Soni mengangguk pelan sementara Cia dengan cepat mengulurkan tangannya pada Rika. Ia juga memasang tampang penuh senyuman karena tak ingin terintimidasi dengan wanita hamil di depannya. Toh, Rika hanya mantan istri Soni. Lagipula, Rika sedang hamil dengan suaminya yang sekarang. Pasti tak ada apa-apa lagi di antara Rika dan Soni. Yah, kecuali anak bernama Tiara.
"Salam kenal, aku Cia, Mbak," ujar Cia dengan nada ceria.
Mau tak mau Rika tertawa kecil lalu menjabat tangan Cia. Ia merasa canggung karena Soni terus memasang tampang datar di depannya. "Ya, hai."
"Bisa kamu minta Tiara keluar aja?" tanya Soni memecah perkenalan antara Rika dan Cia. "Biar aku ajak dia makan di luar dan jalan-jalan sampai sore nanti."
"Ehm, udah aku bilang dia ngambek. Dia mau kamu ke atas," ujar Rika dengan nada penuh sesal.
Cia mulai berpikir. Anak kecil bernama Tiara itu pasti sangat manja dan mengesalkan. Ayahnya datang, seharusnya ia dengan senang menyambut.
"Ya udah, aku boleh masuk?" tanya Soni lagi.
"Ya. Tentu. Kamu tahu kamar Tiara di mana." Rika melebarkan daun pintu lalu mengedikkan dagunya. Ia kemudian tersenyum pada Cia. "Biar Cia di bawah, aku buatin minum buat kalian."
"Nggak usah repot-repot, Mbak," tukas Cia.
"Nggak repot. Kamu pasti capek perjalanan dari Jakarta ke Bogor," sahut Rika, masih tersenyum.
Cia mengangguk tipis. Ia cukup lelah hingga tertidur di mobil. Ia juga mulai lapar. Semoga saja anak bernama Tiara itu bisa dibujuk dengan cepat dan mereka bisa makan.
"Kamu duduk di sini aja, Ci. Aku ke atas bentar," kata Soni.
Soni meninggalkan Cia di ruang tamu. Gadis itu hanya sendirian saja karena Rika langsung masuk ke dapur. Soni menaiki anak tangga dan ketika tiba di puncak, ia menghentikan langkahnya. Ia bertemu tatap dengan pria yang sedang tersenyum padanya.
"Mau jemput Tiara, Son?" tanya Yudi, suami Rika.
Soni hanya melengos. Ia tak ingin bicara dengan Yudi—seperti biasa. Ia bisa mendengar desah napas Yudi di belakangnya. Mungkin, Yudi berusaha untuk akrab dengannya—lagi. Namun, itu tak akan terjadi. Soni membenci Yudi lebih dari apa pun. Mereka sudah berteman sejak kecil hingga dewasa, tetapi akhirnya Yudi mengambil Rika darinya 8 tahun yang lalu.
Soni mengetuk pintu kamar Tiara dengan hati-hati. "Tiara, ini Ayah. Kamu di dalam? Ayah mau masuk."
Tak ada jawaban, tetapi Soni bisa mendengar suara-suara dari balik pintu. "Ara, Ayah masuk sekarang."
Soni memutar gagang pintu. Ia lalu melangkah ke kamar Tiara yang bertema negeri dongeng. Ada gambar banyak sekali gambar princess di sisi tembok lalu ada stiker dan aneka dekorasi di meja lemarinya. Dan di tempat tidur, ada seorang gadis kecil yang duduk. Kedua tangannya terlipat di depan d**a dengan erat.
"Kamu marah?" tanya Soni seraya duduk di sebelah Tiara.
Gadis itu beringsut menjauh dari Soni. Jadi, Soni segera menjulurkan tangannya ke pipi Tiara. Meskipun gadis itu mencebik kesal, Soni tetap tersenyum. "Ayah bawain kamu brownies dan bolu gulung. Kesukaan kamu."
"Ayah bohong! Ayah bilang Ayah bakal datang tiap Sabtu dan Minggu. Tapi kemarin nggak datang!" gerutu Tiara.
"Iya, Ayah minta maaf. Ayah udah telepon kamu sebelumnya, dan pasti bunda kamu udah jelasin kalau kemarin ... yah, Ayah ada acara," kata Soni.
Tiara masih cemberut. "Ayah nikah lagi."
Soni menahan napas. "Ya. Maaf. Tapi itu nggak akan mengubah banyak hal, Sayang. Kita bisa tetap ketemu tiap Sabtu Minggu kalau Ayah nggak ada kerjaan. Ayah pasti datang ke sini jemput kamu. Tapi, hari ini ... kita cuma punya waktu sampai sore. Jadi, lebih baik kamu jangan ngambek lagi dan kita bisa jalan-jalan. Kamu udah makan siang?"
Tiara menggeleng. Sudah cukup ia memiliki ayah tiri. Ia tahu Yudi baik, ia juga hampir memiliki adik sekarang. Namun, bagi Tiara itu agak menakutkan. Ia memiliki kecemburuan pada calon adiknya. Ia takut jika ibunya akan berbeda setelah ini. Ia takut jika ayah tirinya juga begitu. Dan kini, ayah kandungnya juga telah menikah lagi. Semua terasa memusingkan bagi anak 10 tahun itu.
"Nah, kamu pasti udah laper. Ayo kita makan. Kamu mau makan apa?" tanya Soni memancing Tiara. "Burger? Pizza? Ayam krispi? Apa?"
Tiara tampak berpikir. "Apa Ayah ke sini sama istri Ayah?"
"Ehm, ya. Dia di bawah. Dia mau kenalan sama kamu," kata Soni.
Tiara kembali cemberut. "Aku nggak mau punya ibu tiri."
"Ara, kamu nggak boleh ngomong gitu. Tante Cia baik dan ... lucu. Kamu kenalan aja dulu. Kalian mungkin cocok, bisa jadi temen," kata Soni dengan nada membujuk.
Tiara mendengkus. Ia tak bisa membayangkan seorang ibu tiri yang lucu. "Aku mau makan soto Betawi, Yah. Boleh?"
"Ya, boleh aja. Nanti kita cari tempat makan yang enak."
"Aku tahu tempatnya. Aku pernah ke sana sama bunda," tukas Tiara. "Aku pakai jaket dulu."
Soni mengangguk. "Tapi, jangan lupa. Kita harus pelukan dulu. Ayah kangen sama kamu."
Tiara menurut. Ia membiarkan Soni memeluknya. Ia lalu membalas pelukan sang ayah yang hangat dan mulai tersenyum. Ia bisa merasakan belaian lembut sang ayah di kepalanya. "Aku juga kangen Ayah."
"Ehm, makanya. Ayo kita jalan-jalan bareng," kata Soni.
Tiara mengangguk. Ia masih tak yakin bisa akrab dengan ibu tirinya, tetapi ia juga penasaran. Selama ini ia mengira bahwa Soni tak akan menikah lagi. Soni akan terus menjadi ayahnya, hanya ayahnya saja.
"Ayah beneran minta maaf. Kamu bisa maafin Ayah?" tanya Soni ketika Tiara membuka lemarinya untuk memilih jaket yang hendak ia kenakan.
"Ya. Aku maafin Ayah," sahut Tiara.
"Makasih, anak Ayah yang paling cantik," ujar Soni lega.
"Apa setelah ini ... Ayah bakalan punya anak yang lain?" tanya Tiara seraya membalik badan pada Soni.
"Ehm, nggak." Soni jelas tak berencana untuk memiliki anak dengan Cia. Itu hanya pernikahan pura-pura.
"Tapi Ayah udah nikah lagi. Pasti Ayah bisa punya anak," kata Tiara. "Aku kira bunda juga nggak bakalan punya anak, tapi sekarang bunda hamil."
"Nggak ada yang akan berubah meskipun bunda melahirkan bayi. Itu adik kamu, Ara. Dan ... yah, anak bayi pasti lucu. Kamu dan bunda pasti tambah bahagia dengan adanya bayi kecil di rumah ini," kata Soni.
Tiara hanya mengangkat bahunya. Ia lalu mengambil tas kecil, mengisinya dengan ponsel lalu ia mendekati Soni. "Ayo, Yah. Aku udah laper."
"Ya. Ayo."
Soni dan Tiara menuruni anak tangga. Soni sangat penasaran dengan apa yang dilakukan Cia di bawah. Ia lupa bahwa Cia sangatlah aneh, dan tidak bisa ditebak. Ia agak cemas jika Cia melakukan hal-hal yang tak seharusnya. Dan benar saja, ketika ia mendekati ruang tamu, ia mendengar tawa Cia bersama Yudi dan Rika. Itu saja sudah janggal. Apa yang mereka bicarakan?
Tiara berhenti berjalan ketika masuk ke ruang tamu. Ia menatap Cia yang baru saja menghentikan tawanya dan menutup bibir dengan telapak tangan. Cia terlihat sangat muda dan cantik. Rasanya aneh jika wanita itu adalah ibu tirinya. Jadi, Cia segera mendongak pada Soni. "Itu istri Ayah?"
"Ya, namanya tante Cia. Ayo." Soni mendorong bahu Tiara dan mereka pun kembali berjalan.
"Udah nggak ngambek, Ra?" tanya Yudi pada Tiara.
"Nggak, Pah." Tiara duduk di sebelah kanan Soni sementara Cia ada di sebelah kiri Soni. Dan di seberang mereka duduk Rika dan Yudi.
"Ayah kamu udah datang. Kamu mau makan di luar?" tanya Rika pada putrinya.
"Ehm. Ya. Aku mau makan sama ayah dan ... tante ini," jawab Tiara.
Cia mencondongkan tubuhnya agar bisa melihat Tiara lebih lekat. Ia melambaikan tangannya pada Tiara. "Hai, Tante namanya Alicia. Tapi kamu bisa panggil Tante Cia aja. Kamu pasti Tiara. Salam kenal, Cantik."
Tiara hanya nyengir mendengar keramahan Cia. Ia tak akan semudah itu menyukai orang yang telah dinikahi ayahnya.
"Istri kamu lucu, Son. Katanya dia mau kerja magang di kantor kamu," kata Yudi.
Soni mengangkat alisnya lalu menoleh pada Cia yang masih nyengir. Yah, ia hampir lupa akan hal itu. Rahasianya ketahuan Cia ketika gadis itu sedang melamar pekerjaan di kantornya. Dan ia tak tahu apakah Cia akan diterima atau tidak.
"Kami pergi dulu aja," kata Soni berpamitan. Ia tak suka bicara dengan Yudi, jadi ia tak menanggapi ucapan pria itu. "Nanti sore aku anterin Tiara balik."
"Oke, Mas. Hati-hati, Ra. Jangan bikin ayah kamu repot," pesan Rika.
Tiara hanya mengangguk. Ia lalu berdiri mengikuti Soni. Ia menoleh lagi pada Cia yang masih berpamitan pada Rika dan Yudi. Tiara menggeleng, wanita itu sangat aneh.
Begitu tiba di mobil, Cia berniat untuk duduk di depan seperti tadi, tetapi Tiara lebih dulu membuka pintu depan. Ia hendak protes, tetapi gadis itu melompat naik dengan cepat begitu juga dengan Soni. Ia mendengkus dan mau tak mau ia segera membuka pintu belakang.
"Di mana restorannya?" tanya Soni pada Tiara ketika ia mulai menjalankan mobilnya.
"Aku masukin namanya di GPS, bentar," jawab Tiara.
Cia memperhatikan bagaimana gadis itu mengetik sesuatu di layar GPS mobil. Ia membuang napas panjang, tampaknya gadis itu tidak mau ramah padanya. "Ini ... kita mau makan apa?"
"Soto Betawi," jawab Tiara.
"Oh." Cia membulatkan bibirnya. "Itu enak. Tante juga suka."
Tiara menoleh dengan tatapan menusuk pada Cia. Jelas tatapan itu bermakna agar Cia tak perlu berkomentar. "Tante umurnya berapa? Kenapa Tante bisa nikah sama ayah aku?"
"Ehm ... 22 tahun. Kita cuma beda 12 tahun, Tiara. Kamu bisa anggap Tante kayak kakak mungkin," kata Cia mencoba lebih akrab.
"Tante terlalu tua untuk jadi kakak aku. Dan Tante terlalu muda untuk jadi ibu tiri aku," ujar Tiara sengit.
Cia mendengkus. Ia tak ingin kalah dari bocah menyebalkan ini. "Terserah kamu mau anggap Tante apa."
"Aku nggak suka Tante nikah sama ayah aku!" gertak Tiara.
"Nggak suka ya udah. Nyatanya kami udah nikah! Week!"
Tiara kembali melayangkan tatapan sengit pada Cia yang baru saja menjulurkan lidahnya. Keduanya membelalak satu sama lain hingga Soni hanya bisa membuang napas panjang. Menghadapi Tiara yang ngambek saja sudah cukup memusingkan. Dan kini, ada dua gadis yang saling melotot dengan sengit di mobilnya.
Betapa sial!