2 minggu sudah berlalu sejak Jonathan dan Melinda bertemu, lalu keduanya sepakat untuk melupakan semua kejadian yang sudah terjadi di antara mereka berdua. Lebih tepatnya, Melinda yang meminta supaya Jonathan melupakan semua kejadian tersebut.
Raline yang baru saja keluar dari lift dibuat panik ketika melihat Jonathan melangkah keluar dari ruang makan. Raline berlari mengejar Jonathan, bernafas lega ketika berhasil menyusul Jonathan.
"Mas, kamu mau langsung pergi ke kantor? Kamu enggak mau sarapan dulu?"
"Enggak!" Jonathan menjawab singkat pertanyaan Raline.
Raline akan kembali berbicara, tapi mengurungkan niatnya tersebut ketika melihat Jonathan mengangkat tangan kanannya sebagai isyarat supaya Raline diam.
Jonathan meminta Raline diam karena Jonathan akan mengangkat panggilan dari Bian. "Ada apa, Bian?" tanyanya sambil terus melangkah menuju mobilnya.
"Jangan sampai terlambat. Ingat! Pagi ini ada meeting penting yang harus kita hadiri."
"Gue enggak akan datang terlambat, ini udah mau berangkat ke kantor, kok."
"Ck, lo baru mau berangkat. Gue dong, udah ada di kantor sejak 10 menit yang lalu," ucap Bian dengan rasa bangga.
"Ya lo memang harus datang sebelum gue datang. Lo kan harus memastikan jika meeting kita nanti berjalan lancar."
"Iya sih," balas Bian lesu, tidak semangat seperti sebelumnya.
"Ya udah, bye." Tanpa menunggu tanggapan dari Bian, secara sepihak, Jonathan mengakhiri sambungan teleponnya dengan Bian.
"Jalan, Pak." Perintah Jonathan pada sang supir.
"Baik, Tuan." Pak Muh melajukan mobil menuju kantor milik Jonathan.
Raline menatap kepergian Jonathan dengan raut wajah masam. Raline kesal karena rencananya untuk sarapan bersama sang suami harus gagal lagi.
Kemarin Raline tidak bisa sarapan bersama Jonathan karena Raline bangun kesiangan, lalu pagi ini ketika Raline bangun pagi, Jonathannya malah pergi ke kantor.
"Sebenarnya dia kenapa? Kenapa akhir-akhir ini dia jauh lebih menyebalkan dari biasanya?" gumam Raline bingung.
Akhir-akhir ini Raline merasa jika Jonathan sangatlah menyebalkan. Jauh lebih menyebalkan dari minggu-minggu sebelumnya.
Begitu sampai di kantor, Jonathan langsung pergi menuju ruang meeting bersama Bian yang tadi menunggu kedatangan Jonathan di loby kantor.
Tak terasa, 2 jam sudah berlalu sejak meeting dimulai.
"Kita akhiri meeting hari ini cukup sampai di sini," ucap tegas Jonathan. "Bian, tolong kamu atur ulang meeting selanjutnya."
"Baik, Pak." Bian menyahut cepat.
Jonathan dan Bian terlebih dahulu meninggalkan ruang meeting.
Jonathan sudah berada di ruang kerjanya, begitu juga dengan Bian.
"Sial, kenapa wajahnya terus terbayang dalam benak gue?" Jonathan mengacak kasar rambutnya, kesal karena wajah Melinda terus memenuhi pikirannya.
Selama meeting tadi, Jonathan mencoba fokus pada materi yang sedang dibahas, tapi dengan lancang, otaknya malah terus membayangkan tentang Melinda, Melinda, dan Melinda.
Bian bahkan sempat menegur Jonathan karena Jonathan tidak fokus.
"Gue harus cari tahu siapa dia sebenarnya." Tekad Jonathan sudah bulat, Jonathan akan mencari tahu siapa sebenarnya Melinda? Di mana alamat tempat tinggalnya yang asli? Apa pekerjaannya? Siapa orang tuanya? Dan hal-hal lainnya.
Jonathan tidak akan meminta Bian untuk mencari tahu tentang Melinda, karena Jonathan tidak mau Bian tahu tentang apa yang sebenarnya sudah terjadi antara dirinya dan Melinda.
Jika Jonathan meminta Bian mencari tahu tentang melinda, pasti Bian akan mengajukan banyak sekali pertanyaan, siapa Melinda? Apa hubungan Jonathan dengan Melinda? Kenapa Jonathan mencari tahu tentang Melinda? Lalu pertanyaan-pertanyaan lainnya. Kalau Jonathan tidak memberi tahu Bian, pasti Bian akan mencari tahunya sendiri. Lalu, jika Jonathan mengarang cerita tentang siapa sebenarnya Melinda, Bian juga akan mencari tahunya, guna memastikan, apa semua ucapan Jonathan benar atau tidak.
"Edwin," ucap Jonathan tanpa sadar. Tiba-tiba nama Edwin terlintas dalam benak Jonathan, dan setelah Jonathan pikirkan secara matang-matang, sepertinya Edwin bisa membantunya untuk mencari tahu tentang Melinda.
Edwin adalah salah satu orang kepercayaan Jonathan.
Jonathan meraih ponselnya, lalu menghubungi Edwin.
"Halo, Edwin. Ini saya, Jonathan."
"Iya, Tuan Jonathan, ada yang bisa saya bantu."
"Saya mau minta bantuan kamu, apa kamu bisa membantu saya?"
"Tentu saja, Tuan. Bantuan apa yang Tuan butuhkan?"
"Saya mau kamu mencari tahu semua informasi tentang seorang wanita, fotonya akan saya kirimkan setelah pembicaraan kita selesai."
"Baik, Tuan. Saya akan segera mencari tahunya."
"Saya mau, sore ini kamu sudah bisa mendapatkan hasilnya, Edwin."
"Akan saya usahakan agar bisa selesai hari ini juga, Tuan."
"Saya tunggu kamu di kantor saya."
"Baik, Tuan."
"Tapi saya mau, jangan sampai ada orang lain yang tahu tentang pembicaraan kita kali ini, apa kamu paham?"
"Saya paham, Tuan."
Setelah mendengar jawaban Edwin, sambungan telepon antara kedua pria tersebut pun berakhir.
Jonathan mengirimkan foto Melinda pada Edwin, dan setelah itu, Jonathan kembali melanjutkan pekerjaannya yang masih menumpuk.
"Baiklah, sekarang mari kita fokus bekerja." Jonathan bergumam, menyemangati dirinya sendiri supaya bisa fokus pada pekerjaannya.
Siang ini, Jonathan tidak pergi makan siang di luar kantor seperti Bian. Pekerjaannya yang masih banyak membuat Jonathan malas pergi makan siang di luar. Seusai makan siang, Jonathan kembali bekerja.
Hari ini, Jonathan bisa lebih fokus dari hari sebelum-sebelumnya, jadi pekerjaan Jonathan yang tadinya sangat menumpuk sudah berkurang.
Jonathan sedang fokus bekerja saat pintu ruang kerjanya di ketuk sebanyak 3 kali.
"Masuk!" Teriak Jonathan.
Pintu ruang kerja Jonathan terbuka, dan ternyata yang datang adalah Bian.
"Ada apa?" Jonathan hanya melirik Bian, setelah itu fokusnya kembali tertuju pada dokumen di hadapannya.
"Lo enggak pulang?"
"Lo pulang duluan aja, pekerjaan gue masih banyak."
"Lo mau lembur?"
Jonathan menggeleng. "Enggak, kok. Gue enggak akan lembur, sebentar lagi juga gue mau pulang."
Jonathan tidak akan mengatakan pada Bian jika malam ini ia akan lembur, karena Bian pasti akan menawarkan diri untuk menemaninya. Kemungkinannya memang tidak besar, tapi juga tidak kecil. Jonathan mau Bian cepat pulang supaya Edwin yang sejak 30 menit lalu sudah berada di basement bisa datang menemuinya. Jonathan sudah tidak sabar untuk melihat semua informasi yang Edwin bawa.
"Ya udah, gue pulang duluan ya."
"Ok, hati-hati."
"Siap."
Bian keluar dari ruangan Jonathan, dan saat itulah Jonathan beranjak bangun dari duduknya, lalu mengintip kepergian Bian.
Setelah memastikan jika Bian memasuki lift, lalu lift tersebut bergerak turun, Jonathan segera menghubungi Edwin, meminta supaya Edwin datang ke ruangannya sekarang juga.
Tak sampai 5 menit kemudian, Edwin sampai di ruangan Jonathan.
"Silakan duduk, Edwin." Jonathan mempersilakan Edwin duduk di sofa yang ada di hadapannya.
Edwin mengucap terima kasih, lalu duduk di hadapan sang atasan. Edwin meraih sebuah amplop cokelat dari dalam tasnya, kemudian menyerahkan amplop tersebut pada Jonathan.
"Apa ada yang tahu tentang hal ini?" Jonathan menatap lekat Edwin, memberi sang tangan kanan tatapan mengintimidasi yang kuat.
Dengan cepat, Edwin menggeleng. "Tidak ada, Tuan. Sesuai permintaan Tuan, saya tidak memberi tahu siapa pun, dan tidak akan memberi tahu siapa pun, sekali pun itu pada Bian, Tuan."
"Bagus, terima kasih banyak, Edwin."
"Sama-sama, Tuan. Kalau begitu saya permisi."
"Silakan."
Edwin keluar dari ruang kerja Jonathan, setelah memastikan jika pintu ruang kerjanya tertutup, Jonathan menguncinya, lalu pergi menuju kamarnya.
Malam ini Jonathan memutuskan untuk tidur di kantor.
Jonathan duduk di sofa yang menghadap langsung ke arah jendela kamar. Jonathan baru saja akan membuka amplop di tangannya begitu mendengar ponselnya berdering. Dengan perasaan malas, Jonathan meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja, menghela nafas kasar saat melihat nama Ralinelah yang tertera di layar ponselnya.
"Ada apa?"
"Kenapa belum pulang? Ini sudah malam loh, sebentar lagi jam makan." Raline berharap kalau malam ini Jonathan akan pulang, jadi mereka bisa makan malam bersama.
"Malam ini aku lembur, jadi aku enggak akan pulang."
"Kamu mau lembur, Mas?"
"Iya, aku mau lembur."
Pembicaraan antara Jonathan dan Raline tak berlangsung lama, hanya berlangsung sekitar 3 menit.
Raline kecewa karena Jonathan tidak pulang, dan rencana makan malamnya dengan Jonathan gagal total, tapi Raline tidak bisa melakukan apapun selain pasrah.
Jonathan baru saja akan kembali meletakkan ponselnya di meja ketika ponselnya kembali berdering. Kali ini bukan Raline yang menghubungi Jonathan, tapi orang tua Raline, lebih tepatnya Ayahnya Raline, bapak mertua Jonathan, Chandra.
Chandra sangat jarang menghubungi Jonathan. Pria paruh baya tersebut hanya akan menghubungi Jonathan jika ada hal penting yang ingin disampaikan. Jonathan penasaran, ingin tahu apa yang akan Chandara bicarakan dengannya, karena itulah Jonathan segera mengangkat panggilan dari Chandra.
Chandra terlebih dahulu menyapa Jonathan. Jonathan membalas sapaan Chandra, lalu kedua pria tersebut berbasa-basi, saling menanyakan kabar satu sama lain.
"Jonathan, apa hari sabtu ini kamu sibuk?"
"Hari sabtu, Jonathan sama sekali enggak sibuk, Pah. Memangnya ada apa?" Jonathan menjawab jujur pertanyaan Chandra.
"Hari minggu, Papah sama Mamah mau ke Bandung. Kita berdua mau menghadiri acara pernikahan anak temannya Mamah, dan Mamah maunya kamu sama Raline juga ikut ke sana. Katanya, sekalian jalan-jalan."
Jonathan memijat pelipisnya yang dalam sekejap berubah menjadi pusing. Sekarang Jonathan menyesal karena sudah menjawab jujur pertanyaan Chandra. Jika tahu kalau Chandra akan mengajaknya pergi ke luar kota, Jonathan pasti akan mengatakan jika hari sabtu ia memiliki acara. "Kita berangkat ke Bandungnya hari sabtu, Pah?"
"Iya, Jonathan. Kita akan berangkat ke Bandungnya hari sabtu pagi, dan pulang kembali ke Jakarta hari minggu siang. Bagaimana? Apa kamu dan Raline bisa ikut?"
"Tentu saja bisa, Pah." Sekarang Jonathan tidak mungkin menolak ajakan Chandra.
"Syukurlah kalau kamu bisa ikut, Papah senang mendengarnya. Terima kasih banyak, Jonathan."
"Sama-sama, Pah."
Jonathan meletakkan ponselnya di meja begitu sambungan teleponnya dengan sang Papah mertua berakhir. Sekarang fokus Jonathan kembali tertuju pada amplop yang ada di tangan kanannya.
"Mari lihat isinya," ucap Jonathan sambil membuka amplop tersebut secara tergesa-gesa.
"Jadi, siapa nama lengkapnya?" Jonathan lalu membaca laporan lengkap yang Edwin buat.
"Melinda Putri Dwi Hartanto," gumam Jonathan sambil tersenyum tipis. "Namanya cantik, secantik orangnya. Jadi, apa pekerjaan Melinda saat ini?"
Kedua mata Jonathan melotot, terlalu terkejut begitu tahu apa pekerjaan Melinda. "s**t! Ternyata dia seorang model."
Jonathan benar-benar shock, sama sekali tidak menyangka jika ternyata Melinda adalah seorang model, sama seperti istrinya, Raline, meskipun sekarang Raline sudah tidak aktif lagi di dunia modeling.
"Pantas saja wajahnya terasa sangat familiar." Saat pertama kali bertemu dengan Melinda di mall, Jonathan sudah merasa jika dirinya pernah melihat Melinda, dan sekarang Jonathan tahu di mana ia pernah melihat sekaligus bertemu Melinda sebelumnya.