Hati yang Memaksa

1044 Words
Angga menekankan keningnya pada stir mobil. Dia baru saja masuk garasi dan mesin mobil sudah mati. Namun tubuhnya enggan beranjak dari tempatnya duduk. Hangat genggaman Kienar masih terasa di jemarinya, aroma tubuh Kienar masih menguar di dalam mobilnya. Manis. Seperti aroma madu. Membuatnya ingin dan selalu ingin mencicipi aroma tubuh itu dan menjejalkan kelelakiannya pada tubuh Kienar. Hasrat itu membengkak dan semakin besar tiap kali mereka berdekatan. Dia sudah baik-baik menahan hasrat yang membuncah untuk diluapkan pada saat yang tepat. Ketika malam pertama setelah dia mengucapkan janji suci sehidup semati dengan Kienar. Namun takdir tidak berpihak padanya dan kini dia harus menghabiskan malamnya dengan perempuan lain. Perempuan sahnya tapi perempuan yang sama sekali tidak dia cintai. Nadia. Mengapa harus dia? Perempuan yang dulu dekat dengan Kienar dan dia juga tidak mencurigai apa-apa ketika Nadia mendekatinya. Jangankan untuk jatuh cinta, untuk bersimpati padanya pun sekarang tidak bisa. Yang ada hanya perasaan benci dan ingin menghancurkan kehidupan perempuan itu sejadi-jadinya. Bagi Angga, kini Nadia dan mamanya sama saja. Mereka pasti bersekongkol untuk mengikat hidupnya dan menjadikan dia sebagai boneka yang bisa diatur juga dimanfaatkan. "Kamu cantik. Pintar. Tubuhmu juga bagus dan terawat. Keluargamu orang terkenal dan terpandang. Kamu bisa mendapatkan lelaki mana saja yang bersedia mencintaimu tanpa pamrih. Tidak seperti aku," kata Angga ketika dia melihat Nadia duduk menunggunya di dalam kamar. Perempuan itu geming. Kesepuluh jemarinya saling menaut dan pandangannya lurus menatap Angga. Sepertinya dia sedang memilah jawaban yang akan dilontarkan pada suaminya. Nadia menelan ludah perlahan dan menarik napas sejenak. Angga masih berdiri di depan pintu, masih mengenakan pakaian kerjanya. "Aku mengharapkan cinta tanpa pamrih darimu." Angga mendengkus. Dia semakin membenci Nadia dan jawabannya. Juga isi kepala dan harapannya. "Tidak ada cinta untukmu meski kamu menawarkan pamrih. Sebaiknya pikirkan kembali rencana-rencanamu." Dia melempar dasinya ke lantai dan berjalan ke kamar mandi. Meski mereka akan menghabiskan malam bersama entah sampai kapan, tak sedikit pun Angga tertarik untuk menggauli perempuan sahnya. Sepertinya ada benteng tinggi yang sudah dibangun di antara dia dan Nadia. Berada dalam radius lima senti dengan Nadia pun tidak membuat kelelakiannya bangkit. Dalam diri Angga hanya ada rasa ingin menyakiti perempuan itu dan membalas semua air mata yang telah dikeluarkan Kienar. "Aku tahu kamu tadi pergi dengan Kienar," teriak Nadia dengan suara ditenang-tenangkan. Angga menghentikan langkah dan memiringkan wajahnya. Dia tersenyum sinis. Tidak usah heran. Di gedung milik mertuanya, semua mata pegawai gedung adalah CCTV gratis Pak Sebastian dan turunannya. Tidak akan ada kasak-kusuk yang bisa disembunyikan dari mereka. Angga tidak peduli. Dia sudah ingin menabuh genderang perang dengan mereka semua. Kesalahannya menerima perjodohan ini dan sekarang harus dia perbaiki. Semua harus dikembalikan pada tempatnya. "Ada yang salah kalau aku menjemput kekasihku?" "Seharusnya kamu menjemput istrimu. Kalau kamu sayang sama Kienar, nggak seharusnya kamu menghubungi dia terus-terusan." "Aku nggak pernah merasa punya istri. Kamu bisa pulang sendiri," ujar Angga acuh. "Kita lihat apa kamu masih bersikap sama ketika tahu Kienar tidak bisa kamu jemput lagi." Kata-kata dingin Nadia berhasil membuat Angga terdiam di tempat dan urung masuk ke kamar mandi. Ada nada ancaman dalam suara Nadia yang membuatnya mengepalkan jemarinya. "Kamu mengancam aku?" desisnya tertahan. "Tidak. Semua sudah diputuskan. Aku nggak marah kamu pergi sama Kienar tadi. Kuanggap saja kalian sedang mengucap kata perpisahan." Sial! Seribu kali sialan! Nadia sialan! Angga memaki dalam hati ketika menyadari perempuan ular di hadapannya sudah berhasil menekan Kienar. "Apa tawaran kalian pada Kienar?" "Hhh. Jadi dia belum cerita sama kamu? Kupikir kalian lebih terbuka. Baguslah kalau Kienar mengerti. Sepertinya dia bermaksud menghilang dari hidup kamu." Angga melangkah besar-besar dan mencengkeram kedua bahu istrinya. Diguncangnya tubuh mungil itu hingga Nadia meringis menahan sakit. "Ceritakan semuanya. Papamu memecat Kienar?" Nadia tertawa sinis. Tidak menjawab pertanyaan suaminya. Dengan satu hentakan, dia melepaskan diri dari cengkeraman lelaki berwajah semi oriental itu. "Kamu bisa apa? Menyelamatkan Kienar? Kamu nggak bisa apa-apa, suamiku sayang. Sekalinya kamu bertindak gegabah, Kienar dan adik-adiknya akan berakhir di jalanan." Angga terdiam mendengar perkataan istrinya. Baru sekarang dia menyadari efek domino yang akan terjadi jika dia tetap bersikeras memberontak. Ternyata ... dia memang tidak punya kekuatan apa-apa untuk melindungi orang terkasihnya. Semua yang dia miliki sekarang adalah pemberian mamanya. Nama, kekuasaan, dan jabatan, masih milik mamanya. Dia cuma boneka yang bebas digerakkan mamanya. "Apa maumu, Nadia?" tanyanya lirih. Dia bergerak mundur selangkah. Yang dia nikahi ternyata adalah perempuan yang sama mengerikan seperti mamanya. "Apa sebenarnya maumu, hah!?" Nadia terkekeh. Dia perempuan yang tidak diterima hati suaminya. Namun dalam keadaan terdesak, bahkan hati sekalipun bisa dibelinya. Apa yang tidak bisa dilakukan uang dan kekuasaan? Kebahagiaan pun bisa didapatkan. "Sejak awal pernikahan ini terjadi, sudah jelas yang aku mau. Aku mencintaimu Angga. Sejak melihatmu pertama kali, aku sudah meyakinkan diri untuk memilikimu." "Meski harus merebut dari sahabatmu?" Nadia tertawa kering. Membayangkan Kienar menjadi sahabatnya adalah hal terakhir yang akan dilakukannya dalam hidup. "Kienar tidak pernah menjadi sahabatku. Aku nggak pernah menganggapnya begitu. Dia cuma menjadi jalanku mendekatimu," ujarnya sinis. Berkelebat dalam ingatannya, bagaimana usahanya bermanis-manis untuk mengambil hati perempuan kampung itu. "Dasar ular," desis Angga. Semakin jijik dia pada istrinya. "Ular ini sekarang adalah istrimu. Baik-baiklah padanya jika tidak ingin hidup Kienar kenapa-kenapa." Angga mengatupkan rahang kuat-kuat dan mengepalkan tangan hingga buku jarinya memutih. Rasanya dia ingin menuntaskan kesal dengan menyakiti istri beracun di hadapannya. Jika tidak ingat pada Kienar, pasti dia sudah menyakiti Nadia. Angga mengurungkan niatnya untuk mandi. Dia membalikkan badan dan keluar kamar. Membanting pintu di belakangnya kuat-kuat. Membuat Nadia terlonjak sebelum akhirnya meluruh ke lantai. Duduk bersimpuh dan mulai menangis. Cinta memang buta. Begitu gelapnya hingga dia tak bisa melihat ke dalam nurani. Sejak melihat Angga menjemput Kienar di kantor papanya, perempuan manis itu sudah memantapkan hati untuk memiliki Angga. Tidak peduli jika lelaki itu sudah memiliki kekasih dan berencana menikah. Apa yang dia inginkan harus dia dapatkan. Seperti itulah papa membesarkannya sebagai anak tunggal. Namun mendapatkan hati Angga ternyata tidak mudah. Lelaki itu sulit berpaling walau sering bermain. Semakin dia memahami hubungan Angga dan Kienar, semakin ingin dia merebut tempat Kienar. Dia tidak bisa melakukannya sendirian. Dengan bantuan Papa dan Tante Angela, semua yang tidak mungkin menjadi mungkin, walau harus dipaksa. "Aku mencintaimu Angga. Lebih besar dari cinta Kienar padamu. Kenapa kamu tidak bisa merasakannya?" ucapnya lirih dibalik sedu sedan tangisnya. Perjuangannya masih panjang. Namun Nadia tidak akan menyerah untuk membuat Angga mencintainya. Asalkan Kienar pergi dari kehidupan Angga, dia yakin bisa menempati kekosongan yang ditinggalkan Kienar. Toh, dia punya segalanya. Lelaki seperti Angga yang seumur hidup bergantung pada orang tuanya, tidak mungkin mau melepas segala kemudahan dan hidup menggembel. Nadia percaya, hanya soal waktu hingga Angga akan sepenuhnya dia miliki. [] ©elopurs - 2020
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD