Aku memang kotor, tapi aku bukan p*****r. Sungguh, aku tak senista itu.
Semua itu terjadi di luar kendaliku. Aku bahkan tak tahu bagaimana aku bisa berada di kamar hotel yang sama dengan lelaki yang baru pertama kali aku jumpai.
Dan yang lebih tragis … aku dan dia telah melakukan sesuatu yang .....
Argh …!
Aku merasakan kepalaku seperti berputar jika mengingat lagi tentang peristiwa memilukan yang terjadi hampir dua minggu yang lalu. Peristiwa pahit yang tak seharusnya menjadi penghalang aku menikah bersama lelaki yang kucintai. Peristiwa pahit yang membuatku menjadi pendosa bukan atas dasar keinginanku sendiri.
"Aku kotor. Tapi aku bukan pelacur." Dengan d**a yang kian terasa sesak aku kembali tergugu saat merasakan duniaku seakan telah kehilangan seri sejak kesalahpahaman terjadi hari itu.
Entah sampai berapa lama, waktuku kuhabiskan untuk menangisi nasib si*l yang menimpa diriku, hampir dua minggu menjelang hari pernikahanku hari itu.
"Non Indah. Non!"
Aku yang masih tergugu di lantai samping ranjang, tertegun saat mendengar suara Bik Minah memanggil namaku.
Buru-buru kuhapus air mata yang sedari tadi menetes tak tahu diri. Setelahnya, kulangkahkan kakiku menuju pintu kamar meski masih dengan hati nelangsa.
Kubuka pintu kamar dengan gerakan malas. Menemui wanita paruh baya yang terang-terangan menunjukkan kepedulian saat aku gagal menikah dan calon suamiku justru menikah dengan adikku sendiri.
"Iya, Bik?" tanyaku pada ART di rumah ini, satu-satunya orang yang rasanya masih memiliki nurani dan rasa belas kasihan padaku. Seorang wanita tulus dan penyayang yang masih bersedia memberikan rasa percaya diri untuk diriku melalui semua kepahitan.
Untuk beberapa saat, Bik Minah yang berdiri tepat di hadapanku, mengamati wajahku dengan seksama. Detik kemudian, tatapannya berubah sendu ketika menatap mataku yang bisa dipastikan sembap pasca tenggelam dalam tangis untuk beberapa lama.
Mungkin memang tidak seharusnya aku menangisi jalan hidup yang telah Allah gariskan, tapi aku bisa apa?
Aku hanya manusia biasa yang tak bisa semudah itu menahan air mata saat semua kepahitan menghampiri.
"Bibik perhatikan, sejak tadi siang, Non Indah belum makan, loh," ujarnya kemudian sambil terus menatapku dengan tatapan matanya yang teduh lagi memenangkan. Membuatku merasa diperhatikan. Lagi dan lagi.
"Tapi, aku nggak lapar, Bik," balasku tanpa semangat. Membuat Bik Minah menggeleng pelan.
"Nggak boleh begitu, Non, Non Indah tetap harus makan, jangan pernah mau kalah oleh keadaan," ucap Bik Minah membuatku tak mengerti.
"Maksudnya?" tanyaku sambil mengernyitkan dahi. Seperti tak ingin langsung menjawab rasa penasaranku, Bik Minah hanya menggelengkan kepalanya pelan sambil tersenyum tipis.
"Sudahlah, ayo, makan, sudah jam setengah sepuluh, loh, ayo, Bibi temani," ujarnya penuh kelembutan saat kedua matanya mengisyaratkan jika kami harus menuju ruang makan secepatnya.
Berdesir hatiku, saat merasa seperti mendapatkan dukungan di tengah-tengah badai masalah yang membuatku dipandang serendah-rendahnya oleh keluargaku sendiri.
Saat melewati kamar Lira, ada yang berdenyut dalam d**a saat melihat kamar adikku telah terkunci rapat.
Ya Allah.
Andaikan musibah itu tak menimpaku, sudah barang tentu, aku yang tengah menikmati indahnya romansa malam pertama. Dengannya. Lelaki yang amat kucintai tapi kini telah resmi menjadi milik adikku sendiri.
Aku hanya mampu menelan beberapa sendok makanan yang disiapkan oleh Bik Minah untuk santapan makan malamku yang terlambat.
"Aku sudah kenyang, Bik," ujarku pada wanita paruh baya yang telah bekerja di rumahku semenjak aku masih duduk di bangku SD kelas tiga.
"Ya sudah, tapi jangan banyak pikiran, ya. Dibawa santai saja. Perbanyak istighfar. Percayalah, Non. Badai pasti berlalu," ucap Bik Minah lirih, sesaat sebelum mengangkat piringku yang makanannya sama sekali tak membuatku berselera malam ini.
Meskipun Mama dan Ayah kecewa padaku, tapi aku memang tak akan menyerah untuk membuktikan jika apa yang terjadi padaku hari itu cuma sebuah kesalahpahaman.
Sebab itulah, aku memilih tetap bertahan meski kadang terasa menyakitkan.
***
Keesokan paginya, seperti biasa, aku yang sudah duduk di bangku semester enam, bersiap-siap seperti biasa sebelum menuju kampus.
Sejak tadi malam, aku telah bertekad tak ingin ambil peduli dan memusingkan kemesraan yang seperti dipertontonkan oleh adikku dan suaminya.
Sampai di kampus, tatapan sinis dari beberapa teman sekelas—yang mungkin saja tahu bagaimana seorang Indah gagal menikah, coba kuabaikan.
Aku tak ingin membuat diriku lebih gila jika mendengar dan mengambil hati sindiran dan caci maki yang mereka layangkan.
"Pulang kuliah, free gak, Ndah? Tarif per satu jam berapa?" celetuk Romi, teman sekelas yang aku tahu adalah mahasiswa paling rese.
Tak ingin menanggapi, aku memilih tetap memfokuskan diri pada jurnal yang tengah k****a di ruang perpustakaan ini.
"Sejam berapa, heh?"
Romy yang sepertinya tak puas karena tak mendapatkan tanggapan, mendekat dan menatap wajahku dengan mata melotot.
Astaghfirullah! Rasa hati ingin sekali aku menampar wajahnya dan mengatakan jika aku ini tak seperti yang dituduhkan. Namun, apa gunanya? Seratus kali pun aku menyangkal tuduhan-tuduhan keji mereka yang sudah terlanjur memandang hina padaku, tetap tak akan ada artinya bukan?
"Sabar, Ndah, sabar."
Aku mengangguk pelan saat Resti yang duduk di sampingku, berusaha menenangkan diriku.
Ya Allah, setidaknya aku harus merasa beruntung karena masih ada beberapa orang yang percaya jika aku tak serendah dalam foto yang menjadi pemicu batalnya pernikahanku dengan lelaki yang sebelumnya amat kucintai.
Romi berlalu ketika aku memilih diam dan tak menggubris hinaannya.
Kadang, diam juga bisa menjadi solusi terbaik untuk beberapa masalah jika dirasa apa yang kita jelaskan tak memberikan efek apa pun.
***
Pulang kuliah, aku yang memang tak berkeinginan untuk cepat-cepat bertemu Lira di rumah, setuju saja ketika Resti mengajakku mampir makan di sebuah restoran Jepang yang menjadi favoritnya.
"Ndah, itu bukannya … cowok yang—."
Aku yang tengah memaksakan diri untuk menyantap ramen di hadapanku, memelankan kunyahan saat Resti menjawil lenganku. Kuikuti ke mana mata Resti memandang.
Deg!
Dadaku tiba-tiba serasa berkobar saat bisa kembali berjumpa dengannya. Lelaki yang telah menciptakan noda sekaligus membuat hidupku porak-poranda.
"Hei! Mau ke mana, kamu, Ndah?" Resti menegurku ketika melihatku bangkit dari tempat duduk dengan napas memburu saat memandang b*j*ngan yang telah merenggut masa depanku.
"Aku harus meminta penjelasan sekaligus bertanya siapa dalang di balik semua kesialan ini, Resti." Aku merasakan suaraku bergetar manakala rasa sakit ini kembali menancap dalam sukma.
"Tunggu!"
Aku buru-buru berlari, membuat dia—lelaki yang telah membuatku kotor, menahan langkah saat mendengar seruanku.
Apa pun caranya, akan kubuktikan pada keluargaku jika aku hanyalah korban dari sebuah konspirasi jahat yang aku tak tahu siapa dalangnya.