BAB 07

1346 Words
Saima tidak mengerti darimana Janied mendapatkan informasi bahwa dia akan dijodohkan. Saima mengatakan kepada Janied bahwa ia mengetahui soal perjodohan ini, nyatanya ia sendiri pun bingung. Maka pagi ini Saima pulang ke rumah orangtuanya untuk menanyakan yang terjadi. "Mama mengatakan sesuatu ke Tante Selina?" Saima tahu Anaria berteman dengan ibunya Janied. Dua sosialita dari keluarga berpengaruh. Anaria Searajana yang sedang mengaduk teh menatap putrinya yang tak memakai riasan namun kecantikan alaminya tetap terlihat. "Mama bertemu dengan Selina kemarin dan mengatakan kalau Mama akan menjodohkan kamu." "Kenapa?" "Mama memang berniat menjodohkan kamu." "Mama jangan konyol." "Empat tahun lalu Mama tidak tahu harus menaruh muka di mana ketika kamu... ah sudahlah." Anaria tidak melanjutkan kata-katanya. "Mama nggak mau kamu kesepian, Sayang. Kamu bilang nggak berniat menikah tapi mungkin setelah bertemu dengan lelaki yang tepat rencana kamu akan berubah." "Biar aku tebak, Mama udah punya lelaki tepat versi Mama," sindir Saima. "Kamu berteman dengan Julieta Mahveen dan mengenal keluarganya. Rama Mahveen adalah lelaki yang tepat untuk dijadikan suami. Ini hanya saran Mama." Anaria meminum tehnya dengan elegan. "Kamu bilang ingin meneruskan S2 di London tapi kamu sibuk menjadi relawan di yayasan Julieta. Kamu menunggu apa?" Saima tidak memiliki jawaban. "Apa karena Janied kamu belum juga pergi ke London, Saima?" "Kenapa jadi Janied?" Atau mungkin ibunya benar, karena Saima sedang membantu Janied menemukan cintanya kembali. Tidak lebih dari itu. "Masih ada beberapa hal yang harus aku kerjakan di Jakarta, Ma. Julieta punya proyek yang ambisius untuk yayasannya aku ingin membantu." Saima rasa akhir-akhir ini ia sering membantu teman-temannya. "Bagaimana Rama Mahveen menurut kamu?" Anaria kembali dengan topiknya. "Mas Rama jago memasak, restorannya di Bali punya tiga bintang Michelin, kan?" "Kamu tahu para istri mantan pejabat yang bekerja dengan presiden Abrisam Mahveen masih sering minum teh dengan istri Pak Abrisam dan Mama akan bertemu dengan Bu Claudia Mahveen minggu depan. Apa perlu Mama bicara dengan Ibu Negara dan atur makan malam dengan Rama?" "Ma, untuk apa?" "Apa kamu tersipu?" Saima melihat ibunya tersenyum menggodanya. Meski sejak dulu Saima selalu merasa Rama Arjuna Mahveen sangat tampan dan pintar, ia tak pernah berpikir akan menyukai pria seperti Rama. Pria yang sepertinya tak akan mudah ditaklukan. Dan sekarang ibunya mencoba mendekatkannya dengan Rama Mahveen. Saima tidak tahu harus bagaimana. *** Saima sendiri yang berkata kepada Janied bahwa ia ingin jarak namun detik ini ia malah berada di apartemen Janied melihat pemuda itu memakai dasi. Melihat Janied sangat rapi mengingatkan Saima ketika empat tahun lalu mereka berada di fitting room milik desainer Giov Ivander Termahadari. Jas rancangan pribadi berwarna cream membalut tubuh tegap Janied dan lelaki itu tersenyum kepadanya, "Sai, gue ganteng pake ini?" kata-kata empat tahun lalu terngiang di kepala Saima. Janied memakai jas untuk pesta pertunangan mereka berdua, dan hari di mana Janied mencoba jasnya adalah yang pertama dan terakhir kali Saima melihatnya memakai jas itu. "Dasi lo miring, bodoh." Saima mengomentari Janied yang terlihat kebingungan meski dasinya sudah terpasang. "Daripada bully gue mending bantu gue, bodoh." Janied mengomel di depan cermin. Saima tertawa mengejek namun jari-jarinya dengan telaten merapikan dasi Janied. "Lo mau makan malam dengan Radmila tapi seperti akan melamarnya. Apa lo akan langsung melamarnya?" Karena Janied diam saja Saima mengangkat wajahnya untuk menatap lelaki itu. "Radmila pasti mau dilamar sama lo, tapi setelah tujuh tahun nggak ketemu dan langsung lo lamar, gue rasa waktunya kurang tepat. Radmila mungkin akan panik." "Gue nggak akan melamar Radmila," kata Janied. "Maksudnya, nggak sekarang." "Rencana lo adalah mendapatkan Radmila terlebih dahulu sehabis itu lo bisa melamarnya dan menjadikan dia milik lo seutuhnya." Saima selesai merapikan dasi Janied. "It's done." "Sai, gue ganteng pake ini?" Saima merasa terlempar kepada empat tahun lalu namun ia tahu detik ini Janied tidak berpakaian untuknya. Jas hitam yang dipakai Janied untuk Radmila. "Iya, ganteng. Radmila pasti suka." "Gue gugup." Janied menggenggam dan meremas kedua tangan Saima yang berada di dadanya. Saima melepaskan genggaman itu untuk mengusap bahu Janied. "Berhenti dramatis dan pergi sekarang, lo nggak boleh telat bertemu dengan perempuan yang selama ini lo cintai. Radmila Mega."  *** Janied tiba terlebih dahulu dan duduk menunggu Radmila. Dirinya akan sangat kecewa jika perempuan itu tidak datang. Namun kekhawatirannya tak terjadi karena perempuan itu, Radmila Mega tampak canggung berjalan ditemani seorang pelayan yang menunjukkan tempat di mana Janied duduk menunggunya. Meski bukan gaun mahal dan miliknya sangat sederhana, Radmila tetap mengenakan gaun seolah dia berusaha mencocokan diri di restoran fine dining. Joy Two adalah restoran mewah di hotel Haidan yang baru saja mendapatkan tambahan bintang Michelin satu bulan lalu dan peraturan mereka adalah semua pengunjung harus berpakaian rapi. Janied berdiri ketika Radmila benar-benar ada di hadapannya. Gadis itu menahan napasnya ketika Janied menyuruhnya duduk. Radmila gugup melihat ke arah sekitar dan Janied berkata, "Restoran ini private." Radmila mengangguk, dengan canggung duduk di hadapan Janied yang berpakaian sangat rapi dan luar biasa tampan. Radmila merasa sangat kecil duduk bersama dengan Janied terlebih ia tahu siapa Janied sekarang. Penyanyi terkenal. "Aku..." Radmila tidak tahu harus berkata-kata. "Apa karena surat yang aku kirim kamu ingin ketemu aku?" "Iya." Janied menjawab jujur. "Kamu apa kabar?" "Bisa kita langsung bicarakan apa yang mau kamu bicarakan?" Janied mengerti Radmila tidak mau berbasa-basi. "Kalau karena surat itu kamu bersusah payah ketemu aku, aku minta maaf." Radmila tidak menatap Janied. "Aku nggak akan menggangu kamu lagi." "Aku nggak merasa surat kamu adalah gangguan. Aku cuma..." Janied ingin Radmila menatapnya tapi gadis itu menunduk. "Aku kaget kamu mencoba memberikan kabar setelah tujuh tahun. Apa kamu baik-baik aja?" "Maaf," Radmila berbisik. "Dan aku baik-baik aja." "Apa kamu mau menjelaskan kenapa kamu menghilang tujuh tahun lalu, Radmila?" Janied memanggil namanya dan yang Radmila lakukan adalah meremas ujung gaunnya. "Aku minta maaf." "Karena menghilang atau karena baru kembali sekarang?" tanya Janied. "...." "Lihat aku, Mila." "Aku nggak bisa." Radmila semakin gugup. "Aku kira apa yang aku lakukan tujuh tahun lalu adalah keputusan yang benar. Aku memikirkan diri aku sendiri tanpa memikirkan perasaan kamu. Aku egois." "Nama belakang kamu, aku merasa nggak pantas." Radmila menggigit bibir bawahnya. "Tapi yang terpenting dari semuanya adalah perasaan aku terhadap kamu. Tujuh tahun lalu aku pergi dengan mudah karena mungkin aku nggak mencintai kamu sebesar itu." "Pembohong." Barulah Radmila menatap lelaki itu. Ya, mungkin aku seorang pembohong, Janied. "Kalau begitu berarti sekarang kamu nggak punya perasaan apa-apa lagi kepada aku?" Janied ingin jawaban yang benar. "Aku nggak punya perasaan apa-apa lagi. Mungkin tujuh tahun lalu aku juga nggak menginginkan kamu, tapi karena kamu adalah seorang Hartono dan semua siswi menyukai kamu, aku ingin merasakan jadi pacar kamu." Ayo Radmila, kamu bisa berbohong lebih baik dari itu. Radmila mengatakan kepada dirinya sendiri. "Aku iseng mengirimi kamu surat, Janied." Radmila mengalihkan pandangannya dari mata lelaki itu atau dia akan menangis. "Iseng?" Janied mengulang kata-kata gadis itu yang menurutnya tidak masuk akal. "Ya, Janied. Aku nggak bermaksud mencari perhatian." "Lalu apa yang kamu rencanakan, Radmila? Karena sekarang kamu mendapatkan perhatian aku." "...." "Kalau kamu mengatakan itu tujuh tahun lalu kepada Janied yang berumur 18 tahun, aku akan percaya. Tapi aku udah dewasa dan tahu kamu nggak iseng mengirimi aku surat, Radmila," ujar Janied. "Kamu masih punya perasaan terhadap aku maka dari itu kamu menulis surat. Kamu ingin aku mencari kamu dan aku melakukannya. Apa kamu senang bermain-main dengan perasaan aku?" "Bukan itu maksud aku." Radmila merasa tersudutkan oleh rasa bersalahnya sendiri. "Aku minta maaf karena surat—" "Ya, seharusnya kamu nggak mengirimi aku surat." Janied memotong kata-kata Radmila. "Apa yang kamu lakukan tujuh tahun lalu membuat aku kecewa. Sekarang kalau kamu menghilang lagi, aku nggak tahu apa aku bisa maafin kamu." "...." Janied berkata kepada gadis di hadapannya, "Jadi, dengarkan aku, Radmila Mega. Mungkin kamu iseng—atau kamu sedang berbohong untuk menutupi perasaan kamu—aku nggak peduli. Yang akan aku lakukan sekarang adalah aku nggak akan membiarkan kamu menghilang lagi. Kalau kamu nggak menginginkan aku, aku akan membuat kamu menginginkan aku." "...." "...." "Radmila, berhenti menjadi pengecut. Aku menginginkan kamu, apakah itu bisa menjadi alasan agar kamu tinggal? Kamu bisa mulai mencintaiku aku lagi sekarang dan aku akan melupakan apa yang kamu lakukan tujuh tahun lalu." [] - Instagram: galeri.ken
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD