Kamila sedang menyiapkan pakaian kerja untuk suaminya, hal yang biasa ia lakukan setiap pagi kemudian setelah itu mereka akan berangkat ke kantor bersama yang kebetulan satu arah, kantor Kamila lebih dekat dan lalu kantor Ervin setelahnya. Ervin baru saja habis mandi masih menggunakan handuk dan rambutnya yang setengah basah. Setelah acara pernikahan Ervin dan Ghani, pria itu tampak lebih diam dari biasanya. Kamila cukup mengerti dengan tidak bertanya apapun kepada nya, ia sudah tahu kalau selama ini pria itu selalu menuruti kemauan istri nya.
Ervin berganti baju sedangkan Kamila memutuskan untuk berdandan sebelum turun ke bawah untuk sarapan. Ia sesekali melirik Ervin dari kaca rias nya. Pria itu masih diam saja. Hal yang paling tidak nyaman yang terjadi jika suami isteri memutuskan untuk tidak saling tegur sapa dan saling mendiamkan.
“Oh ya, dua minggu lagi aku ada perjalanan bisnis ke luar kota. Kamu masih inget kan?”
Kamila mengangguk, “Iya aku masih inget.”
“Kamu masih inget juga kan kalau kamu janji mau nemenin aku disana? Udah ngambil cuti?”
“Hmm, belum sih. Mungkin hari ini.”
Ervin mengangguk singkat kemudian hendak berjalan keluar kamar.
“Tapi Ghani ikut juga kan?” tanya Kamila.
Ervin menghentikan langkahnya lalu menoleh, “Kenapa harus ngajak dia?”
“Dia kan istri kamu juga.”
“Dipaksa kamu.”
“Please, Vin,”
“Kamu yang harusnya sekarang dengerin aku. Aku udah nurutin mau nya kamu dan sekarang aku cuma minta kamu temenin aku ke luar kota aja masih harus ngajak dia?”
“Aku cuma berpikir kalian butuh honeymoon. Kamu ingat kan tujuan kamu menikah itu untuk apa?”
“Kamu tuh ya, bener-bener deh.” Ervin tidak lagi mau memperpanjang pembicaraan mereka dan langsung memutuskan untuk keluar dari kamar. Kamila mengikuti Ervin dengan langkah pelan menuju meja makan dan mulai mengambil satu lembar roti dan mengolesinya dengan selai cokelat kacang.
“Kamu marah ya?” Kamila bertanya.
Ervin diam saja.
“Sayang.” Kamila mengelus bahu Ervin.
“Marah, karena kenapa kita harus berada di posisi seperti ini.”
“Sabar ya sayang, semua ini ku lakukan demi kebaikan bersama. Kita udah sepakat kan?”
Ervin menatap Kamila cukup lama dan kembali melanjutkan makannya tanpa menjawab pertanyaan dari Istri nya. Kamila tidak memaksa Ervin lagi dan mulai mengikuti suami nya menyantap sarapan dengan roti.
***
Ghania melangkahkah kakinya keluar gedung perkantoran tempat ia bekerja selama tiga bulan terakhir ini, hari ini merupakan hari terakhir masa probation-nya yang tidak dilanjutkan karena Ghani memutuskan untuk resign sesuai kesepakatan dengan Kamila. Yang membuat Ghani terkejut adalah manajer HRD yang menemuinya langsung tadi ternyata saksi yang juga datang dalam pernikahan Ghani dan Ervin.
“Kamu pasti terkejut.” Ujar perempuan berambut panjang lurus itu sambil menyunggingkan senyum yang menawan.
“Saya pernah melihat Ibu sebelumnya.”
Perempuan itu mengangguk, “Iya, saya datang sebagai saksi di pernikahan mu dengan Ervin. Saya juga merupakan teman nya dari Kamila.” Jelas nya. Perempuan itu bernapa Jessica yang merupakan teman akrab nya Kamila dan dulunya mereka juga pernah bekerja bareng dalam satu kantor yang sama.
“Rupanya begitu. Berarti Ibu tahu apa alasan dibalik pernikahan kami?”
Jessica menganggung, “Tentu saja. Sebenarnya dia yang meminta bantuan saya begitu dia tahu kalau kamu ternyata karyawan di perusahaan ini. Saya minta maaf karena telah memberikan informasi pribadi mu kepada Kamila.”
“Bu Kamila sudah memberitahu kan saya lebih dulu, hanya saya cuma agak sedikit terkejut kalau Ibu ternyata juga ada kaitannya dengan ini.”
Jessica memandang Ghani prihatin. “Ghani, are you okay?”
Ghani tersenyum. “Saya baik-baik saja bu, terima kasih saya pamit.”
Begitulah pertemuan singkat Ghani dengan Jessica didalam ruangan nya beberapa jam yang lalu, kini ia telah melepas pekerjaannya dan sekarang hanya bergantung kepada Kamila. Sudah hampir satu bulan berlalu, ia belum bertemu Ervin lagi. Setelah malam itu, pria itu tidak pernah menunjukkan kembali batang hidungnya. Mereka memang sepakat hanya melakukan hubungan ketika Ghani memasuki masa subur. Di dalam hatinya ia sedikit senang karena ia tidak perlu bertemu dengan ptia itu.
Sesampainya di Apartemen yang selalu kosong membuatnya merasa lebih lega karena ia tidak perlu berpura-pura didepan semua orang termasuk pada adik nya sendiri bahwa ia baik-baik saja. Tempo hari Nesya datang menjenguk Ghani membelikannya makanan kesukannya, sejak Nesya bangun dari rumah sakit hubungan mereka perlahan menjadi lebih baik dari sebelumnya yang sempat mendingin. Melihat itu, Ghani berjanji akan menjaga Nesya lebih baik lagi. Seketika, Ghani merindukan adik nya, ia lalu mengeluarkan ponsel kecil nya dari dalam saku blazer dan menghubungi Nesya melalui video call.
“Halo, Ghan? Ada apa?” tanya Nesya yang rupanya sudah sampai rumah.
“Gak lembur, Nes?”
“Enggak, lo udah pulang?”
Ghani mengangguk, “Lo lupa, hari ini kan hari terakhir gue kerja.”
“Oh iya, lupa. Jadi sekarang fokus jadi ibu rumah tangga ya?” Nesya meledek. Sejak ia menceritakan kejadian yang sebenarnya awalnya Nesya menolak keras namun begitu mendengar penjelasan dari Ghani, ia mencoba untuk berpikir dari sisi Ghani dan memilih untuk mendukung keputusan kakak nya itu. Ia berpikir kalau jika dirinya tidak mengalami kecelakaan yang memakan biaya rumah sakit dan operasi yang besar mungkin Ghani tidak akan mengambil keputusan se-berani itu. Sekarang sebagai gantinya, Nesya hanya bisa meledek untuk mencairkan suasana.
“Hmm.” Respon Ghani setiap kali Nesya meledeknya. “Lo tau gak kalau ternyata manager HRD gue juga ikut jadi saksi nikahan gue kemarin.”
“Enggak tau lah, kan gue masih di rumah sakit.”
“Oh ya, ya gitu lah pokoknya. Ternyata dia juga temannya mbak Kamila.”
“Manager lo itu tau alasan yang sebenarnya gak?”
Ghani mengangguk dan kemudian menceritakan percakapan nya dengan Jessica tadi siang. “Terus apa yang lo rasain sekarang?”
Ghani mengangkat kedua bahunya, ia memang benar-benar tidak tahu dengan pasti apa yang dirasakannya saat ini. Rentetan kejadian yang sangat luar biasa dalam hidupnya membuatnya menjadi sulit berpikir, sekarang ia lebih menikmati alurnya dengan perasaannya.
“Ghan, bulan lalu lo haid tanggal berapa?” tanya Nesya tiba-tiba.
“Kenapa tanya begitu?”
“Jawab aja dulu.”
“Hmm lupa, tapi udah dari lewat dari sebulan sih ini.” Jawabnya santai.
“Lo udah telat? Jangan-jangan—”
Ghani memandang Nesya dengan penasaran dan tidak mengerti. “Nes, maksud lo? Gue hamil?”
Keesokan pagi nya, Ghani keluar kamar mandi sambil mengenggam sebuah test pack yang baru saja dia gunakan beberapa menit yang lalu. Hasilnya sungguh membuat Ghani bingung bukan main.
Negative.
Sungguh Ghani tidak tahu harus bagaimana menyikapi ini. Ia menikah untuk disuruh bisa hamil dengan laki-laki lain namun kini dirinya mengetahui bahwa dari hasil tes kehamilan menyatakan dirinya belum hamil. Ghani terduduk lemas di lantai. Bagaimana ia harus menjelaskan dengan Kamila? Apakah perempuan itu akan membatalkan kontraknya? Harusnya ia senang bukan?
Tanpa perlu memikir lebih panjang lagi, Ghani mengambil ponsel nya dan memberitahukan Kamila via telepon. Perempuan itu langsung melesat menuju apartemen dalam beberapa menit saja.
“Saya minta maaf, mbak.” Ujar Ghani tertunduk.
“Kenapa harus minta maaf?”
“Karena saya belum hamil.”
Kamila tersenyum lembut, “Ini baru percobaan pertama, mugkin kemarin waktunya tidak pas apalagi kamu sedang kepikiran dengan keadaan Nesya, mungkin itu menjadi salah satu faktor.”
Ghani diam saja namun ia juga membenarkan perkataan Kamila dalam hatinya.
“Bagaimana kalau honeymoon aja?”
Ghani sontak membelalakan matanya. “Gimana maksudnya mbak?”
“Iya kamu honeymoon sama Ervin. Mungkin itu bisa membantu pembuahan nya. Kalian, terutama kamu harus dalam keadaan tidak stress. Saya akan atur waktu nya.”
Ghani masih terdiam. Dirinya dan Ervin akan melakukan liburan berdua. Honeymoon?
***