BAB 11

1577 Words
Saima selalu menganggap dirinya sendiri penting dan ia tahu apa yang dirinya inginkan. Saima mengenal dirinya sendiri, ia merasakan jika keadaannya sedang tidak baik-baik saja sehingga setelah pulang gereja ia hanya tidur. Mengistirahkan diri. Bernapas. Detik ini Saima berada di balik kemudi dengan hiasan wajah sederhana namun tetap memperindah penampilannya. Saima berdandan untuk membuatnya percaya diri bukan untuk Rama meski ia akan bertemu sang chef malam ini. "Hello pendengar setia JAAK.FM! Waktunya kita puterin lagu terbaru Janied yuk. Judulnya Di Tahun Ketujuh Aku Masih Sama. Enjoy!" Rasanya masih sama, Sama rindu, Sama rasa, Tujuh tahun tak berbeda. Apa hanya aku yang punya rasa? Saima berdecak ketika radio yang ia dengarkan memutar lagu pria itu. Bahkan di sepanjang jalan ada beberapa video iklan pria itu yang dipasang di pusat perbelanjaan. Di mana-mana ada Janied Elang Hartono. Saima berusaha fokus menyetir sampai ke lobi hotel Haidan. Ia membiarkan valet boy memarkirkan mobilnya dan ia berjalan ke Joy Two dengan sangat elegan mengenakan gaun malam berwarna biru tua. Rama Arjuna Mahveen datang 10 menit setelahnya. Saima tersenyum kecil ketika melihat Rama mengenakan pakaian yang begitu rapi. Gagah. "Saya nggak telat, kan?" Rama mengambil kursi di hadapan Saima. "Maaf, Arik bicara terlalu lama. Nggak biasanya seorang Hartono bertele-tele." "Mas Rama ketemu Kak Arik sebelum ke sini?" "Iya, Arik memastikan Resolve jadi tempat resepsi pernikahannya." "Resolve pastinya sangat bagus ya Mas makanya Kak Arik mau resepsi di sana." "Kamu harus lihat sendiri. Datang ke restoran saya kalau kamu ke Bali." "Free?" Rama tersenyum, jenis lengkungan bibir yang ramah dan sopan. "Sure. Kamu bisa mencoba signature dish dan saya yang akan membuatnya untuk kamu nanti, Saima." "Oke. Kapan lagi makan di the one and only restauran dengan 3 bintang Michelin." Saima mengatakannya dengan nada humor. Ia tidak merasa canggung berbicara dengan Rama. Meski mereka tidak dekat, keluarga mereka berhubungan baik. Pembicaraan mereka berlanjut dengan hal-hal sederhana sambil menyantap makan malam sampai suara seseorang membuat fokus Saima dan Rama teralihkan. "Kak Rama ada di Jakarta dan makan malam dengan tunangan aku tapi nggak bilang aku?" "Janied, kamu apa kabar?" Rama berdiri dengan sopan untuk menjabat tangan adik dari temannya. "Tunangan kamu? Maaf, saya nggak salah dengar?" Saima menatap Janied Elang Hartono yang terlihat santai setelah mengatakan omong kosong. "Bukannya kalian membatalkan pertunangan empat tahun lalu?" Rama ingin memastikan. "Ya." Saima menjawab. "Nggak." Janied menjawab. Rama mengerutkan kening mendengar jawaban yang berlawanan. "Aku melanjutkan pertunangan aku dengan Saima, Kak Rama." Janied berbicara lagi. "Dan permisi aku mau bicara sama tunangan aku." Saima tidak suka ketika Janied menarik tangannya. Meski lembut, ia kesal karena Janied berbuat seenaknya. "Saima, apa kamu mau bicara dengan Janied? Saya bisa menunggu." Rama mengucapkannya seperti orang dewasa berbeda dengan Janied yang berbicara layaknya remaja labil. "Nggak ada yang perlu dibicarakan, Mas," kata Saima kepada Rama. "Saima, kita harus bicara." Janied mendesak dan membawa perempuan itu. "What's wrong with you, Janied?!" Saima melepaskan cekalan Janied di tangannya ketika mereka sudah jauh dari meja Rama. Saima tidak suka tatapan Janied seolah dirinya selingkuh. "Gue tahu lo marah sama gue sekarang karena merusak kencan lo dengan Kak Rama but listen to me," Janied berusaha agar Saima mendengarkannya. "Gue mau lo membantu gue." "Bantu apa lagi, Janied? Gue udah bilang mulai sekarang kita urus hidup masing-masing." "Kalau lo nggak mau membantu gue, anggap ini hutang yang harus lo bayar." Saima mengerutkan keningnya. "Gue hanya minta lo berpura-pura menjadi tunangan gue lagi, Saima." "Untuk apa?" "Untuk mendapatkan Radmila kembali." Saima tak mengerti obsesi Janied. "Kalau Radmila nggak menginginkan lo, artinya ini udah selesai." Janied mencekal pergelangan tangan Saima agar perempuan itu menatapnya. "Gue akan membuat Radmila menginginkan gue lagi dan lo harus membantu gue. Lo ingat apa yang lo lakukan kepada gue empat tahun lalu? Lo nggak merasa bersalah, Saima?" "Apa ini kartu yang lo simpan, Janied? Lo mau balas dendam?" Saima berusaha agar suaranya tetap tenang. "Terserah apa yang lo pikirkan. Lo harus jadi tunangan gue lagi. Ini hanya pura-pura. Mudah." "Berpura-pura di depan Radmila?" "Di depan semua orang. Gue akan membuat pesta seperti empat tahun lalu dan gue pastikan kali ini lo datang." "Lo gila? Berpura-pura tunangan tapi melakukan pesta, lo mau membuat skandal?" "Gue nggak ingin skandal. Gue melakukannya untuk membuat Radmila cemburu dan dengan begitu gue bisa mendapatkan dia lagi." "Gue tahu lo cinta sama Radmila tapi lo membahayakan karir lo, Janied. Jangan bodoh." "Saima, gue bisa handle pers." "Kalau gitu lo juga bisa cari perempuan lain untuk membuat Radmila cemburu. Gue nggak tertarik terjebak skandal dengan artis terkenal seperti lo, Janied. Lagipula keluarga lo pasti marah kalau tahu. Keluarga lo memang memaafkan gue empat tahun lalu, tapi mereka nggak akan melakukannya lagi kalau tahu kita mempermainkan pertunangan." Saima ingin Janied mengerti. "Pasti ada cara lain untuk mendapatkan Radmila lagi." "Cara lain itu adalah lo berpura-pura menjadi tunangan gue. Saima, please...."Janied menahan tangannya sekali lagi. Dan Saima tak menyangka mendengar nada memohon dari Janied. Saima menghela napasnya. "Lebih baik lo pergi, gue mau melanjutkan kencan sama Mas Rama. Selamat malam, Tuan Hartono."  *** Rama Arjuna Mahveen melihat teman makan malamnya berjalan kembali ke meja mereka. Rama tak masalah jika Saima datang untuk pamit namun perempuan itu mengatakan, "Mas, makanan di sini enak tapi saya udah nggak selera buat lanjutin. Mau nyobain pecel lele langganann saya nggak?" "Janied bagaimana?" Rama bertanya sopan. "Bukan urusan saya." "Pakaian kamu dan saya sepertinya nggak cocok untuk makan pecel." "Ah, iya." Saima menyadari mereka berdua akan salah kostum jika makan di pinggir jalan. "Saya mau pakai gaun saja nggak pa-pa," kata Saima. "Mas mau ikut saya makan pecel?" "Ya, kalau kamu mau saya ikut." "Saya memang ngajak Mas." "Oke." Rama mengangguk. "Pakai mobil kamu? Saya tadi ke sini diantar supir." Saima setuju. Ia membiarkan Rama menyetir ke tempat pecel lele langganannya. Sebelum turun ke warung pecel, Rama melepaskan jas Tom Ford miliknya menyisakan kemeja putih. Saima selalu menyadari bahwa bahu Rama sangat lebar, namun saat mengenakan kemeja membuat bahu itu semakin terlihat gagah. "Mas pernah makan pecel, kan?" Saima bertanya ketika Rama terlihat terpukau memerhatikan pedagang menggoreng lele. "Tentu saya pernah makan, Saima. Saya juga suka makan di pinggir jalan tapi semenjak buka restoran saya jarang keluar dapur." Saima mengerti bahwa Rama menjadi pemilik sekaligus chef di restorannya sendiri. Pasti sangat sibuk. "Makannya pake tangan, Mas. Makin enak," kata Saima ketika Rama berniat mengambil sendok saat pesanan sudah datang di meja. Rama mengangguk, mengikuti saran Saima. Ia menyuapkan nasi hangat, lele goreng dan sambalnya ke dalam mulut menggunakan tangan kanan. Minumnya es teh manis. "Enak, Mas?" "Ya. Enak sekali." Saima melihat Rama menikmati pecelnya dengan sangat lahap. Itu membuatnya tersenyum kecil. "Kamu nggak mau makan pecelnya? Kalau gitu buat saya aja," ujar Rama. Saima membulatkan matanya. "Mas mau nambah? Kalau gitu pesen lagi, ini punya saya." "Oke." Rama kembali memesan, ia makan dengan semangat sampai kepedasan. Mengatakan bahwa bapak penjual pecel lele akan ia ajak bekerja di restorannya. "Ini enak, saya masih mau makan tapi harus berhenti atau saya nggak bisa olahraga besok," ujar Rama. "Kamu udah selesai? Saya bayar ya." "Mas, nggak bisa pakai credit card." Saima tertawa ketika Rama mengeluarkan alat pembayarannya. "Di sini masih manual, harus pakai cash." "Siapa yang masih pakai cash di zaman ini, Saima?" "Biar saya aja yang bayar, Mas pasti nggak ada cash." "Saya akan ganti besok, ya. Kirim nomor rekening kamu." "Nggak perlu, Mas. Totalnya nggak sampai 50 ribu, kok." Rama menunggu Saima membayar, wanita itu sempat mengobrol dengan penjual pecel. Akrab. Ramah. Tidak terlihat seperti orang dengan nama belakang keluarga yang berpengaruh. Saima berbaur meski Rama yakin gaun malam yang dipakai wanita itu lebih mahal dari harga kios pecel. "Kamu free besok?" tanya Rama ketika mereka sudah kembali ke mobil dan Saima mengatakan ia akan mengantar Rama. Tetap Rama yang menyetir. "Kalau Julieta nggak minta meeting mendadak, saya free, Mas." "Adik saya beruntung kamu membantu project-nya. Julieta nggak merepotkan kamu, kan?" "Saya senang bantu adik Mas. Saya suka anak-anak dan menurut saya masih banyak anak-anak Indonesia yang nggak bisa sekolah. Mereka punya kesempatan juga." Rama tersenyum mendengar jawaban Saima. "Mama ngajak saya dan kamu main golf besok. Ibu kamu juga datang. Kamu mau? Tapi saya datang untuk makan siang saja, saya nggak terlalu suka main golf." "Ibu Negara mengundang saya, tentu saya harus datang." Saima menjawab sopan. "Mama saya mengundang sebagai teman ibu kamu, Saima. Ini bukan seperti Kunjungan Kepresidenan." "Saya tahu, Mas. Saya mau datang besok. Sama seperti Mas, datang saat makan siang aja." "Oke." "Di tempat golf pribadi keluarga Mahveen, kan? Di Cibubur?" "Ya. Mau saya jemput?" "Kita ketemu di sana aja, Mas." "Sure." Kemudian Saima bersin. Beberapa kali. "AC mobil kamu terlalu dingin." Rama menurunkan kecepatan mobil, menepi. "Kamu bisa pakai jas saya dulu. Dan kalau kamu merasa sakit, saya akan menyetir sampai apartemen kamu. Saya bisa pesan taksi dari sana." "Cuma bersin, Mas. Kayanya pakai gaun memang nggak cocok untuk makan pecel." Rama tersenyum lalu memberikan jasnya kepada Saima. Ia takut tidak sopan dan merasa tidak punya hak untuk memasangkan jas kepada tubuh yang kedinginan itu. "Pinjam dulu ya, Mas." Saima bisa mencium aroma yang sangat kalem. Kayu-kayuan. Hangat. Aroma parfum Rama layaknya rumah di antara ranting yang teduh. "Pakai aja. Kalau kamu merasa nyaman." "Tentu nyaman, ini Tom Ford." "Saya punya banyak." "Saya tahu Mas Rama punya banyak jas mahal." Rama tersenyum. "Iya, gadis yang lagi bersin." Saima membalas, "Iya, putra presiden." Lalu mereka berdua tertawa dengan kata-kata mereka sendiri dan berjanji akan bertemu lagi esok hari. [] - Instagram: galeri.ken
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD