BAB 2

1001 Words
*** Finka mencoba untuk tidak peduli pada apa yang menjadi praduganya. Ia melangkahkan kakinya dengan cepat lantaran tak sabar ingin bertemu Nenek tercinta, yang selama ini menjadi satu-satunya keluarga yang selalu menanyakan kabarnya.  "Ne... Nek," teriakan Finka teredam saat yang dirinya temukan pertama kali adalah orang yang belum siap ia temui.  Ardio Jayadi mematung di tengah-tengah pintu ketika matanya menangkap raga perempuan yang Lima tahun lalu telah ia sakiti. Matanya menatap nyalang menahan kerjapan. Tak menyangka bisa bertemu lagi dengen perempuan yang dulu sungguh ia cintai. Namun mereka harus berakhir saling menyakiti.  Sementara Finka merasa bumi tak lagi sanggup menahan pinjakannya. Namun, kepingan luka atas apa yang pernah Dio lakukan padanya dulu membuatnya bertekat harus kuat dan terlihat baik-baik saja di mata sang mantan suami yang telah berganti status menjadi kakak iparnya. Finka menaikan dagunya, terlihat angkuh dan tak tersentuh.  Dengan sangat percaya diri perempuan itu melangkah pasti, menemui Dio yang masih mematung pada tempatnya. "Permisi, saya mau lewat," suaranya terdengar tegas. Tak sedikit pun gentar akan kehadiran Dio yang tak pernah ia sangka.  Dio bergeming. Ia membiarkan Finka mendelik kesal padanya. "Minggir!" ujar perempuan itu. Namun, tak selangkah pun Dio menyingkirkan tubuh tegapnya. Finka yang kesal ikut menatap nyalang pada sang mantan suami. Ia tak menyangka pertemuan tak terduga ini harus terjadi sekarang juga. Finka jadi bertanya-tanya apakah Neneknya sengaja melakukan ini? Ahh tetapi mana mungkin begitu.  Di saat keduanya tengah asyik perang mata, suara cempreng gadis kecil terdengar di telinga. "Papa! Kenapa masih di sini???" imut dan lucu adalah kesan pertama yang Finka lihat dari si balita yang kira-kira berumur Lima tahun itu.  Dalam sekejap sikap Dio berubah lembut. Lelaki itu menundukan tubuhnya. "Zira kenapa keluar lagi? Nenek mana?" namanya Lazira Jayadi, putrinya bersama Fina. Finka dapat menebak itu dengan baik sebab Neneknya pernah tak sengaja menyebutkan Zira.  "Huhhh Mama!" telunjuk Zira mengarah pada Finka begitu saja saat mata bulatnya mengalihkan tatap pada Finka. Hal itu membuat Finka terkejut. Finka mengerjabkan matanya salah tingkah begitu Dio ikut memperhatikannya. Lalu menurunkan tangan Zira. "Bukan Sayang, dia kembaran Mamamu," terang Dio tanpa mengalihkan tatapannya dari Finka barang sedetik pun.  "Tapi itu Mama, Pa," terdengar tak mau kalah, Zira berdebat kecil bersama Dio.  Kenapa juga Dio terlihat pusing. Bukankah dia hanya harus memanggil Fina ke sini? Finka yakin kembaran laknatnya itu juga ada di sini bersama mereka. Ck. Lengkap sudah. Ada orang tuanya, kembaran sialannya, dan mantan suami pengkhianatnya di rumah ini. Mendadak Finka ingin pergi saja. Namun, dia tidak akan melakukan itu karena tak ingin dianggap pengecut. "Zira," beberapa detik yang lalu Finka hanya menebak saja, tapi kini batang hidung wanita yang ia panggil Mama itu benar-benar terlihat. Membuat perdebatan kecil yang Zira lakukan teralihkan. Ingin rasanya Finka memutar bola matanya jika saja Neneknya yang juga baru bergabung memberi interuksi untuk menyapa wanita yang telah melahirkannya itu.  Finka terpakasa menyapa Hilda, wanita yang dulu tampak sangat mencintainya. "Hai Ma apa kabar?" tanyanya. Hilda tampak terdiam, menatap Finka ingin menangis. Namun, ia berusaha menahan diri. "Baik," Hilda menyayangkan mulutnya yang membalas singkat. Ingin ia bertanya balik, tapi Finka sudah terlanjur berpaling darinya.  "Nenek, Finka rinduuu," sengaja Finka tak peduli pada sikap Mamanya yang sama sekali tak menunjukan kerinduan itu. Finka segera berlari ke dalam pelukan Farida, mencoba mengabaikan semua orang yang ada di sana.  Mata tua Farida berkaca-kaca. Lima tahun lalu Finka tampak sangat rapuh. Ia terluka sangat dalam oleh mantan suami dan kembarannya sendiri. Kini, cucu semata wayangnya itu mulai ceria lagi, meski Farida tahu betul Finka hanya sedang pura-pura bahagia dan lupa pada masalahnya dulu.  "Cucuku," pelukan Farida memberikan kehangatan bagi Finka. Perempuan itu ingin sekali mengeluarkan air mata bahagia karena masih memiliki Nenek yang sangat mencintainya. "Terima kasih Nek, karena selalu menjaga kesehatan," bisik Finka. Farida menepuk pelan punggung cucunya.Dirinya pun mengucap syukur karena Finka tak lagi sesedih dulu. Meskipun tanpa Farida sadari, kepulangan Finka kali ini bukan hanya karena ia yang minta, tapi karena ingin membalas rasa sakitnya pada Ardio Jayadi.  "Sebaiknya kita masuk dulu," ucap Farida setelah melepas pelukannya pada Finka, membuat wanita berambut panjang itu mengangguk setuju. Dia pikir hanya dirinya dan sang Nenek saja, tapi ternyata Zira, Dio dan mamanya pun ikut masuk ke dalam. Finka yang masih sedikit memiliki sopan dan santun pun tak tega bertanya.  Sudah lewat beberapa menit sejak mereka duduk di meja makan. Farida memang sudah menyiapkan makanan saat Finka mengabari akan ke sini pagi tadi. Ia bahkan sengaja menunda sarapannya agar bisa makan bersama cucunya. Namun, ada yang janggal di sini. Beberapa menit terlewati, tapi Finka tak juga melihat kembaran laknat dan Papanya.  Karena tak mungkin bertanya, Finka hanya diam saja. Ia mencoba untuk tidak peduli pada keduanya. Sampai ketika mereka menyelesaikan sarapan pagi dan pindah duduk ke ruang tamu, Neneknya mengatakan sesuatu yang tak ingin Finka percayai.  "Mana mungkin Fina meninggal, Nek," ucap Finka sambil mencengkeram tangan Neneknya. Namun, Farida mengangguk singkat. "Nenek juga nggak percaya, Sayang, tapi Fina sudah pergi untuk selamanya karena serangan jantung," Farida tak kuasa menahan tangisnya sebab selama ini ia begitu membenci Fina. Farida belum sempat memaafkan cucunya itu, juga belum sempat menunjukan kasih sayangnya lagi sejak kejadian di masa lalu.  Sikap Fina yang terlihat kejam nyatanya hanya agar mendapat perhatian lebih. Sebagai seorang Nenek, Farida merasa tertipu akan sikap cucunya itu. Ternyata diam-diam Fina memiliki riwayat penyakit jantung. Hal itu hanya diketahui oleh Warto dan Hilda saja. Keduanya sangaja menyembunyikan segalanya karena permintaan Fina. Hal itu juga yang menjadi alasan kenapa Warto menyetujui pernikahan Dio dan Fina Lima tahun yang Lalu. Finka menatap nanar pada Neneknya. Padahal Fina masih saudari kandungnya meski pernah sangat melukainya. Finka benar-benar merasa asing di dalam keluarganya sendiri. Walaupun memang, ia yang memilih pergi Lima tahun yang lalu. Namun, seharusnya mereka semua tahu kepergiannya adalah karena dirinya tak sanggup menahan rasa sakit yang mereka berikan. . . Bersambung.  Haloooo akhirnya Finka-Dio bisa aku up di sini juga. Silakan TAP LOVE dulu ya untuk menambahkan cerita. Nanti aku update setiap hari kalau sudah waktunya. Jangan lupa tinggalkan komentar juga ya untuk menambah semangat aku dalam berkarya. Semoga suka :) 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD