BAB 9

1572 Words
Putri dan Ririn pun berjalan menuju ke basecamp di mana para teman pria menunggu mereka. “Hei, ini gua bawa gorengan anget!” Ririn terlihat tersenyum sambil menenteng satu plastik berwarna putih yang dialasi daun pisang dan berisi gorengan bermacam-macam dan masih hangat. Ada tempe goreng, tahu susur, bakwan, pisang goreng, dan tela goreng. Terlihat menggiurkan dan lezat apalagi masih hangat. “Lama amat, lu? Ke mana aje?” Dalwi menatap Ririn dan Putri karena memang cukup lama mereka berdua beli gorengan. Dalwi merasa kalau mereka berdua terlalu lama yang pergi. Namun teman yang lain diam saja tidak protes. “Ya, beli gorengan, lah. Mosok nguras empang?” Ririn tertawa sambil menyodorkan plastik putih itu dan memperlihatkan gorengan yang masih hangat. “Kok, lama amat, Sayang?” selidik Kodel yang heran beli gorengan kenapa begitu lama. “Tadi penjual gorengan ajak bicara banyak hal. Beri nasehat gitu banyak banget. Emang ya orang-orang anggap gimana gitu karena kita dari Jakarta. Sempet tersinggung gua,” ucap Ririn yang mencoba menjelaskan kepada pacarnya. “Emang orang itu bilang apa, Sayang?” tanya Kodel yang penasaran, padahal matanya juga masih saja curi-curi pandang lirik Putri. “Tadi penjual gorengannya pesan kalau di sini mau naik gunung harus jaga omongan, nggak boleh kasar gitu yang ngomong. Terus nggak boleh seenaknya sendiri, jadi harus sopan gitu. Terus yang terakhir pesannya itu nggak boleh nyuri di sana. Biar nggak kena apes gitu katanya.” Ririn menjelaskan dan Putri mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedangkan yang lain ikut mendengarkan. “Iye emang gitu, ntuh kalau naik gunung. Banyak pantangannya. Asal ikuti peraturan yang ada aja pasti kita aman, kok!” Bang Opung membenarkan dan memaklumi dengan apa yang dikatakan oleh penjual gorengan karena memang semua itu adalah benar. Sebagai orang yang sering naik gunung, nasehat dan juga larangan yang diberikan oleh warga lokal harus didengarkan dan ditaati agar tidak terjadi suatu apapun yang di luar perkiraan. “Halah, apa, tuh? Tahayul. Mitos. Kalau misal, ya, nyuri ... Mau nyuri apa di tengah hutan gunung gitu? Nggak ada yang bisa dicuri. Aneh aja pantangannya. Kalau misal tukang gorengannya mau nyuri hati kalian, mungkin bisa. Kan, kalian cewek cantik dari ibu kota. He he he ....” Kodel justru tidak percaya dan menganggap semua itu hanya bahan lelucon saja. “Hust! Nggak boleh gitu, lah. Hormati ketentuan yang ada di sini,” ujar Dalwi yang mencoba memperingatkan Kodel. “Lah, emang aneh, kok.” Kodel masih saja tertawa menganggap hal itu. “Udah, udah, ini gorengannya,” kata Putri sambil menyodorkan plastik yang tadi dibawa oleh Ririn. “Lah, asyik. Pas, gua juga udah laper!” sahut Rahmat yang langsung mau mengambil gorengan, tetapi dihentikan oleh Bang Opung. “Nafsu aje, lu! Makan gorengannya ntar sambil jalan aje. Yok, siap-siap, terus jalan. Ntar kemalaman di jalan!” ajak Bang Opung dengan semangat. “Terus kalian mau percaya atau nggak, mending ikuti apa yang jadi ketentuan di sini daripada ntar kenapa-kenapa,” imbuhnya. “Siap, Bang!” sahut mereka serentak mengikuti apa yang dikatakan oleh Bang Opung. “By the way, mana tukang gorengannya? Kok, nggak kelihatan?” ujar Ririn yang merasa heran saat melihat ke arah tukang gorengan tadi tetapi tidak ada orang tersebut. Padahal tadi jelas lelaki itu berada di sana dengan pikulan gerobak gorengan sedang duduk untuk menggoreng. “Paling udah pindah tempat, kalik. Nggak usah mistis gitu, kalik!” sahut Putri sambil tersenyum mencuri pandang ke arah Kodel. Putri sudah tidak sabar untuk mendaki bukit dan bermalam di sana. Tentu saja yang ada dalam pikiran wanita itu adalah mencuri kesempatan demi bisa bermesraan dengan Kodel. Putri merindukan sentuhan Kodel yang membuat ketagihan. “Iya, udah. Ayo, siap-siap,” ujar Rahmat yang sudah berdiri siap untuk berangkat. Dalwi, Kodel, Rahmat, Ririn, dan Putri langsung bersiap-siap untuk mengambil barang bawaan masing-masing untuk bergegas berangkat. Mereka semua mengikuti apa yang dikatakan oleh Bang Opung. Memang benar kalau makan gorengan bisa sambil jalan, jadi mereka ikut saja daripada kemalaman di jalan menuju puncak gunung. “Nah, gini, gua jadi pemimpin, kan? Jadi, tolong dengerin apa yang gua bilang dan jangan membantah apapun yang gua bilang. Paham?” Bang Opung memastikan kembali kepada teman-temannya untuk mengikuti apa saja yang dikatakan agar selamat sampai tujuan dan bisa kembali lagi dengan selamat serta utuh berenam. “Oke, Bang!” “Siap!” Mereka berlima pun menjawab dengan penuh semangat sambil mengikuti arahan apa saja yang dikatakan oleh Bang Opung. Tentu saja mereka mengikuti arahan agar bisa sampai di puncak dengan selamat dan kembali lagi dengan aman. Minimnya pengalaman naik gunung membuat kelima orang itu patuh terhadap perkataan Bang Opung. Padahal mereka juga belum tahu persis bagaimana medan yang akan ditempuh nantinya. “Kita mulai jalan, yak! Biar enak jalannya, kita baris aja satu per satu. Gua di depan, Kodel belakang gua, terus si Ririn, terus Putri, terus si Rahmat, dan terakhir si Degel. Gimana, setuju?” Bang Opung menginstruksi dan semuanya langsung saja setuju dengan apa yang dikatakan oleh pemimpin rombongan itu. Dalwi tidak merasa keberatan untuk berada di urutan paling belakang karena ingin memberikan perjalanan serta membuat video ala-ala vlog. Dalwi memang ingin mengabadikan perjalanan naik gunung itu secara baik dan juga berkesan apalagi dengan ponsel baru meski yang dibeli dengan uang hasil mencuri. Bukankah urutan terakhir itu bisa melihat lebih banyak pemandangan dan juga tidak tersesat karena mengikuti teman-teman yang berjalan lebih dahulu di depan. “Yok, baris dan berangkat!” Bang Opung dengan penuh semangat mengajak mereka berbaris satu per satu lalu segera berangkat menyusuri jalan menuju ke pos kedua. Mereka berenam dengan bersemangat berjalan menyusuri perjalanan yang di kanan dan kiri terdapat banyak pepohonan dan rumput yang tinggi. Mereka juga tidak lupa untuk makan gorengan mumpung masih hangat selama perjalanan. “Nih, Bang Opung dulu yang ambil gorengan. Ntar ke belakang, terus maju lagi. Pokoknya sambil jalan sambil makan,” ujar Rahmat yang meminta mereka membawa plastik berisi kurang itu ke depan terlebih dahulu. “Setuju, yuk!” jawab Kodel karena sudah lapar juga. Mereka pun mulai estafet kantong plastik yang berisikan aneka macam gorengan mulai dari depan agar Bang Opung bisa mengambil terlebih dahulu gorengan tersebut setelah itu memberikan plastik tersebut ke Kodel. Kodel pun mengambil gorengan itu dan memberikan kepada Ririn. Seperti itu sampai plastik gorengan ke tangan Dalwi yang masih sibuk merekam ini itu untuk nge-vlog. “Nah, guys! Ini dia perjalanan menuju ke puncak gunung Merbabu yang dilakukan oleh putra dan putri ibukota yang cantik dan tampan tentu saja bersama Degel di sini. Yuk, ikuti perjalanan kami mendaki gunung ini dan mendapatkan semua pemandangan terindah dari tempat ini.” Dalwi memulai vlog dengan semangat sambil memperlihatkan pemandangan yang ada di sekitar dan juga teman-teman yang berjalan di depannya. Kodel yang sedang memakan tempe goreng itu pun mengatakan, “Wah, kurang cabe, nih. Kalau pedes gitu nikmat!” “Lah, nggak ada cabe, ya?” sahut Putri yang baru sadar kalau tidak ada cabai di dalam plastik bungkus gorengan tersebut. “Iya, nih, kurang mantap kalau nggak ada cabe,” imbuh Rahmat yang sedang menggigit secuil tahu susur yang masih hangat. Saat berjalan tidak sengaja Ririn melihat di sebelah kanan ada tanaman cabai yang sudah berbuah. Cabai yang masih berwarna hijau itu terlihat menarik untuk dipetik. Wanita itu segera memetik beberapa cabai dan membasuh dengan air minum dalam botol sambil berjalan. “Nih, cabe, nih!” seru Ririn yang mulai memberikan cabai kepada Kodel di hadapannya dan Putri yang ada di belakangnya untuk diberikan kepada teman yang lain. Mereka segera menerima cabai yang disodorkan oleh Ririn dan memakan bersama dengan gorengan yang masih di estafet maju mundur dan maju lagi mundur lagi. Bang Opung sama sekali tidak melihat kalau Ririn memetik cabai yang ada di kanan jalan karena pria itu fokus di depan mencari jalan sesuai dengan petunjuk arah yang diketahui. Mereka berlima tidak merasa aneh sama sekali dan menghabiskan gorengan beserta cabai yang ada. “Wah, enak banget, nih, gorengan plus cabe emang top!” ujar Kodel yang masih mengikuti perjalanan sesuai dengan Bang Opung yang berada di paling depan. “Iya, Sayang. Enak, kok.” Ririn sedikit berbisik sambil menggoda Kodel. “Apa yang enak, Sayang?” Kodel mulai melancarkan jurus buaya curut dengan nada menggoda juga. “Gorengannya, lah, Sayang. Apa, sih?” Ririn mulai manja yang cara membuat Putri yang mendengar merasa kesal dan juga cemburu tetapi masih menahan di dalam hati. Dalwi sudah selesai makan gorengan lima biji karena beli dua puluh ribu dapat tiga puluh dibagi enam orang dan lanjut merekam perjalanan serta pemandangan sekitar dengan video handphone baru. Sedangkan perjalanan terus berlanjut karena waktu sudah sore menjelang malam. Mereka pikir bisa mencapai pos kedua sebelum malam tiba agar bisa mendirikan tenda. Bang Opung terlihat mempercepat langkah karena ada sesuatu yang dirasa aneh. “Lah, rasa-rasanya ada yang aneh, nih. Duh, gimana, ya? Apa gua berhenti aja dulu sambil bilang ke yang lain? Tapi ntar kalau gua bilang, mereka bisa panik, ya? Duh, gimana, nih?” batin Bang Opung yang sedikit ragu dengan jalan yang ditempuh. Entah kenapa pria itu merasa sesuatu yang beda dengan biasanya. Teman yang lain masih merasa santai karena tidak merasakan hal yang ganjil sama sekali karena belum pernah mendaki gunung. Sedangkan Bang Opung yang sudah pernah mendaki gunung di beberapa tempat apalagi pernah ke Merbabu menjadi merasa ada sesuatu yang aneh. Dalwi dan Rahmat sesekali mengambil gambar video berdua sambil melanjutkan perjalanan. Hal aneh apa yang sebenarnya dirasakan oleh Bang Opung? Sedangkan teman yang lain belum ada yang merasakan sama sekali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD