Seringaian senang terlihat di wajah Drake. Meskipun perdamaian bukan yang ia inginkan, tapi pengakuan kekalahan pihak lawan cukup memuaskan hatinya. Drake kembali meraih kemenangan dengan kedua tangannya serta bantuan dari para prajuritnya.
"Kembali ke kerajaanmu dan katakan pada Raja George untuk menyiapkan jamuan makanan mewah untuk pasukan kerajaan Artemis." Suara Drake terdengar tenang, tapi menyiratkan kekuatan dan kesombongan, memaksa siapa pun yang mendengar suaranya bergidik ngeri.
Utusan dari kerajaan Onyx yang kini tengah berlutut di depan Drake menjawab hati-hati. "Baik, Jenderal Agung."
"Kau bisa pergi sekarang." Drake membalik tubuhnya, membelakangi sang utusan yang kini berdiri dan memberi hormat padanya.
"Hamba permisi, Jenderal Agung." Utusan itu pergi.
"Kirim pesan pada Raja Arland bahwa kerajaan Onyx telah berhasil ditaklukan." Drake bicara pada satu-satunya orang lain yang ada di tenda itu.
"Baik, Jenderal Agung." Jade —penjaga sekaligus salah satu jenderal kepercayaan Drake— segera menjalankan perintah.
Seperginya Jade, Drake duduk di kursi kayu yang ada di tendanya. Wajahnya yang dingin terlihat semakin angkuh. Ia meraih pedangnya, kemudian mengeluarkan sebuah sapu tangan dan mulai membersihkan pedang itu.
Drake memandangi senjatanya yang tak memiliki mata. Dengan senjata itulah ia berhasil meraih banyak kemenangan. Senjata yang sudah menemaninya sejak usianya 15 tahun. Yang sudah merenggut entah berapa ribu nyawa. Yang sudah dibasahi oleh darah-darah musuhnya.
Drake mendapatkan pedang itu dari guru beladirinya yang tak lain adalah mantan jenderal Agung yang kini menjabat sebagai Perdana Menteri. Ia memiliki banyak pedang yang ia dapatkan dari berbagai kerajaan yang ia taklukan, tapi hanya pedang ditangannya yang ia rasa sangat pas untuk menggambarkan dirinya.
Terdapat ukiran naga pada hulu pedang itu. Sebuah ukiran yang dibuat khusus oleh seorang pembuat pedang ternama yang kini sudah tiada. Naga, begitulah Drake digambarkan oleh sang pembuat pedang.
Usai membersihkan pedangnya Drake keluar dari tenda. Ia berkeliling melihat para prajuritnya yang bersuka cita atas kemenangan yang mereka raih. Sebagian dari pasukannya merayakan dengan minum arak, sedang sebagian lainnya merayakannya dengan melakukan lomba gulat.
Drake tertarik. Ia melangkah ke arena gulat yang dibentuk oleh prajuritnya. Ketika Drake mendekat, prajurit segera memberikan jalan.
"Kalahkan aku. Dan akan aku berikan 1000 koin emas untuk siapa saja yang bisa mengeluarkan aku dari lingkaran maka." Drake menantang para prajuritnya, ia melangkah membentuk lingkaran dengan pedangnya.
Hadiah yang Drake tawarkan begitu menggiurkan. Meski tahu kemampuan diri sendiri, para prajurit mencoba untuk mencoba peruntungan diri mereka. Siapa tahu keajaiban terjadi dan mereka bisa memiliki 1000 koin emas.
Drake membuka zirah perangnya. Melemparkan zirah itu ke samping lalu kemudian disusul oleh pedangnya. Dadanya yang kokoh kini diterangi oleh cahaya mentari yang membuatnya semakin terlihat gagah. Percayalah jika wanita yang melihat penampilan Drake saat ini mereka pasti akan mengeluarkan darah dari hidung mereka. Drake gambaran manusia yang memiliki ketampanan seperti di dalam lukisan.
Tubuh kokoh, alisnya sehitam tinta, mata abu-abu yang bersinar seperti bintang, hidung runcing yang indah, serta bibir berwarna merah yang menggiurkan untuk dicicipi bagaimana rasanya. Ketampanannya benar-benar fatal. Dipadu dengan aura dingin yang semakin membuat Drake terlihat mengesankan.
Wanita manapun akan jatuh karena pesona Drake. Hanya saja hingga kini tidak pernah ada satupun wanita yang berhasil mendekati Drake kecuali putri Perdana Menteri yang sudah dianggap Drake seperti adiknya sendiri.
Di usia 22 tahun harusnya Drake memiliki istri sah atau banyak selir seperti saudara-saudaranya yang lain. Akan tetapi, sekali lagi Drake tidak tertarik memiliki romansa dengan wanita manapun. Bukan karena ia tidak normal, tapi karena ia tidak ingin menyeret orang lain ke kehidupannya yang buruk. Ia bisa menanggung penderitaan karena ia sudah terbiasa, tapi tidak berlaku pada orang lain. Mungkin orang lain akan bunuh diri jika berada di dalam posisinya.
Tidak, Drake tidak pernah mengeluh tentang hidupnya. Ia menjalani takdirnya dengan baik. Menerima semua tanpa berpikir bahwa langit begitu tidak adil padanya. Hal inilah yang membuat Drake tidak merasa hidupnya seperti di neraka.
Kembali pada tantangan Drake, seorang prajurit memasuki arena. Ia memasang kuda-kuda kemudian bersiap untuk menyerang Drake. Kakinya bergerak, kedua tangannya kini sudah berada di bahu kokoh Drake. Mencoba mendorong Drake dengan sekuat tenaga.
Bibir Drake membentuk senyuman tipis yang tampak mengerikan untuk mereka yang tak terbiasa akan senyuman itu. Drake menggerakan tangannya, menggunakan kekuatannya dan melempar sang prajurit keluar dari lingkaran. Hanya dalam hitungan detik Drake berhasil mengalahkan prajurit itu.
Arena itu semakin bergelora. Drake tidak lelah meladeni para prajuritnya yang bersemangat melawannya. Drake menyukai jiwa prajuritnya yang pantang menyerah. Inilah orang-orang yang telah ia latih dengan keras. Menjadi ksatria tangguh dan pahlawan bagi kerajaan Artemis.
Tak ada satupun prajurit yang bisa melawan Drake. Para jenderal juga sudah mencoba, tapi mereka bahkan tidak bisa memukul Drake mundur dari posisinya. Mereka benar-benar mengagumi Drake. Tidak salah jika nama Drake diagung-agungkan hingga ke pelosok Artemis. Tidak salah pula jika Drake mendapatkan julukan Dewa Perang.
Tubuh Drake dibanjiri oleh keringat. Matahari yang terik membuat kulitnya menjadi mengkilat. Drake semakin terlihat perkasa dengan cahaya mentari yang menyiraminya.
"Kalian harus berlatih lebih giat lagi." Drake meraih baju zirah perangnya dan juga pedangnya kemudian meninggalkan arena gulat.
**
Semua pelayan di istana kerajaan Onyx tengah sibuk menyiapkan jamuan makan untuk para prajurit kerajaan Artemis. Aula utama istana itu dihias dengan indah. Raja George turun tangan sendiri untuk memastikan bahwa persiapan penyambutan para prajurit Artemis tidak akan mengecewakan. Raja George tidak ingin mengambil resiko menghadapi ketidakpuasan dari Jenderal Agung Drake.
"Ayah tidak perlu khawatir. Semuanya sudah diurus dengan baik. Para tirani Artemis tidak akan mengeluh atas penyambutan kita." Lluvena yang menemani Raja George menenangkan ayahnya.
Raja George meraih tangan Lluvena. "Jangan menyebut mereka tirani lagi. Ayah tidak ingin kau mendapat masalah karena hal itu. Dan ya, kita harus menyambut mereka dengan baik. Tunjukan pada mereka bahwa Putri Mahkota kerajaan Onyx bisa menerima kekalahan." Raja George menasehati Lluvena. Ia tidak ingin kehilangan putrinya karena menyinggung penguasa Artemis.
Lluvena menatap mata gusar sang ayah. Ia menarik napas lalu menghembuskannya pelan. "Aku akan melakukan seperti yang Ayah katakan."
Raja George tersenyum tenang. "Kau putri kebanggaan Ayah."
Lluvena mengelus punggung tangan sang ayah. Ia tersenyum sehangat mentari pagi. "Sekarang istirahatlah. Biarkan putrimu ini yang mengawasi kerja para pelayan. Sejak semalam Ayah tidak tidur dengan baik. Ayah tidak ingin membuat kesalahan ketika menyambut para rombongan kerajaan Artemis, bukan?"
Raja George menuruti ucapan Lluvena, meskipun ia yakin ia tidak akan bisa beristirahat dengan tenang. Semakin ia memikirkan rombongan kerajaan Artemis yang makin mendekat ke ibukota, ia semakin cemas. Ia takut jika rakyatnya akan membuat kesalahan dan menyulut kemarahan para rombongan itu.
Raja George pergi. Lluvena kini sendirian. Wanita berambut coklat bergelombang itu melangkah memeriksa setiap pekerjaan para pelayannya. Setelah selesai dari aula, ia pergi memeriksa dapur. Ingin sekali rasanya ia memasukan racun yang paling mematikan ke dalam makanan yang akan disantap oleh orang-orang kerajaan Artemis, tapi ketika ia membayangkan resiko yang akan ditanggung ia hanya bisa menahan keinginan itu.
Waktu berlalu, semua persiapan penyambutan telah selesai dilaksanakan. Berbagai jenis makanan telah tersaji di aula utama istana Onyx. Hiburan juga telah disiapkan dengan baik. Para penari wanita yang cantik dan sexy telah siap menyambut kedatangan rombongan kerajaan Artemis.
Wajah lelah Lluvena sudah lenyap berganti dengan wajah menawan yang siap membuat siapapun yang melihatnya jatuh hati. Lluvena sangat enggan menyambut kedatangan para manusia tirani yang sudah membunuh banyak prajuritnya, tetapi demi ayah dan kerajaannya ia harus menyambut orang-orang itu serta menunjukan keramahan pada mereka. Ia juga harus menerima bahwa kerajaannya yang tidak pernah bisa ditaklukan harus tunduk dibawah kekuasaan kerajaan Artemis.
"Yang Mulia Putri Mahkota, rombongan prajurit Artemis telah memasuki ibukota." Seorang pelayan datang memberitahu Lluvena.
Lluvena menghela napas entah untuk keberapa kalinya. Ia membalik tubuhnya dan menatap ke pelayan terdekatnya. "Ayo kita sambut mereka, Sarah." Lluvena melangkah melewati Sarah yang segera diikuti oleh pelayan setianya itu.