11 - Memiliki anak.

2102 Words
"Aahh, Jonathan." Desahan erotis Melinda membuat birahi Jonathan semakin melambung tinggi. Deru nafas Jonathan semakin tak beraturan, dan di saat yang bersamaan, Jonathan bisa merasakan keringat mulai membasahi tubuhnya, juga tubuh wanita yang saat ini ada di atas pangkuannya. Jonathan membelai perut Melinda, saat itulah Melinda menggelinjang karena geli. Reaksi yang Melinda berikan membuat Jonathan malah semakin bersemangat, tapi berhenti ketika Melinda meminta Jonathan untuk berhenti bermain-main dengan perutnya. Melinda merangkum wajah Jonathan menggunakan kedua tangannya, membelai wajah tampan rupawan dengan jari-jemarinya yang lentik. Jonathan menatap lekat Melinda, begitu juga sebaliknya. Jonathan tersenyum, dan Melinda membalas senyuman Jonathan. "Jonathan," bisik Melinda tepat di depan bibir Jonathan. Suara Melinda terdengar sangat seksi begitu memanggil namanya, membuat sekujur tubuh Jonathan meremang. Jonathan menenggelamkan wajahnya di ceruk leher kanan Melibda, lalu menarik dalam nafasnya, menghirup aroma vanila yang keluar dari tubuh Melinda. Aromanya benar-benar membuat Jonathan mabuk kepayang. "Apa, hm?" bisik mesra Jonathan. Jonathan menggigit gemas daun telinga Melinda, saat itulah adrenalin dalam diri Melinda berpacu dengan sangat cepat. "Lanjutkan Jonathan, jangan diam saja," ucap Melinda merajuk. Melinda kesal, karena sejak tadi Jonathan hanya diam, seolah memang sengaja mempermainkannya. Bukannya menuruti kemauan Melinda, Jonathan malah sengaja mempermainkan Melinda. Saat ini Jonathan sedang asik membuat banyak ruam kemerahan di leher jenjang Melinda yang putih bersih. "Jonathan," desah Melinda sambil mendongak. Apa yang Melinda lakukan membuat Jonathan jadi bisa semakin leluasa untuk mengexplore tubuh bagian depan Melinda. Sekarang sasaran Jonathan bukan hanya leher Melinda, tapi semakin lama semakin turun menuju d**a Melinda. Jonathan tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Jonathan akan menyentuh setiap inci tubuh Melinda. "Jonathan!" Raline memanggil Jonathan sambil mengguncang pelan tangan kanan Jonathan. Panggilan dari Raline berhasil membangunkan Jonathan dari tidurnya, sekaligus membuat mimpi indah Jonathan sirna. "Sial!" umpat Jonathan sambil menyugar rambutnya. Jonathan tak bisa menyembunyikan kekesalannya. Jonathan kesal karena Raline membangunkannya di saat yang sama sekali tidak tepat. Padahal tadi dirinya baru saja akan menyentuh area yang paling ia sukai. Umpatan Jonathan di dengar Raline, dan Raline seketika berpikir jika sang suami baru saja mengumpatinya. "Jo, kamu mengumpati aku?" Raline menatap Jonathan dengan mata melotot. Jonathan menggeleng. "Tentu saja tidak." "Lalu kenapa kamu mengumpat?" Raline menatap Jonathan dengan mata memicing penuh curiga. "Aku barusan mimpi buruk." Jonathan tidak mungkin memberi tahu Raline jika sebenarnya ia baru saja bermimpi indah. Jika Raline tahu ia bermimi indah, pasti Raline akan bertanya, mimpi indah apa? "Oh, kamu mimpi buruk," gumam Raline dengan perasaan lega. "Jadi ... ada apa?" Jonathan berharap Raline memiliki alasan bagus karena sudah membangunkannya, merusak mimpi indahnya dengan wanita yang semalam menghabiskan waktu bersamanya. "Tadi Ibu telepon, katanya nanti sore ada acara kumpul keluarga di rumah Ibu. Ibu berharap kalau kita berdua akan datang." "Apa kamu memiliki acara?" "Tidak, hari ini aku luang." "Ya sudah, siang ini kita berangkat ke sana." "Ok, kalau begitu aku mau mandi dulu." Raline pergi meninggalkan ruang kerja Jonathan. Setelah Raline pergi, Jonathan duduk sambil menundukkan wajahnya dengan kedua tangan yang kini meremas kuat rambutnya. "Sial, mimpi tadi seperti nyata," gumam Jonathan frustasi. Saat ini Jonathan benar-benar merasa frustasi. Jonathan frustasi karena tidak bisa menghilangkan bayang-bayang Melinda dari pikirannya. Setelah puas merenung, Jonathan kembali ke kamar. Jonathan pergi mandi, saat itulah bayangan tentang dirinya yang semalam melakukan hubungan intim dengan Melinda kembali muncul. Pikiran Jonathan saat ini benar-benar di penuhi oleh Melinda. Jonathan dan Raline sudah berada di kediaman kedua orang tua Jonathan. Suasananya sangat ramai, karena keluarga besar Jonathan saat ini sedang berkumpul. Raline sedang berbincang dengan para wanita dari keluarga Jonathan, sementara Jonathan saat ini sedang duduk santai di sofa yang ada di paling pojok, tempat yang sangat jauh dari keramaian. Jonathan memang sedang mengasingkan diri, dan selalu seperti itu jika sedang ada acara kumpul keluarga. "Raline." Raline menoleh ke kanan dan kiri, mencari siapa orang yang baru saja memanggilnya, dan ternyata Carlalah yang memanggilnya. Carla adalah keponakan Jonathan. "Kenapa, Car?" "Bagimana? Apa kamu dan Jonathan sudah memiliki rencana untuk memiliki anak?" Carla menikah setelah Jonathan dan Raline menikah, dan saat ini, Carla sudah memiliki 1 orang anak, sementara Jonathan dan Raline belum memiliki anak. "Saat ini kita sedang merencanakannya, Car." Raline terpaksa berbohong, karena sebenarnya sejak dirinya dan Jonathan menikah, Jonathan sama sekali tidak pernah membahas tentang anak. "Syukurlah kalau begitu," gumam Carla dengan perasaan lega. Carla menoleh ke kanan dan ke kiri, setelah memastikan jika saat ini semua orang sibuk dengan kegiatannya masing-masing, Carla meminta supaya Raline mendekatinya. "Ada apa, Car?" tanya Raline berbisik. Carla berbisik di telinga kanan Raline. Carla memberi tahu Raline cara untuk memikat Jonathan. "Apa kamu sudah pernah melakukannya?" Saran yang baru saja Carla berikan sangat menarik perhatian Raline, dan mungkin Raline akan mencobanya. "Tentu saja sering," jawab Carla sambil tersenyum lebar. "Sering?" Ulang Raline dengan kedua mata melotot. "Iya, sering. Tapi aku jarang menggunakan obat karena suami aku menolaknya. Kita hanya menggunakan obat sesekali aja." "Nanti gue coba, terima kasih atas sarannya." "Semoga beruntung ya, Ral, dan sama-sama." Raline hanya mengangguk. Tak lama kemudian, terdengar suara Aliya yang berteriak mencari Raline. "Raline, kamu dipanggil tuh sama Ibu." Raline pun pergi menghampiri Aliya, sementara Carla kembali berbaur dengan anggota keluarganya yang lain. "Ada apa, Bu?" "Raline, apa kamu tahu di mana Jonathan?" Aliya tidak melihat Jonathan di sekitarnya, jadi Aliya pikir Raline tahu ke mana Jonathan pergi. Raline lalu memberi tahu Aliya di mana Jonathan berada. Begitu tahu di mana posisi Jonathan, Aliya pun pergi menghampiri sang putra. Langkah Aliya terhenti. Secara seksama, Aliya memperhatikan Jonathan yang saat ini terlihat sedang melamun. Setelah itu, Aliya kembali melanjutkan langkahnya. "Apa yang sedang kamu pikirkan, Nak?" Aliya mengusap pelan bahu Jonathan dari belakang. Sentuhan dan pertanyaan bernada teguran dari Aliya mengejutkan Jonathan. Jonathan menoleh, tersenyum manis pada Aliya yang saat ini juga sedang tersenyum padanya. "Jonathan hanya sedang memikirkan masalah pekerjaan di kantor, Bu." Aliya lalu duduk di samping Jonathan. Saat melihat Aliya, Jonathan seketika berpikir, apa yang akan Aliya lakukan padanya ketika tahu jika dirinya baru saja melakukan sesuatu yang teramat sangat hina? Jonathan tahu kalau Aliya pasti akan marah padanya, lalu bagaimana jika pada Melinda? Apa Aliya akan mencaci maki Melinda? "Ibu tidak akan melakukan hal seperti itu," gumam Jonathan yang hanya bisa di dengar oleh dirinya sendiri. Jonathan tahu bagaimana Aliya, dengan kata lain, Jonathan sangat mengenal Aliya karena Aliya adalah Ibunya. Aliya memang akan marah pada Melinda, tapi Jonathan yakin jika Aliya tidak akan menghina Melinda, mengatakan jika Melinda w************n, atau mengeluarkan kata-kata menyakitkan lainnya. "Jonathan!" Untuk kedua kalinya Aliya memanggil Jonathan, tapi Jonathan tetap tak bergeming. Aliya melambaikan telapak tangan kanannya di depan wajah Jonathan, saat itulah akhirnya Jonathan sadar dari lamunannya. "Eh iya, Bu, kenapa?" Jonathan gugup, salah tingkah karena ketahuan sedang melamun lagi. "Ibu yang seharusnya bertanya? Kamu kenapa? Sejak kamu datang, Ibu sudah memperhatikan kamu, dan kamu sering melamun. Kamu sedang ada masalah dengan Raline?" Jonathan menggeleng. "Jonathan hanya sedang memikirkan masalah di kantor, Bu. Hubungan Jonathan dan Raline baik-baik saja, Bu." Aliya mengangguk, mempercayai ucapan Jonathan tentang hubungannya dengan Raline yang katanya baik-baik saja. Aliya meraih kedua tangan Jonathan, lalu menggenggam erat kedua telapak tangannya. "Jonathan, kamu tahu kan kalau Ayah dan Ibu sudah tua?" "Tentu saja Jonathan tahu, Bu, kalau kedua orang tua Jonathan sudah tidak lagi muda." Pertanyaan Aliya membuat Jonathan tahu, ke mana arah selenjutnya pembicaraan ini. "Kamu dan Raline masih belum mau memiliki anak?" Aliya menatap lekat Jonathan, dan Jonathan sama sekali tidak terlihat terkejut begitu mendengar pertanyaan Aliya. Ini bukan kali pertama Aliya mengajukan pertanyaan tersebut, itulah alasan Jonathan tidak terkejut. "Entalah, Bu," jawab lirih Jonathan. Sebenarnya Jonathan ingi memberitahu Aliya jika ia tidak mau memiliki anak, tapi Jonathan takut jika ucapannya akan menyakiti perasaan Aliya. "Ibu sudah berbicara dengan Raline, dan dia bilang kalau dia sudah siap untuk menjadi Ibu." Sebelum berbicara dengan Jonathan, Aliya sudah terlebih dahulu berbicara dengan Raline. Aliya bisa merasakan perbedaannya. Raline terlihat sekali sangat bersemangat ketika membahas tentang rencana memiliki anak, berbeda dengan Jonathan yang terlihat sekali sangat tidak bersemangat, bahkan bisa di katakan jika Jonathan tampak enggan membahas topik tersebut. Aliya jadi bertanya-tanya, apa yang sebenarnya saat ini ada dalam pikiran Jonathan? Apa Jonathan takut untuk menjadi seorang ayah? Atau Jonathan memang tidak mau memiliki anak? Atau ada alasan lainnya? Jonathan hanya diam. "Apa yang sedang kalian berdua bicarakan?" Aliya menoleh, sedangkan Jonathan sama sekali tidak menoleh pada Saka. Saka menghampiri keduanya, lalu duduk di hadapan istri juga putranya. "Jonathan mau istirahat dulu di kamar." Tanpa menunggu tanggapan dari Saka dan Aliya, Jonathan berlalu pergi meninggalkan ruang keluarga. "Ibu belum menjawab pertanyaan Bapak, apa yang Ibu dan Jonathan bicarakan?" "Ibu hanya bertanya, apa Jonathan dan Raline sudah mau memiliki anak atau tidak?" Saka menghela nafas panjang sambil menggeleng, tak menyangka jika Aliya akan bertanya seperti itu lagi pada Jonathan. "Bu, Jonathan memang anak kita, tapi bukan berarti kita berhak ikut campur dalam urusan rumah tangga Jonathan dan Raline. Jonathan sudah besar, dia sudah dewasa, jadi Bapak yakin, Jonathan pasti tahu apa yang harus dia lakukan dan tidak dia lakukan. Jonathan pasti memiliki alasan yang kuat kenapa memilih untuk belum mau memiliki anak sampai sekarang." "Ibu tahu, Pak," balas lirih Aliya. "Ibu hanya penasaran, kenapa Jonathan dan Raline belum juga mau memiliki anak? Padahal mereka berdua sudah cukup lama menikah." Sebenarnya bukan hanya Aliya yang merasa penasaran, tapi Saka juga penasaran. Hanya saja, Saka tidak mau terlalu ikut campur dalam urusan rumah tangga Jonathan dan Raline. *** Liora bangun ketika jam makan siang tiba. Setelah merapikan penampilannya, Liora pergi ke kamar Melinda untuk memeriksa bagaimana sang sahabat. "Mel," panggil Liora yang sekarang sudah duduk di samping Melinda. "Lo mau makan apa?" tanyanya sambil membuka aplikasi pemesan makanan. Melinda menjawab pertanyaan Liora dengan gumaman. Atensi Liora awalnya tertuju pada ponsel, tapi begitu mendengar Melinda merintih kesakitan, perhatian Liora pun sepenuhnya tertuju pada Melinda. Liora menempelkan, telapak tangannya di kening Melinda ketika melihat ada banyak sekali keringat di sana. "Astaga, dia demam," gumam Liora panik. Liora membangunkan Melinda, dan tak lama kemudian, Melinda terbangun. "Melinda, lo demam. Jadi sebaiknya kita pergi ke rumah sakit." "Enggak usah, Li, gue mau di sini aja, gue enggak mau pergi ke rumah sakit." Jika ia pergi ke rumah sakit maka besar kemungkinan besar dokter akan tahu apa yang baru saja terjadi padanya, dan itu artinya, Liora juga akan tahu. Melinda tidak mau itu terjadi, itulah alasan Melinda menolak ajakan Liora. "Mel, lo sakit," ucap Liora lemah lembut. "Gue yakin, setelah nanti minum obat, demamnya pasti akan turun." "Lo beneran enggak mau pergi ke rumah sakit?" "Iya, Liora. Gue mau di sini aja." "Ya udah kalau begitu, gue pesan makan siang dulu untuk kita berdua dan setelah itu lo harus minum obat." "Ok." "Tapi kalau nanti demam lo enggak turun, kita ke rumah sakit ya." "Ok, kita akan ke rumah sakit kalau demam gue enggak turun juga." Melinda sedang sakit, jadi Liora membelikan Melinda bubur. 1 jam sudah berlalu sejak Melinda dan Liora selesai makan siang. Setelah menerima telepon dari atasannya, Liora kembali memasuki kamar Melinda. "Mel." "Iya, kenapa?" "Malam ini gue enggak bisa nemenin lo," jawab Liora yang kini terlihat sekali sangat sedih. Liora ingin sekali menemani Liora, tapi ternyata malam ini ada acara penting yang harus ia hadiri. "Ya udah enggak apa-apa," balas Melinda sambil tersenyum tipis. "Maaf ya karena gue enggak bisa nemenin lo." Liora merasa bersalah karena tidak bisa ada di samping Melinda saat Melinda membutuhkannya. "Liora, jangan merasa bersalah. Gue enggak apa-apa kok, tapi sebelum lo pergi, gue cuma mau minta tolong, tolong lo hubungi Gerry, kasih tahu dia tentang kondisi gue, dan minta supaya dia ke sini." "Ok, gue akan telepon Gerry sekarang juga." "Terima kasih." "Sama-sama," balas Liora. Liora keluar dari kamar Melinda, lalu menghubungi Gerry, sesuai dengan arahan Melinda. "Halo, Liora." "Hai, Ger. Sekarang lo ada di mana?" "Gue ada di rumah, kenapa?" "Apa lo bisa datang ke apartemen Melinda?" "Kenapa lagi dia?" Gerry yakin, pasti sudah terjadi sesuatu yang buruk pada Melinda. "Dia demam, Ger." "Demam?" "Iya, Melinda demam." "Ok, gue akan ke sana sekarang juga." "Jangan, lama-lama ya." "Iya, gue langsung berangkat kok." 15 menit kemudian, Gerry sampai di apartemen Melinda. "Liora, mana Melinda?" tanya Gerry ketika melihat tempat tidur dalam keadaan kosong, dan Melinda tidak ada di sekitarnya. "Dia lagi mandi, Ger." Liora menjawab pertanyaan Gerry sambil menunjuk kamar mandi, tempat di mana Melinda berada. "Dia mandi?" Teriak Gerry menggelegar. Liora sudah tahu kalau Gerry pasti akan berteriak, jadi ketika Gerry berteriak. "Iya, dia lagi mandi." "Katanya dia demam? Terus kenapa harus mandi?" "Dia bilang badannya lengket, makanya dia mandi." Liora sudah melarang Melinda mandi, tapi Melinda tidak mau mendengar laranganya. Gerry sudah datang, jadi Liora pun pergi. Gerry mengantar kepergian Liora sampai lift, dan setelah itu bersantai di ruang keluarga, menunggu Melinda selesai dengan kegiatannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD