Adikku, Istriku

Adikku, Istriku

book_age18+
1.5K
FOLLOW
17.4K
READ
bisexual
like
intro-logo
Blurb

Kisah hidup Afi yang penuh lika-liku memberikan banyak pelajaran hidup pada pembaca. Menolak perjodohan, menghadapi aksi balas dendam pria yang tidak disukainya, bertemu pasangan hidup yang baik, hingga membina rumah tangga dengan pria yang dianggapnya kakaknya sendiri. Rumah tangganya pun diwarnai dengan berbagai ujian kesehatan, ekonomi, dan ujian yang bertubi-tubi hingga Afi mengira ini adalah karma karena membangkang dengan orangtua dengan menolak perjodohan. Adi, tampil menjadi suami yang gagah berwibawa, tabah menghadapi ujian hidup. Perlahan ujian-ujian mampu mereka hadapi bersama. Arif pun menunjukkan sifat aslinya, menikahi kembang desa. Arif menjadi suami yang angkuh dan kasar. Rumah tangganya akhirnya hancur. Orangtua Afi akhirnya menyadari bahwa keputusan Afi menolak perjodohannya adalah hal yang tepat.

chap-preview
Free preview
PERJODOHAN
"Kata ibu, dia orang yang ganteng, baik, dan mandiri. Tidak ada ada alasan untuk menolaknya." Itu kalimat yang terngiang-ngiang di telingaku. Curhatan Afi semalam begitu mengganggu fikiranku. Tak ku sangka bapak dan ibu secepat itu akan menikahkannya. Lamunanku terhenti saat adikku keluar dari gerbang sekolahnya. Kubonceng dia menuju ke rumah dengan banyak obrolan di sepanjang perjalanan. Tentu dengan segala topik pembicaraan, tak lupa pula kutanyakan kronologi perjodohan yang diceritakannya semalam. ‘’Kok tiba-tiba banget to, dek?’’ Tanyaku penasaran. ‘’Sebenarnya gak tiba-tiba banget sih, kak. Udah sekitar dua tahun ini dia PDKT, tapi gak adek respon.’’ Afi lalu bercerita panjang lebar mengenai alur perjodohannya. Sejak dua tahun ini Arif memang mendekatinya, namun tak mendapatkan respon. Lalu dengan cara yang sopan, salah satu keluarga Arif menanyakan kesanggupan Bapak untuk menikahkan Afi dengan Arif secara lisan. Walaupun tidak secara resmi karena hal tersebut dilakukan saat terjadi percakapan di sawah. Namun, di daerah kami hal tersebut sudah dianggap sebagai sebuah lamaran. Bapak tentu dengan bijak tidak menjawab begitu saja dan menanyakan kesediaan Afi. Tapi dari ceritanya, seperti Bapak dan Ibu ingin menerima permintaan itu. Jadi, seolah terjadi perjodohan antar orangtua. ‘’Kenapa adek gak terima aja?’’ Afi yang masih duduk di boncengan motorku selalu menjawab dengan cerita panjang lebar. Sementara aku selalu menanggapinya dengan sebuah pertanyaan. Dari kesimpulan yang dapat kuambil, Afi menilai bahwa sebenarnya Arif adalah pemuda yang baik dan sopan. Dia juga cukup ganteng seperti pemuda pada umumnya. Selain itu dia juga mandiri dan pekerja keras. Dia membantu bibinya di salah satu perusahaan kayu yang cukup sukses dan mapan. Dari hasil kerja kerasnya Arif dapat membeli motor Nanja Kamasaki yang sedang trend digunakan remaja saat ini. ‘’Ya berarti ibu gak salah to dek? Seandainya ibu bilang tidak ada alasan untuk menolaknya?’’ Afi tentu dengan cepat menjawab semua pertanyaanku dan meluapkan semua pendapatnya. ‘’Dia itu perokok dan pemabuk. Dia muslim tapi gak menjalankan syariat Islam dengan sungguh-sungguh. Selalu bangun siang dan sepertinya jarang sholat. Sering juga pergi happy-happy sama teman-temannya sampai mabuk-mabukan!’’ Jawab Afi dengan nada sedikit emosional. ‘’Wah separah itu? Darimana adek tahu semua itu?’’ Tanyaku lagi. ‘’Tiap berangkat sekolah adek lewat depan rumahnya. Pintu rumanhnya kebuka dan dia masih tidur di ruang tamu depan TV. Kalau perokok udah jelas lah, tiap hari ngebul kok. Adek cuma pernah lihat dia jamaah di masjid pas Romadhon sama Idul Fitri aja. Selebihnya gak pernah muncul tuh!’’ Kali ini Afi menjawab dengan nada agak tinggi. ‘’Terus kalau soal dia sering juga pergi happy-happy sama teman-temannya sampai mabuk-mabukan, adek tahu darimana?’’ Tanyaku lagi. Sepertinya cukup jarang pemuda di daerah kami yang seperti itu. Meskipun aku jarang di rumah, tapi sepertinya agak berlebihan jika itu semua adalah fakta. ‘’Adek sering ngobrol sama adeknya Arif. Dia temen seminar Matematika waktu di Solo. Dia cerita banyak soal abangnya. Abangnya baik, sering ngasih uang jajan ke dia. Katanya kerjanya juga rajin. Sering bantu orangtua juga di sawah. Tapi emang kehidupan sama teman-temannya ya begitu.’’ Nada bicara Afi agak turun dan terkesan kurang bersemangat lagi bercerita. Di rumah aku bertemu dengan ibu dan bapak. Keduanya sudah kuanggap seperti orangtuaku sendiri. Setelah menanyakan kabar Papa dan Mama, kami ngobrol sedikit dan aku pamit pulang. Hubungan kami cukup dekat. Afi sudah kuanggap seperti adikku sendiri. Saat pemberkasan kuliah, dia yang selalu kurepotkan untuk mengirimkan berkas-berkasku yang kurang. Kadang kuminta juga dia untuk mengirimkan barang-barang pentingku yang masih tertinggal di rumah. Awal masuk akademi kepelayaran, kegiatanku sangat padat sehingga aku tidak sempat pulang. Jadilah Afi yang banyak membantuku. Sebagai balasan kebaikanku, saat ada kesempatan pulang aku mampir ke rumahnya dan membawakannya oleh-oleh. Buku, novel, dan es krim adalah kesukaannya. Begitulah hingga akhirnya kami dekat satu sama lain. Begitu pula dengan bapak ibunya Afi. Saat mampir,beliau selalu menyambutku dengan hangat. Papa mamaku juga senang karena ada Afi yang banyak membantuku. Afi juga anak yang sopan dan pandai ngobrol, mudah akrab dengan orangtua. ‘’Tidak ada alasan keluarga Arif memaksa adek untuk menerimanya. Kalau adek gak bisa, gak usah.’’ Obrolan kami berlanjut di chat. Aku faham betul bagaimana adat dan budaya di daerah kami. Sebagai gadis desa, Afi sudah cukup matang untuk menikah. Setelah lulus SMA, gadis di desa kami lalu menikah. Kebanyakan menikah dengan pemuda satu desa atau dengan pemuda dari desa sebelah. Belum membudaya perempuan muda bekerja atau melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi. Kemudian menolak pinangan tetangga adalah hal yang sangat berat bagi bapak dan ibu, apalagi hal tersebut langsung melibatkan orangtua kedua belah pihak. Bisa saja muncul permusuhan diantara keduanya. Maka dari itu Bapak dan Ibu terus membujuk dan terkesan memaksa Afi untuk menerima pinangan ini. Bahkan setelah Afi menjelaskan sisi negatif pemuda itu, Bapak dan Ibu masih mampu menjawab bahwa manusia memiliki kekurangan dan dapat diperbaiki. Tapi menurutku, jika kaitannya dengan kewajiban sebagai muslim saja tidak dipenuhi, lalu bagaimana kewajiban-kewajibannya yang lain. Terus ku kompori adekku itu agar terus teguh pada pendiriannya. ‘’Nduk, tidak elok menolak pinangan anak tetangga. Kita tidak punya alasan untuk menolaknya. Kamu sudah mau selesai sekolah, nduk!’’. Ku dengar suara ibu dengan jelas. Afi meneleponku tapi diam saja, justru suara ibu yang terdengar. Aku diam saja dan menyimak percakapan keduanya melalui telepon. ‘’ Arif itu pemabuk, bu. Dia juga gak tertib sholatnya. Bangunnya lho siang-siang. Dia emang udah kerja, udah punya penghasilan. Tapi kalau pemabuk, perokok, gak sholat, berarti dia bukan laki-laki baik to bu?’’ Suara Afi dengan nada penuh tekanan. ‘’Kalau nanti sudah menikah, kan bisa dinasehati to, nduk? Bisa diajak sholat, diminta berhenti minum. Kalau perokok kan gak apa-apa to, nduk? Kan gak haram, banyak juga teman-temannya yang merokok.’’ Dari kalimatnya, Ibu masih tetap dengan pendiriannya. ‘’Bu,…..!’’ Afi terdengar memanggil Ibu dengan suara panjang dan dilanjutkan menarik nafas panjang. ‘’Piye to nduk? Sekolahmu sudah mau selesai, mau apa lagi kalau tidak menikah? Mau dengan siapa lagi kalau tidak dengan dia?’’ Tanya Ibu masih dengan suara khas lembutnya. ‘’Bu, izinkan Afi menyampaikan pendapat dan rencana Afi!’’ Pinta Afi. Kudengar ada suara berisik juga mengiringi percakapan mereka. Sepertinya percakapan ini dilakukan di tengah aktivitas mencuci piring dan kegiatan bersih-bersih. ‘’Pendapat apa nduk? Kamu punya rencana apa?’’ Ibu terdengar menyalakan kran air, namun suaranya masih dapat kufahami dari telepon yang ku loudspeaker. ‘’Bu, Mas Arif yang ibu anggap baik itu memang punya kelebihan dan kekurangan. Dia perkejaannya mapan, betul. Dia ganteng, juga betul. Bolehlah juga dikatakan dia ganteng. Tapi karakter dia yang perokok, pemabuk, agamanya kurang baik, Afi gak suka. Suami itu nantinya yang menjadi imam dalam keluarga. Kenapa malah Afi yang harus menasehatinya? Afi pengennya jodoh itu sampai mati. Pernikahan sekali seumur hidup. Bukan soal pekerjaan yang mapan saja, tapi juga pribadi yang baik dan sholeh.’’ Jawab Afi panjang lebar. Aku cukup tersentak kaget mendengar Afi. Ternyata pemikirannya mengenai jodoh dan pernikahan sangat dewasa. Kutunggu suara ibu maupun Afi tak kunjung ada yang berbicara lagi. Cukup lama hingga Ibu yang memulai lagi. ‘’Lalu bagaimana cara ibu menolaknya, nduk? Kamu harus memiliki calon lain agar kita tidak terkesan menghina.’’ Tanya Ibu. ‘’Biar Afi fikirkan dulu. Ibu dan Bapak tolong berhenti memaksa. Afi bisa mngatasi Arif sendiri. Semua akan baik-baik saja.’’ Jawab Afi disusul bunyi tut…tut. Dia menutup teleponnya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
214.2K
bc

Papa, Tolong Bawa Mama Pulang ke Rumah!

read
4.5K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
152.5K
bc

My husband (Ex) bad boy (BAHASA INDONESIA)

read
295.0K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
171.8K
bc

Ketika Istriku Berubah Dingin

read
3.6K
bc

TERNODA

read
193.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook