Bab 2: The Second Time Around √

1550 Words
*** Giana sudah siap untuk memulai harinya. Ditemani sepatu hak tahu yang sederhana, kaki Giana melangkah pasti menuju tempat kerjanya. Senyumnya tampak cerah meskipun luka masih saja bersemayam di dalam hatinya. Sudah Sepuluh tahun berlalu sejak hari itu, hari di mana kedua orang tuanya dinyatakan meninggal dunia. Sejak itu pula hidup Giana berubah drastis. Dari seorang gadis yang tak pernah kekurangan apapun, menjadi remaja yang harus tertatih membiayai sekolahnya juga menghidupi adik dan neneknya. Namun, Giana tidak menyerah. Dia sendiri yang memilih untuk tidak menerima bantuan apapun dari seseorang yang ingin bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada hidupnya. Menderita seperti apapun, Giana tak menyesali pilihannya untuk tidak menerima bantuan dari mereka yang dia anggap sebagai penyebab kematian orang tuanya. Terlepas dari apapun alasan yang sebenarnya dibalik tragedi itu. Giana menggelengkan kepalanya, berharap segala bayangan yang menyakitkan terhempas begitu saja. Dia juga lelah dihantui oleh masa lalu. Dirinya sudah cukup ikhlas menerima apa yang terjadi. Dia juga ikhlas membesarkan adiknya dan menjaga neneknya meskipun dia harus mengorbankan pendidikannya sekalipun. Giana harus membuang jauh-jauh mimpinya yang dulu ingin melanjutkan pendidikan ke luar negeri untuk menjadi seorang dokter yang hebat. Biaya pendidikan memang sudah ayahnya siapkan, tapi Giana tak bisa menjadi egois dengan mengabaikan adiknya. Semua uang yang ayahnya siapkan dirinya gunakan untuk adiknya juga neneknya. Apa lagi beberapa bulan setelah kepergian orang tuanya, paman, kakak dari ayahnya merebut rumah mereka. Sampai detik ini Giana tak bisa mengambil haknya itu. Sudahlah, Giana tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya mampu bekerja di Layanan Siap Bantu yang merupakan milik temannya. Pekerjaan ini cukup menguntungkan meski memiliki risiko yang cukup tinggi. Giana tak sempat memikirkan segala risikonya bila sudah mengingat biaya pendidikan adiknya dan biaya hidup mereka. Perempuan yang sudah berusia Dua Puluh Lima tahun itu menghempaskan bokongnya ke atas kursi sofa yang masih empuk meskipun tampak lusuh dan tua. Dia baru saja sampai ke markas yang mereka jadikan sebagai tempat kerja. "Selamat pagi nona serba bisa," sapaan basi yang selalu Giana dengar saat dia bertemu Aya, sahabatnya sekaligus pemilik sah Layanan Siap Bantu ini. Giana menyengir pasrah, "Pagi bos cantik yang suka ngatur," balasnya sambil menyindir. "Astaga! Peraturan yang bersifat baik kenapa harus diprotes," deliknya. Giana hanya bisa menganggukan kepalanya. "Jadi, ada permintaan apa hari ini?" tanya Giana pada Aya yang juga sudah bergabung duduk bersamanya. Aya mendekat, hal itu membuat Giana curiga. "Pasti ada sesuatu nih," tebaknya. Aya terkekeh, "Sedikit aneh dari biasanya," ucap Aya sambil menyatukan jari telunjuk dan ibu jarinya. Giana menegakan tubuhnya, dia menyimpan kedua tangannya di depan d**a. "Apa?" tanyanya. Namun Aya tak langsung menjawab, Aya tampak ragu untuk memberitahu Giana. "Katakan Aya," desak Giana yang terlanjur penasaran. Aya masih saja terlihat bimbang. Dia membuka dan menutup mulutnya dalam waktu yang tak berselang. Giana memutar bola matanya. "Ada apa, Rel?" Giana mengalihkan perhatiannya pada Farel yang sedang duduk di bangku kebanggaannya karena tak juga mendapatkan jawaban dari Aya. Terdengar helaan napas yang Farel keluarkan dari mulutnya. Terpaksa dia yang harus memberikan penjelasan pada Giana. "Sebenarnya, kita punya klien baru tapi belum aku setujui," ucap Farel pelan-pelan. "Kenapa?" tanya Giana penasaran. Farel terlihat mengalihkan tatapannya lada Aya, seolah sedang meminta persetujuan untuk membahas ini. "Karena permintaan ini nggak seperti biasa, Gi. Temannya Farel minta kamu jadi kakak perempuannya untuk melamar pacarnya," bola mata Giana seakan keluar setelah mendengar itu. Aya tampak gelisah, dia yakin sudah menyampaikan informasi dengan benar. Namun, kenapa dirinya merasa salah dalam bicara melihat reaksi Giana yang melotot padanya. "Namanya Gama," ucap Farel. "Temanku," terangnya saat melihat Giana mengerutkan dahi. "Kamu mau ambil?" tanya Farel. Pekerjaan ini memang lain dari biasanya. Selama ini mereka menerima panggilan yang masih terdengat normal. Misal klien meminta bantuan untuk menjadi pembantu dadakan, atau asisten dadakan. Pernah juga menjadi pacar dadakan. Permintaan ini yang paling sering dan memiliki risiko dijambak oleh mantan pacar atau fans dari si pemilik permintaan. Giana masih bisa mengatasinya karena dia tak perlu bertemu mereka lagi. Namun jika harus menjadi sister contract risikonya semakin besar saja. Dia tak bisa berbohong sejauh itu meskipun ada jaminan keselamatan yang klien tawarkan untuknya. Apa lagi untuk sebuah acara lamaran. "Kenapa harus nyewa kita sih? Keluarganya udah nggak ada?" tanya Giana penasaran. "Huss sembarangan! Keluarganya masih lengkap, tap kudengar mamanya nggak setuju sama wanita yang Gama pilih," jawab Aya. "Hemm syndrom mama mertua dan menantu idaman," komentar Giana. "Tapi, maaf aku nggak bisa. Nggak tega main sejauh itu," tolaknya. Sudah Aya tebak, Giana pasti tidak mau terlibat sejauh itu. "Tapi, apa bedanya saat kamu pura-pura jadi pacarnya Pak Dio dan membohongi ibunya sampai detik ini?" sindiran Aya tepat sasaran. Giana berdecak sebal. Itu berbeda, dia membantu Dio yang adalah temannya sejak SMA. Dio sedang kesusahan karena terus menerus di jodohkan oleh ibunya. "Ambil aja Gi, feenya besar," ucap Aya membujuk Giana. Perempuan itu mengetuk kepala Aya, "Kebiasaan! Lupa sama teman kalau sudah soal uang," ucapnya. "Demi keuangan kamu juga, Gi," balas Aya sambil mengusap kepalanya. Giana terdiam, ia menunduk, menimbang apakah benar dirinya harus mengambil pekerjaan ini? Tapi kenapa dia memiliki firasat yang buruk? Seolah dia akan mendekati masalah jika menganggukan kepala, setuju untuk menerima permintaan ini. Namun, Giana kembali teringat ucapan Gufta pagi tadi. Adiknya itu mengatakan bahwa obat nenek mereka sudah habis. Uang sekolahnya juga sebentar lagi harus dibayar. Itu lah kenapa Giana tidak memiliki pilihan lain selain menganggukan kepalanya. "Baiklah, kenalkan aku sama klien kita," putusnya. Aya bersorak senang meskipun dirinya juga merasa baru saja menjerumuskan Giana ke dalam masalah besar. Aya mencoba meyakinkan dirinya bahwa semua akan baik-baik saja. Aya memeluk Giana dengan erat. "Semangat!!" ujarnya setelah melepas pelukan itu. Giana mengangguk singkat, dia selalu menampakan wajah cerianya. "Semangat!" balasnya. "Gama akan datang sebentar lagi," Farel memberitahu Giana dan Aya setelah mendapat pesan singkat dari temannya itu. *** Pukul Sepuluh tepat, Gama Pradipta sampai di alamat yang Farel berikan padanya. Namun, bukan kantor yang ada di dalam bayangannya yang terlihat, tapi rumah dua tingkat yang di atasnya memiliki bangunan kecil beratap. Gama mencoba menghubungi Farel untuk memastikan alamat yang dia berikan benar. "Halo, Gue udah di depan. Tapi, kenapa yang ada di depan gue ini malah rumah? Lo yakin alamat yang lo kirim benar?" tanyanya panjang lebar setelah Farel mengangkat telponnya. Gama mengangguk singkat saat Farel menyahut dan memintanya menunggu di luar. Farel yang akan menjemputnya. Setelah itu, Gama mematikan teleponnya. Menunggu batang hidung Farel. Demi apa dirinya tak akan melakukan ini jika saja ibunya menyetujui pernikahannya dengan Dea. Gama benar-benar tak mengerti kenapa ibunya menuduh Dea hanya ingin menguras hartanya saja. Menurut Gama, Dea adalah wanita yang baik dan mencintainya. Namun, mamanya tidak setuju dengan itu. "Gama!" seruan Farel membuat Gama tersadar dari lamunannya. Sedikit lagi dirinya akan mengikuti rencana Dea yang memaksa menyewa seorang kakak untuk membodohi kedua orang tuanya demi melancarkan acara lamaran mereka. Sejujurnya, Gama ragu. Dia bimbang harus melakukan ini. Namun, dirinya terlanjur berjanji pada Dea. Sebenarnya, Gama tidak tahu saja bahwa Dea dan orang tuanya bekerja sama untuk mensukseskan acara lamaran itu. Farel mendekati Gama, "Wihhh udah lama ya bro," ucap Farel sambil menjabat tangan Gama. Keduanya memang sudah sangat lama tidak bertemu. Mereka dulunya adalah teman SMA. "Ayo masuk!" ajaknya. Dahi Gama berkerut ragu, "Masuk?" tanyanya. Tak ada kantor di sini. Hanya ada rumah saja. "Ah," Farel menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Itu kantor kami," ucapnya sambil menunjuk bagian atap dari rumah itu. Gama membolakan matanya. "Itu?" tanyanya sambil ikut menunjuk bagian atap yang tadi Farel tunjukan. Farel mengangguk malu, kantor mereka memang sangat kecil. Itu pun milik orang lain. Mereka hanya penyewa saja. "Iya, itu kantor kami," jawab Farel. Gama mengangguk singkat, dia mengikuti ke mana arah Farel pergi. Ternyata ada tangga di samping rumah itu yang menyatu ke dinding. Tangga tersebut langsung terhubung ke atas atap. Gama menarik sudut bibirnya, layanan siap bantu yang Farel bicarakan setahun lalu memang sedikit aneh. Awalnya, Gama tidak tertarik sama sekali. Namun, ketika Dea memberinya ide untuk menyewa seorang kakak perempuan, nama Farel langsung terngiang di telinganya. Gama dan Farel bertemu lagi setahun yang lalu saat mereka ikut reunian di SMA. Sejak saat itulah keduanya bertukar kontak. Namun, keduanya tidak saling menghubungi seperti kebanyakan orang. Gama memang berteman dengan Farel, tapi kesibukan membuatnya lupa untuk hanya sekedar menyapa. Baru beberapa waktu lalu dia kembali menghubungi Farel dan bertanya soal layanan siap bantu yang pernah Farel tawarkan padanya. Itu lah sebabnya hari ini mereka bertemu lagi. "Silakan masuk," ucap Farel yang baru saja membukakan pintu kantor mereka. Gama masuk dengan canggung. Dia sedikit ragu harus meneruskan ini atau tidak. Sesuai dugaannya, rumah atap yang mereka masuki tak layak disebut sebagai kantor. Ruangan itu sangat kecil dan sempit. Isi ruangannya pun tampak membosankan. Tidak ada suasana kantor sama sekali. "Aya, ini Gama temanku. Gama, ini Aya sekretaris sekaligus pacarku," terang Farel memperkenalkan keduanya. Gama mengangguk singkat, begitu juga Aya. "Silakan duduk," ucap perempuan itu mempersilakan Gama untuk duduk. Lagi-lagi Gama mengangguk singkat. "Di mana Gia?" tanya Farel karena tak melihat Giana di mana-mana. "Lagi angkat telepon," jawab Aya. "Nah ini dia," ucapnya setelah pintu terbuka dan menampakan sosok perempuan bertubuh semampai yang terlihat cantik. Gama menatap Giana tanpa kedip. Begitupun juga dengan Giana. Keduanya seolah mengirimkan signal perkenalan untuk pertama kalinya. Padahal ini adalah pertemuan kedua mereka. Entah apa yang akan terjadi setelah ini, tetapi tujuan Gama hanya satu yaitu menjadikan Giana sebagai sister contract baginya. . . To be continued.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD