Alina turun dari panggung sambil menutup wajah, malu sekali usai menjadi biduan dadakan, berduet dengan Jennie yang di dalam tubuhnya memang ada jiwa biduan. Tepat pertama yang dituju Alina adalah stall minuman. Ia mengambil satu gelas cocktail non alkohol sambil melirik-lirik sekitar.
“Nyariin Jeff, ya?” Jennie tahu-tahu menyenggol pinggul Alina dan bertanya menggoda.
Alina meliriknya dengan kernyitan dahi, berlagak tidak mengerti. “Sok tahu, ngapain gue cari dia?”
“Ya nggak tahu, kali aja belum puas nostalgianya. Nggak usah mengelak, Al. Gue ini Jennie, gue paham sama isi pikiran lo,” balas Jennie dengan penuh percaya diri, mengingat sejarah persahabatan mereka selama ini. “Jadi, gimana? Lo masih merasakan kupu-kupu terbang di perut lo nggak?” goda Jennie lagi, kali ini sambil menaikturunkan alis.
Alina memutar bola mata, dibarengi dengan desahan napas panjang. Agaknya ia memang tidak akan pernah bisa memasang topeng di depan sahabatnya yang satu ini. “Nostalgia apanya,” dengkus Alina. “Dia sudah menikah.”
“Lo tanya?”
“Lo nggak lihat cincin di jari manis dia?”
“Ya gue lihat, tapi kenapa dia datang nggak sama istrinya?”
“Istrinya lagi sibuk mungkin? Lagi berantem juga kan nggak tahu. Yang jelas, hilangkan pikiran konyol lo itu. Ketemu sama Jeffrey, nggak ada bedanya sama ketemu teman-teman lama yang lain kayak tadi sama Rino, sama Utari, sama Dion.”
“Ah, masa?“ cibir Jennie sangsi. “Tapi sayang banget ya dia nggak bisa diprospek. Jeffrey dulu sudah ganteng, tapi sekarang gantengnya beda. Berwibawa banget gitu nggak sih, Al? Mungkin karena faktor sudah menikah itu sama pekerjaannya kali, ya?”
Alina menghela napas pelan. “Justru aneh kalau orang kayak dia belum menikah,” desahnya, lalu mendekatkan bibir gelas minumannya ke bibirnya sendiri. “Lagian lo prospak-prospek, gue nggak se-desperate itu ya sampai siapapun cowok gue prospek-in.”
“Memangnya gue kelihatan seperti teman seberengsek itu apa sampai prospek-in lo sama sembarang orang? Ini kita lagi ngomongin Jeffrey Gunastya, Al. Jeffrey yang itu. Dia jelas-jelas bukan cowok sembarangan.”
“Ah, sudahlah, Jen. Nggak usah dibahas.”
“Kenapa nggak usah? Lo jadi kepikiran, ya?”
Kedua mata Alina menyipit menatap Jennie tak habis pikir, tak habis pikir pada dirinya sendiri bagaimana ia bisa tahan berteman dengan Jennie selama lebih dari satu dasawarsa. Sebab Jennie terlalu blak-blakan dan sialnya semua ucapannya benar.
“Lo mau ke mana?” seru Jennie dari arah belakang usai Alina menenggak habis sisa cocktail di gelasnya lalu meletakkannya kembali ke atas meja.
“Pulang,” jawab Alina dan berlalu begitu saja.”
“Kan habis ini masih ada after party-nya, Al.”
“Ada tugas murid yang belum gue koreksi,” jawab Alina asal-asalan yang tidak sepenuhnya bohong. Di rumahnya memang ada setumpuk tugas muridnya yang belum ia koreksi tapi tidak harus malam ini juga sebenarnya.
“Nggak asyik lo, pantesan jomlo.”
Bahkan saat Alina sudah berjalan menjauh, Jennie masih sempat-sempatnya meledek Alina. Padahal setiap kali Jennie meledek Alina jomlo, sebenarnya dia juga sedang meledek dirinya sendiri. Makanya Alina tidak tersinggung sama sekali. Kadang cara paling mudah menerima keadaan ya dengan ditertawakan.
Di depan lobby hotel, Alina kesulitan mencari taksi online. Tidak ada supir yang menerima orderannya. Alina tidak yakin kalau harus naik ojek motor dengan pakaian dan sepatu hak tinggi seperti yang dipakainya sekarang, di saat-saat seperti inilah Alina memikirkan pasti enak kalau ia punya pasangan. Ada yang ia mintai tolong untuk antar atau jemput.
“Alina!”
Alina spontan menoleh ketika mendengar seseorang menyerukan namanya, Alina mengerejap cepat, agak tidak percaya bahwa orang yang menyerukan namanya barusan adalah Jeffrey. Sejurus kemudian Jeffrey telah berada di hadapannya. “Jeff?” Sesaat Alina bingung harus merespon bagaimana, karena sepertinya Jeff memanggilnya dengan tujuan. Tujuan inilah yang sama sekali tidak terpikirkan oleh Alina. “Ada apa?”
“Sudah mau pulang?” tanyanya.
“Iya,” jawab Alina. “Aku pikir kamu sudah pulang—ah maksudku, aku tadi nggak lihat kamu di dalam. Jadi aku kira kamu udah pulang,” jelas Alina, takut Jeffrey salah paham dengan kalimat pertamanya yang terdengar seolah-olah Alina mencari-cari dia.
Jeffrey tertawa kecil. “Belum, tadi aku harus angkat telepon. Nunggu jemputan atau bawa kendaraan sendiri?” tanya Jeffrey kemudian.
“Masih cari siapa yang jemput.“
“Huh?” Jeffrey menaikkan alis penuh tanya.
Giliran Alina yang kali ini tertawa. “Maksudku taksi online, belum ada driver yang terima orderanku.”
“Ah …,” gumam Jeffrey mengangguk-angguk mengerti. “Mungkin sedang banyak yang cari juga. Kamu bisa ikut aku kalau—“
“Oh, enggak-enggak. Terima kasih, sebentar lagi pasti aku dapat taksinya.” Alina menjawab dengan cepat. Ia merasa tidak pantas menumpang di mobil pria beristri, takut terjadi kesalahpahaman mengingat para istri sangat sensitif terhadap orang ketiga. Dan orang lain, sangat menyukai isu perpelakoran. Sebagai seorang wanita, Alina harus menjaga martabatnya. Terlebih profesi Alina sendiri menuntutnya untuk menjaga etika serta nama baik sekolah dan martabat profesi guru. Sehingga Alina pikir lebih baik menghindari segala sesuatu yang memungkinkan adanya kesalahpahaman. “Mungkin aku bisa cari di depan, deh,” tambah Alina, lebih kepada mencari celah untuk melarikan diri.
Alina melambaikan tangan dan tak lupa meninggalkan basa-basi kalimat ‘sampai berjumpa lagi’. Meski sesungguhnya dalam hati ia tidak mengharapkannya, cukup malam ini saja setidaknya Alina sudah tahu Jeffrey hidup dengan baik. Alina takut imunnya tidak cukup kuat untuk menahan pesona suami orang.
***
Nyatanya, sudah menjauh dari hotel dan berada di pinggir jalan raya pun tak lantas membuat Alina mudah mendapatkan angkutan untuk pulang. Entah ada apa dengan para supir taksi online hingga tak ada yang mau mengambil pesanannya, bahkan yang sepeda motor sekalipun. Taksi biasa pun tak ada yang lewat, sialnya jalan ini tidak dilewati bus. Alina harus jalan lumayan jauh jika ingin naik bus umum.
Alina mengusap lengannya yang dingin terkena embusan angin malam dan kakinya mulai pegal karena harus jalan di atas trotoar tidak rata dengan memakai sepatu hak tinggi. Ia harus berjalan extra hati-hati jika tak ingin tercengklak. Seolah belum cukup sial, langit yang semula baik-baik saja tiba-tiba gerimis. Alina sontak menengadahkan kepala ke atas, tidak bisakah hujan bersabar sebentar setidaknya sampai Alina mencapai halte bus?
Tin!
Alina terkesiap kaget saat mendengar bunyi klakson mobil, ada sebuah jenis sedan warna hitam mengkilat menepi di depannya. Alina mulai ambil ancang-ancang untuk lari, takut jika si pengemudi mobil ternyata memiliki niat jahat. Ketika pintu kaca mobil turun perlahan, Alina belum bisa menghela napas lega meski pengemudi mobil itu adalah seseorang yang dikenalnya.
“Tawaranku masih berlaku, aku bisa kasih tumpangan kalau kamu mau,” ujar orang yang tak lain adalah Jeffrey tersebut.
Alina meringis bingung, di satu sisi tidak lucu jika ia jalan kaki di tengah gerimis dengan memakai baju pesta seperti ini. Namun, di sisi lain berada satu mobil dengan Jeffrey adalah hal yang ingin ia hindari.
Di saat Alina masih kebingungan sendiri, tetesan air yang tadinya hanya berupa gerimis, mendadak menjadi hujan. Persetan dengan pantas tidak pantas, Alina buru-buru membuka pintu mobil Jeffrey daripada besok ia tidak bisa bangun tidur karena masuk angin.
“Kamu bisa turunin aku di halte depan,” ujar Alina begitu pantatnya menempel kursi, seolah-olah sungkan padahal sebenarnya wanita itu sedang memberi batasan pada dirinya sendiri.
“Muka kamu tegang banget, aku berasa kayak jadi penculik,” ujar Jeffrey yang tentu saja Alina tahu dimaksudkan untuk mencairkan suasana.
“Aku takut ngerepotin.”
“Buat apa aku tawari kalau aku merasa direpotkan?”
“Hmm ya, iya juga.” Jeffrey tidak tahu saja, takut merepotkan tentu saja hanya alasan. “Sebenarnya, aku khawatir akan jadi kesalahpahaman kalau sampai istri kamu tahu kamu habis kasih tumpangan ke perempuan lain—.” Ucapan Alina terputus lantaran tahu-tahu Jeffrey mengulurkan sapu tangan yang batu diambil dari saku jasnya.
“Pakai ini buat lap rambut kamu, biar nggak pusing habis kena hujan.”
“Oh ya, terima kasih,” jawab Alina dan menerima uluran sapu tangan sutra warna putih gading itu dengan canggung.
Jeffrey lalu terseyum tipis. “Kamu belum pindah rumah, kan?”
“Eh?” Alina terkesiap antara kaget dan tak mengeti maksud pertanyaan Jeffrey barusan tadi.
“Rumah kamu. Aku lupa nama perumahannya apa, tapi sepertinya aku masih ingat jalannya. Kamu masih tinggal di sana, kan?” tanya Jeffrey lagi dengan lebih jelas.
“Kamu … masih ingat rumahku?”
“Tentu.”
Alina mengedip lambat, membuat dirinya tampak bodoh. Tertegun mendengar jawaban Jeffrey yang seenteng itu. Demi Tuhan, terakhir kali Jeffrey mengantar-jemput dirinya adalah lebih dari 10 tahun lal, bagaimana mungkin Jeffrey masih mengingatnya? Alina sungguh tidak tahu Jeffrey ini sebenarnya tengah berusaha bersikap bersahabat dengan sedikit menyinggung masa lalu atau apa.
“Masa, sih?” Kepala Alina tidak bisa memikirkan balasan yang lebih baik.
“Aku cukup percaya diri sama daya ingatku. Mau bukti?” Jeffrey mengerling.
Alina menelan ludah gugup, ditatapnya wajah Jeffrey yang memang tampak sepercaya diri perkataannya. “Oke, buktikan setajam apa ingatan kamu. Aku masih tinggal di sana,” jawab Alina, pada akhirnya ia menerobos batasan yang ia lewati sendiri dengan semudah itu terpancing sesumbar Jeffrey yang mungkin hanya sekadar candaan saja.
Jeffrey tersenyum lagi. “Pakai seatbelt kamu,” ujar lelaki itu, sebelum mobil mulai bergerak perlahan dan Alina tidak bisa menarik lagi kata-katanya.
Alina memegangi tali belt yang melintang di tubuhnya, tepat di bagian d**a. Ia bisa merasakan jantungnya berdebar kencang. Agaknya ungkapan bahwa laki-laki kalau sudah menikah kadar pesonanya meningkat itu bukanlah bualan semata, melainkan benar adanya. Inilah yang Alina rasakan pada Jeffrey.