Dalwi bersama teman-teman melanjutkan perjalanan tetapi karena sudah mulai malam dan takut tidak sampai di pos kedua Sesuai dengan jadwal, maka mereka pun mencari tempat yang bisa untuk mendirikan tenda. Memilih untuk berkemah daripada meneruskan perjalanan ke pos kedua merupakan pilihan yang tepat. “Kita cari tempat buat diriin tenda dulu aja. Udah makin malam jadi nggak mungkin sampai di pos kedua tepat waktu. Kalau nggak diriin tenda, makin susah ntar,” kata Bang Opung sambil memberitahu yang lain karena memang waktu sudah semakin malam.
“Yok, Bang!” sahut Kodel, Rahmat, dan Dalwi bersamaan padahal tidak janjian. Mereka sudah lelah, apalagi para wanita yang tidak mau menjawab sama sekali karena memang sudah lelah.
Saat jalan, Ririn tidak sengaja melihat sebuah penampakan yang terasa mengerikan di atas pohon. Bergaun putih agak kusam bekas tanah, rambut hitam kusut, dan mengayun-ayunkan gaun bawah. Seketika tubuh Ririn terasa kaku dan gemetar. “A-apa itu? Duh .... Sayang ... Kodel!!” Ririn ketakutan dan berusaha memberitahu pacarnya tentang apa yang dilihat.
“Apa, Sayang?” Kodel belum paham dengan kode yang diberikan oleh Ririn.
“Ntuh ... Atas ... Ada apa, ntuhh ....” Ririn terlihat begitu gugup dan takut sambil menatap ke atas tidak berani menunjuk dengan jarinya karena pernah diberitahu di tempat yang angker apalagi ada penunggu tidak boleh menunjuk sembarangan.
“Apa, sih, Rin? Udah, fokus aja jalan,” jawab Kodel yang justru membuat Ririn semakin kesal karena merasa diabaikan atau mungkin justru Kodel juga takut dan tidak mau melihat apa yang dilihat oleh Ririn.
Ririn pun mencoba mengabaikan tentang penampakan yang terlihat di atas pohon meski sebenarnya wanita itu kalau penampakan itu sudah mengetahui Ririn melihatnya. Meski ketakutan, Ririn tetap melanjutkan perjalanan. Terlihat dengan jelas kalau wanita itu tidak mau terus-menerus merasa ketakutan sendirian dan berusaha mengabaikan hal itu.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa khas makhluk gaib bergaun putih tersebut. “Hiii hiii hii hiii ....”
Sepertinya kali ini tidak hanya Ririn saja yang mendengar tetapi yang lain juga ikut mendengar. “Ayo, cepet!” seru Bang Opung yang mendengar suara itu dan berharap semua akan baik-baik saja.
Bang Opung bertanya-tanya di dalam hati karena tumben saja melakukan pendakian gunung dan merasa apes lebih dari sekali dalam waktu yang dekat. Setelah mendapatkan tempat yang cukup landai dan luas untuk bisa digunakan mendirikan tenda, Bang Opung segera memberikan aba-aba untuk berhenti. “Kita bangun tendanya di sini aja. Udah cukup luas dan aman. Gua yakin di sini aja karena waktu nggak cukup buat sampai ke pos dua keburu malem banget.”
“Oke, Bang,” jawab yang lainnya tanpa protes.
Mereka pun mulai bersiap-siap untuk mendirikan tenda. Ada dua tenda yang dibawa oleh mereka berenam karena empat orang laki-laki dan dua orang wanita jadi dipikir menggunakan dua tenda saja cukup. Mereka pun mulai buka tenda dan para pria membantu memasang tenda untuk para wanita. Berhubung wanita hanya dua, tak mungkin mereka pasang tenda sendiri.
Ririn masih bad mood karena Kodel tadi mengabaikan saat ada penampakan di jalan. Belum selesai rasa kesalnya pada Kodel, Ririn yang duduk sambil cemberut macam kodok zuma itu pun kembali emosi melihat Kodel dan Putri berinteraksi begitu hangat. Sejak kapan Kodel dan Putri kenal bahkan akrab? Ririn sama sekali tidak tahu.
“Sini, gua bantuin. Kaki lagi sakit juga,” ujar Putri terlihat begitu perhatian kepada Kodel.
“Lah, susah ini. Ntar lu nggak bisa pasangnya.” Kodel sejak tadi memang curi pandang ke Putri. Kebetulan juga Ririn sedang datang bulan, jadi tidak mungkin digarap atau diubek-ubek. Kodel jadi lebih genit pada Putri. Lagi pula, Putri itu supel, mudah bergaul, dan tidak mudah marah. Beda jauh dengan Ririn yang sedikit-sedikit langsung marah.
“Nggak apa, kok. Bantuin juga nggak apa,” ucap Putri sambil tersenyum.
“Put, sini, bantu gua aja!” seru Rahmat yang cari kesempatan untuk pendekatan. Sedangkan Dalwi yang membantu tenda Kodel dan Putri lebih pendiam. Dalam hati Dalwi ingin segera selesai mendirikan tenda, lalu nge-vlog lagi.
“Lah, lu, kan, udah dibantu Bang Opung. Berdua aja, dah!” sahut Putri sambil tertawa.
“Lah, godain gua aja, Napa? Kodel, kan, udah ada yang punya,” ucap Rahmat sambil bercanda mengucapkan hal itu tetapi justru memicu amarah dari Ririn.
“Kodel, ngapain, sih, lu genit gitu? Ngapa juga deket-deket sama cewek gatel!” Ririn langsung berdiri dan mendekat ke arah Kodel serta Putri sambil marah-marah.
“Lah, napa? Putri cuma mau bantuin gua doang. Dia tahu kalau kaki gua masih sakit, makanya bantuin gua,” ujar Kodel yang sebenarnya sudah muak dengan sifat Ririn yang selalu saja marah dan marah terus meski ada sebab atau tidak wanita itu selalu saja mudah merajuk. Jelas berbeda dengan Putri yang secara terang-terangan mau menjadi yang kedua dan terlihat lebih sabar.
“Lah, kok, lu bilang gitu? Berarti secara nggak langsung banding-bandingin gua sama dia, dong! Lu ada hubungan apa, sih, ama cewek gatel, tuh?!” Ririn langsung menarik tangan Kodel dan berbicara hanya berdua agak jauh dari yang lain.
Putri sudah tahu kalau Ririn pasti cemburu. Putri merasa senang Kodel membela dirinya. Namun pertengkaran antara sepasang sejoli itu pun semakin memanas dan membuat yang lain ikut melerai. Kecuali Putri yang hanya diam dan menahan senyum melihat Kodel dan Ririn bertengkar.
“Udah, jangan berantem gini. Nggak enak, tau! Tendanya selesaiin dulu aja.” Dalwi melerai, tetapi justru kena amukan Ririn juga.
“Lah, lu juga sama aja. Lu, kan, selalu anggap gua biar masalah. Jadi pasti lu nggak terima kalau gua anggap Putri merupakan cewek gatel, kan? Nggak usah ikut campur urusan gua sama cowok gua!!”
“Eh, dibilangin malah nyolot? Ya udah, terserah lu pade!!” Dalwi langsung kembali untuk menyelesaikan mendirikan tenda daripada melerai dua orang menyebalkan itu.
Dalwi sejak awal memang curiga ada sesuatu yang terjadi antara Kodel dan Putri. Namun pria itu masih mencoba untuk positif thinking dan tidak memikirkan hal tersebut. Saat ini masalah Kodel dan Ririn terlihat begitu jelas hanya karena Putri. Bang Opung pun ikut campur.
“Lu berdua bisa diem, kagak?! Capek gua, ya. Udah lu kalau mau ribut, kagak usah tidur tenda!” seru Bang Opung jelas saja membuat pertengkaran Kodel dan Ririn terhenti.
“Sorry, Bang,” ucap Kodel yang merasa tidak enak dengan pertengkaran terus-menerus seperti ini.
Kodel membantu Dalwi kembali sedangkan Putri hanya diam, berhenti membantu. Ririn merasa canggung dengan Putri. Situasi malam itu jadi serba salah. Setelah selesai mendirikan dua tenda akhirnya mereka pun bersantai sejenak sambil menyalakan api unggun untuk menghangatkan tubuh. Rahmat yang menyalakan api unggun karena sudah mempersiapkan terlebih dahulu ranting dari sekitar tempat itu. Dalwi kembali menyalakan kamera dari ponsel untuk mengambil video di sekitar.
“Bro, lu kapan mau ngomong soal Seminar Nasional ke Bang Opung. Lebih cepat lebih baik, biar Bang Opung bisa bawa anak-anak tongkrongan ikutan seminar. Gua jadi kepikiran terus,” ujar Rahmat kepada Dalwi secara bisik-bisik.
“Udah, habis ini aja. Lu udah selesai buat api unggun, kan? Gua juga udah selesai, tuh, tendanya. Dah, gas aja, kagak usah malu.” Dalwi meminta Rahmat mengatakan hal itu sekarang.
“Ya udah, gua nunggu Bang Opung merapat di dekat api unggun buat ngomong, ya?”
“Oke.”
Dalwi pun masih mengabadikan setiap kegiatan dengan ponselnya yang merekam banyak. Sedangkan Putri dan Ririn berinisiatif untuk membuat minuman hangat dengan persediaan yang mereka bawa. Rahmat pun mulai mengajak bicara Bang Opung untuk memulai dari pembicaraan ringan sebelum akhirnya mengutarakan soal seminar tersebut.
“Bang, suka nongkrong dari kapan?” tanya Rahmat sambil membantu Putri dan Ririn memberikan minuman kepada yang lain.
“Udah lama, sih. Sejak masuk kuliah,” jawab Bang Opung to the point saja. Mungkin pria itu sudah lelah dengan kejadian bertubi-tubi hari ini yang terjadi.
“Terus suka naik gunung mulai kapan, Bang?”
“Gua suka sejak SMA pernah diajak sama sodara gua. Jadi keterusan, deh. Gua aja heran kenapa lu lu pada jarang bahkan belum pernah muncak. Seru, tahu!”
“He he ... Iya, Bang. Emang kita kita, nih, ibarat kata ayam cilik, Bang. Suruh muncak kalau kepisah sama Bang Opung pasti bingung.” Rahmat sebenarnya bingung harus berkata apa karena situasi saat ini begitu canggung sejak pertengkaran antara Kodel dan Ririn.
“Makanya, next time lu harus ikutan lagi muncak. Biar apal medan dan juga ngerasain enaknya muncak di gunung-gunung yang beda,” ujar Bang Opung sambil tersenyum.
Ini merupakan kesempatan yang ditunggu-tunggu oleh Rahmat untuk mengungkapkan niat tentang seminar nasional yang akan dilaksanakan dan diadakan oleh anak-anak HIMA. “Nah, Bang. Gini, kebetulan HIMA mau buat Seminar Nasional. Gimana kalau Bang Opung ikutan? Terus ajakin anak-anak tongkrongan juga ikut Seminar Nasional ini? Gua jamin, Bang, ilmuannya oke banget dan berguna, deh. Harganya juga terjangkau.”
“Oh, itu. Gua nggak bisa janji dulu. Gua harus tanya ke temen-temen gimana mereka. Gua usahain, ya? Tapi nggak janji. Tahu ndiri temen-temen tongkrongan juga nggak gampang dibujuk. Pokoknya ntar gua usaha omongin dulu ke mereka. Soal jawaban, gua nggak tahu,” jawab Bang Opung yang merasa sedikit kecewa akhirnya Rahmat dan Dalwi ketahuan niat mengajak soal Seminar Nasional.
“Oh, oke, Bang. Kita harap, sih, Bang Opung bisa ikut plus temen-temen tongkrongan biar rame. Thanks, Bang!”
Rahmat jadi merasa canggung dengan percakapan itu. Sedangkan Dalwi masih sibuk untuk merekam semua kegiatan dan juga percakapan yang terjadi dengan video ponsel barunya. Dalwi juga merasa tidak enak dengan jawaban yang dilontarkan oleh bank Opung yang terkesan seperti tidak begitu suka dengan pembahasan tersebut. Seketika bulu kuduk Dalwi meremang. Rasa aneh kembali terasa. Dalwi mencoba positif thinking, mungkin karena sudah malam jadi merinding berkali-kali.