Reynan POV
Namanya Ruby, gadis itu boleh juga. Sebagai laki-laki dengan tingkat kenormalam seratus persen, dia cantik. Dan pantaslah jika aku jadikan ia untuk pendamping. Lebih tepatnya pendamping untuk menutupi fakta pada Mamah, bahwa aku masih belum bisa move on dari Qiana. Dia adalah gadis satu-satunya yang pernah aku cinta sampai aku bermasalah dengan adiku sendiri. Erlangga. Aku sungguh mencintai gadis itu. Dan bertemu Rubby adalah sebuah kesempatan untukku.
Hari ini aku melamarnya, Mamah, Ayah, Erlangga dan dia. Ikut ber-samaku ke rumahnya. Ah, iya. Ruby ini adalah anak yang sangat disukai Mamah. Ibunya pemegang arisan Ibu-Ibu sosialita, termasuk Mamahku. Mereka sangat percaya pada Mamahnya Rubby. Meski kata Mamah, Mamahnya Rubby ini tidak pernah ikut arisan. Dia benar benar hanya memegang uang arisan karena dipercayai oleh para ibu ibu sosialita itu. Tapi kan Mamahnya Ruby tetap diberikan bonus oleh mereka. Itu yang Mamahku bilang padaku.
"Mamah seneng lho... akhirnya kamu mau nikah juga."
Mamah berkata sembari memelukku. Setelah acara lamaran itu selesai. "Pokoknya mamah pengin kamu cepet-cepet punya beby kaya Erlangga. Awas aja kalau nunda!"
Kalakar Mamah lagi, membuatku malu saja. Tak sengaja mataku menatap Ruby, dia terlihat senyum malu dengan menunduk terlihat polos. Sial, kenapa manis sekali. Apakah dia malu. Dan kenapa aku yang menjadi salah tingkah. Aku seperti ABG yang baru saja di cie cie kan oleh teman teman sekolahku.
"Lihat, Ruby itu cantik sekali. Mamah yakin, cucu mamah bakal cantiknya kaya dia."
Mamah menunjuk Ruby, membuatku mengalihkan tatapan ke arah lain. Tidak ingin gadis itu tahu kalau aku sedang menatapnya. Bisa besar kepala nanti, dia.
"Pokoknya! Awas aja kalau kamu nunda-nunda! Tiga hari lagi kalian menikah."
Apa katanya! Kenapa cepat sekali? Aku menatap mamah hendak protes. Tapi mamah memelototiku, seolah tidak ingin mendengarnya. Membuatku bungkam dan kesal jadinya.
Aku melirik Erlangga, dan sialnya ia sedang mengusap wajah Qiana dengan begitu lembut. Ah, gadis kecilku itu masih saja sangat cantik. Meski sekarang sedang hamil anak kedua. Tidak! Dia memang selalu cantik.
Kalian pasti belum tahu, kalau istri Adikku ini adalah mantanku. Salahnya, dulu aku yang selingkuh. Lebih tepatnya, dia yang kedua. Dulu aku memang sudah punya pacar sebelum kenal dengannya.
Sinta, dia gadis yang dijodohkan keluargaku ketika kelas tiga SMP. Aku selingkuh dari Sinta, karena sangat menyukai Qiana. Namun sialnya malah ketahuan dan putuslah kami. Setelah itu aku juga tidak mengerti, karena hubunganku dengan Sinta tidak baik-baik saja.
Aku masih mencintai Qiana, dan mungkin entah sampai kapan aku akan bisa melupakannya. Akhirnya aku dan Sinta putus, ketika kami masih kuliah di semester dua, hingga sampai saat ini aku belum menemukan tambatan hati. Tentu saja, masih Qiana yang merajai.
Acara lamaran ini pun selesai, keluargaku semuanya pulang. Tapi aku mengajak Ruby berjalan-jalan. Aku mau mengatakan sesuatu padanya.
Dan di sinilah kami berada, di taman kota yang terletak di pertengahan Kota kami. Ruby malam ini mengenakan dress ber-warna biru dengan cardigan putih lengan panjang. Rambutnya ia urai, hingga angin terlihat nakal memporak-porandakannya.
Refleks tanganku mengusap rambut itu, hingga wajahnya tidak terhalangi lagi. Tapi dia terlihat kaget, kedua bulu mata cantik itu mengerjap beberapa saat.
Ah, aku baru tahu, kalau dia memiliki bulu mata lentik dan panjang.
"Pak Reynan mau ngomongin apa?"
Di depanku dia memang masih memanggilku dengan embel-embel 'Pak'. Kami memang punya kesepakatan yang berbeda.
Aku menurunkan tanganku dari rambutnya.
"Kamu sudah tau kan kesepakatannya?"
Dia menggangguk, "Kita menikah kontrak. Kita hanya menikah syah di depan keluarga, negara dan agama saja."
Aku mengangguk, "Iya."
Ruby menatapku. "Apa aku juga boleh punya pacar?"
Aku terdiam, menatap tegas kedua matanya. Aku tidak tahu, rasanya tiba-tiba menjengkelkan ketika ia mengatakan itu.
Dia serta-merta menunduk, "Kalau enggak boleh, ya enggak apa-apa. Selama dua tahun, aku enggak akan punya pacar." ungkapnya pelan, dan menunduk dalam.
Dan aku masih saja terdiam, melihat bagaimana ia berbicara dengan begitu takut dan polos. Membuatku ingin mengurungnya di kamarku hidup-hidup.
***
Kami makan malam ber-dua. Aku mengajaknya ke Restoran Zio, dia temannya Erlangga, Adiku. Tempatnya tidak jauh dari jalan Pariz Van Java. Ya sekitar itu.
Aku melihatnya sibuk dengan ponsel, dengan mimik wajah yang terlihat muram.
"Ada apa?" tanyaku.
Dia menggeleng sembari meletakan ponselnya dia atas meja. "Enggak ada, Bapak mau saya ambilkan apa?"
Dia menawarkan diri, aku menunjuk makanan yang aku mau. Lalu ia pun menuangkannya ke dalam piringku. Aku menatapnya tanpa henti. Ruby ini, selain memiliki kedua bulu mata yang panjang dan lentik. Ia juga memiliki bibir yang manis.
Sial, aku segera mengalihkan tatapanku ke arah lain.
"Kamu mau bagaimana kalau kita sudah nikah?"
Selesai, ia pun duduk kembali. "Apanya yang bagaimana Pak?"
Aku mulai menatapnya lebih lekat, "Kamu mau tinggal di rumahku, atau kita di apart aja?"
Dia terlihat berpikir, "Di apart aja kayanya Pak. Aku juga harus kerja kan? Dan lagi... mereka tidak boleh tahu kalau kita enggak tidur satu kamar!"
Ok, untuk yang ini membuatku tersedak. Dia segera mengambil tisu, dan mengusap mulutku. Yang sialnya, karena kelakuan polosnya itu. Membuat tatapan kami bersibobok. Dia kaget, hingga segera menarik tangannya dan mengalihkan kedua matanya. Yang sejujurnya aku suka kedua mata cantik berwarna hajel itu.
"Ma-maaf Pak, maksud saya--"
"Jadi kamu tidak mau tidur satu kamar dengan saya?"
Ia mengangguk, "Kita hanya menikah kontrak Pak? Jangan sampai ada yang dirugikan satu sama lain."
"Jadi kamu rugi tidur satu kamar sama saya?"
"Pak---"
"Kamu enggak mau sama saya, ketika ribuan atau bahkan jutaan gadis lain yang mengantri ingin diposisi itu. Yakin kamu tidak mau?"
Dia terdiam, tapi kedua mata cantik itu terlihat terluka. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku sangat ingin menciumnya.
Ah, mungkin aku gila. Tapi dia memang semenarik itu.
"Eh, saya hanya tidak mau mengambil resiko. Setelah dua tahun, kita akan berakhir. Saya tidak mau mendengar kisah ada anak terlantar hanya karena sebuah pernikahan kontrak. Dan harus Bapak tau, kalau anak hasil pernikahan kontrak itu tidak bisa diakui keabsahannya."
Aku terdiam, tapi selama ia bicara. Aku terus memperhatikan pergerakan kedua bibirnya. Dan kali ini aku serius, bahwa aku benar-benar ingin menciumnya.
Ruby Kinanti.
Aku akan mendapatkanmu!
Dia menunduk, mulai menyantap makanannya. Dengan diriku yang tak bisa berpaling darinya.
Kenapa aku cemburu pada nasi yang menempel di kedua bibirnya?
Ah, sial!
Dia sepertinya harus aku taklukan. Semoga hanya suka biasa saja, dan setelah itu aku akan melepasnya.
Seperti biasa.