Kamu beneran nggak mau tinggal sama Eyang di Bandung?”
Dan, jawaban Syam tetap sama seperti sebelum-sebelumnya. Yakni berupa gelengan kepala. “Enggak mau. Nanti kalau nggak tinggal sama Ayah, Ayah makin nggak sayang sama aku.”
***
“Saya Alina Rossa, wali kelasnya Hisyam. Senang bertemu dengan Anda.” Alina memperkenalkan diri sesaat setelah duduk menemui seorang wanita paruh baya yang memperkenalkan diri sebagai Nenek dari Syam. “Ini pertama kalinya kita bertemu, karena sebelumnya yang selalu datang adalah Pak Teddy. Kalau tidak salah, beliau sekretarisnya Ayahnya Syam.”
Wanita anggun itu membalas jabatan tangan Alia. “Saya Widia, Neneknya Syam.”
Alina mengangguk sopan. Ia sebenarnya tak menyukai pertemuan dengan wali murid untuk alasan ini. “Saya sebenarnya berharap bisa bertemu langsung dengan orangtua Syam. Tapi sepertinya beliau sangat sibuk sepanjang waktu.” Alina menyelipkan sedikit sindiran. Seumur-umur menjadi guru, baru kali ini ia menjumpai wali murid yang begitu acuh terhadap urusan sekolah anak.
“Saya sangat menyesal, Bu Alina. Tapi seperti yang sudah Anda ketahui, bundanya Syam sudah tidak ada. Sementara Ayahnya memang selalu sibuk dengan pekerjaannya di hari-hari kerja seperti sekarang ini.”
“Saya mengerti, Bu Widia.” Sejujurnya pertemuan dengan wali murid untuk urusan seperti ini tidak pernah diharapkannya. Membuatnya malu lantaran merasa tak bisa menjadi orangtua kedua yang baik untuk anak. “Tapi, kalau boleh saya tahu, Syam ini tinggalnya sama siapa?”
Bu Widia melirik Syam yang duduk tenang di sampingnya. “Syam tinggal bersama ayahnya. Ya, Anda sendiri pasti bisa tebak kalau ayahnya juga jarang di rumah. Tapi ada beberapa ART di rumah. Saya sendiri tinggal di Bandung dan hanya menjenguk sesering yang saya bisa. Jadi, ada masalah apa sebenarnya, Bu?”
“Begini, Bu, saya harap Pak Teddy selalu menyampaikan pada Anda dan Ayahnya Syam pesan saya setiap kali saya memanggil wali Syam untuk datang.” Alina beralih menatap Syam. “Syam, kamu sudah bilang sama Nenek kamu apa yang sudah kamu lakukan kemarin?”
Syam menggeleng. Alina melihat sosok berbeda dari Syam sekarang dan Syam sebelum neneknya datang. “Kamu mau Bu Al atau kamu sendiri yang cerita?”
Syam menarik napaa panjang, menatap Alina sesaat sebelum mendongak menatap sang nenek yang menunggunya sabar. Alina tidak salah saat menganggap Syam berbeda. Karena yang dilihatnya saat ini adalah seorang anak yang tampak diliputi penyesalan. Pada akhirnya Syam bercerita, dengan suara sangat pelan. “Kemarin Syam nakut-nakutin anak cewek pakai katak, Eyang. Bu Alina juga sampai kepleset.”
“Dan yang kamu lakukan ke Pak Dadang?” sambung Alina.
“Aku matahin sapunya Pak Dadang buat mainin kotoran kucing. Kemarin itu aja, kan, Bu?” Syam bertanya, seolah-olah Alina adalah malaikat Atid yang mencatat semua kenakalannya.
“Oh, Syam.” Bu Widia mengelus kepala cucunya. “Kenapa kamu melakukan itu, sayang? Mainan kotoran kucing? Ya ampun, di rumah kamu nggak pernah seperti ini.”
“Maaf, Eyang.”
Alina benar-benar melihat sisi lain Syam sekarang. “Saya tidak tahu bagaimana kondisi di rumah. Saya dan guru-guru di sini selalu berusaha mendidik anak-anak didik kami untuk menjadi anak yang cerdas, sopan, dan bertanggungjawab. Tapi semua itu tidak akan berguna tanpa kerjasama dari keluarga anak itu sendiri. Maafkan saya kalau saya lancang, saya rasa di rumah Syam kurang mendapat perhatian.”
Bu Widia tidak membantah. “Memang Ayahnya sangat sibuk, tapi saya pastikan cucu saya tidak pernah kekurangan perhatian. Anak saya selalu memperhatikan Syam sekalipun mereka jarang menghabiskan waktu bersama.”
Mendengar jawaban Neneknya, Syam menundukkan kepala.
“Kalau memungkinkan, saya ingin sekali bertemu dengan Ayahnya Syam, Bu.” Alina sungguh ingin tahu ayah macam apa yang lebih mementingkan pekerjaan dibanding anaknya sendiri.
“Ayah nggak akan mau ketemu Bu Al.”
Bu Widia terkesiap mendengar cicitan pelan cucunya. “Syam, kamu ini bicara apa. Kalau Ayah punya waktu, Ayah pasti akan nemuin guru kamu.”
“Enggak, Eyang. Ayah nggak akan pernah punya waktu buat aku.”
“Hisyam—“
“Ayah nggak sayang sama aku. Jangan bohongi Bu Al karena Bu Al selalu tahu siapa anak yang sedang bohong.” Mata bulat Syam berkaca-kaca dan bibirnya mencebik ke bawah saat mengatakannya.
Alina menatap Syam penuh iba, hatinya mencelos melihat seorang bocah sekecil Syam harus menahan tangis. Berpura-pura tegar di depan orang dewasa. Meratap sesuatu yang seharusnya menjadi haknya—kasih sayang orang tua.