"Kita sudah sepakat." Pak Sebastian menyodorkan amplop coklat A4 ke hadapan Nyonya Angela. Ini bukan hal yang biasa kalau sampai Pak Sebastian menemuinya di kantor.
"Tidak perlu diingatkan. Saya sudah tahu resikonya." Nyonya Angela mendorong amplop coklat tersebut hingga ke sisi meja di hadapan Pak Sebastian.
"Saya hanya mengingatkan. Kejadian kemarin jauh dari perkiraan dan saya harap tidak terulang lagi. Atau kesepakatan kita batal." Pak Sebastian berdiri dan membenahi kancing jasnya. Tanpa permisi dia berlalu dari hadapan Nyonya Angela tanpa mengambil kembali amplop yang tadi dia bawa.
Nyonya Angela menatap sebal punggung Pak Sebastian yang menghilang di balik pintu. Pikirannya dipenuhi dengan putra keduanya. Siapa lagi kalau bukan Angga.
Dua hari yang lalu Nadia tidak pulang ke rumah. Angga juga tidak. Nyonya Angela sudah bersorak dalam hati, merasa jika harapannya terkabul kali ini. Angga dan Nadia mulai punya chemistry dan kehidupannya akan damai. Semua rencananya akan berjalan lancar, dukungan politiknya akan membuahkan hasil sehingga uang milyaran yang sudah dia gelontorkan tidak sia-sia.
Namun semua itu kandas ketika Pak Sebastian meneleponnya di pagi hari dan bertanya ke mana Angga dan mengapa Nadia muncul di depan rumahnya dengan air mata berlinang dan di antar laki-laki lain yang bukan suaminya? Nyonya Angela tidak bisa memberikan jawaban. Dia benar-benar belum tahu apa yang terjadi karena Angga juga belum tiba di rumah pagi itu.
Baru ketika menjelang siang, Angga muncul dengan kondisi yang berantakan. Nyonya Angela yang sengaja tidak pergi ke kantor hari itu untuk menunggu Angga pulang, benar-benar dibuat murka ketika putranya datang.
"Ke mana Nadia? Kenapa kamu pulang sendirian? Apa yang terjadi semalam?" tanyanya tanpa jeda sembari mendekati Angga yang sedikit sempoyongan. "Kamu mabuk?" tanya Nyonya Angela menyelidik ketika mencium bau alkohol dari mulut Angga.
"Bukannya udah biasa Mama lihat Angga mabuk?" tanyanya balik sambil berjalan menghindari mamanya.
"Angga! Semalam kamu pergi sama Nadia dan sekarang pulang sendirian! Di man tanggung jawabmu sebagai suami?" bentak Nyonya Angela.
Angga menghentikan langkahnya dan membalikkan badan sedikit. "Nadia nggak pulang?"
"Nadia pulang ke rumah papanya," jawab Nyonya Angela dingin.
"Oh." Angga menjawab pendek seolah bukan hal yang serius Nadia pulang ke mana.
"Angga! Nadia pulang ke rumah papanya! Kamu tahu artinya apa?"
"Artinya Nadia baik-baik saja, Ma. Yang penting dia pulang. Mau pulang ke mana terserah dia."
Nyonya Angela benar-benar dibuat migren dengan pemberontakan Angga. Harapannya lesap seketika dan kini muncul masalah baru. Kalau sampai perjodohan Angga dan Nadia tidak berhasil, dia rugi dua hal. Uang sponsor yang digelontorkan untuk kampanye ayahnya Nadia hilang begitu saja dan akses masuk impor barang miliknya bakalan dipersulit.
Nyonya Angela tidak ingin usahanya yang sudah sedemikan jauh menemui kegagalan. Dia mendekati Angga dan mulai melakukan aksi mengancamnya.
"Kamu jangan sampai bikin Mama malu, Angga. Nadia itu wanita pilihan Mama. Dia bisa mengangkat derajat kita dan juga perusahaan Mama. Jangan sampai Mama melakukan sesuatu kepada wanita simpanan kamu itu!"
"Kienar maksud Mama? Dia pacar aku, Ma. Kami sudah tunangan kalau Mama mau tahu. Seandainya saja Mama nggak maksa aku nikah sama Nadia."
"Demi kebaikan kamu Angga!"
"Kebaikan apa? Kebaikan perusahaan Mama maksudnya? Mama pikir Angga nggak paham kalau usaha perjodohan ini hanya untuk kepentingan perusahaan saja? Kepentingan Mama saja?" Angga mendengkus dan menaiki tangga meninggalkan mamanya.
"Jangan berbicara seakan kamu lebih tahu dari Mama kalau hidupmu saja masih menggunakan uang Mama, Angga!"
Ucapan mamanya berhasil membuat langkah Angga terhenti. Dia terdiam beberapa saat memahami perkataan mamanya. Angga ingin mengatakan sesuatu tapi hatinya menolak. Bagaimanapun, perkataan mamanya benar. Dia memang masih anak Mama yang tak bisa apa-apa tanpa uang mamanya. Angga memilih tak peduli dan melanjutkan langkahnya ke atas. Mengabaikan panggilan berulang mamanya.
_*_
Nyonya Angela mengetukkan penanya ke atas meja. Angga keras sekali hatinya dan satu-satunya cara melemahkan pendirian anak itu adalah dengan melakukan sesuatu kepada Kienar. Perempuan itu sudah terusir dari kantor Pak Sebastian dan kini berada di kantor cabang pinggiran yang jauh dari Angga. Seharusnya itu sudah cukup. Angga tidak bisa menghubungi Kienar lagi.
"Seharusnya Sebastian memecat gadis itu. Kalau Sebastian tidak mau melakukan sesuatu terhadap dia, aku yang akan melakukannya. Semua demi masa depan perusahaan ini," bisik Nyonya Angela. Dia pun segera mengangkat telepon dan menghubungi orang kepercayaannya.
Setelah selesai menghubungi orang kepercayaannya, Nyonya Angela menelepon Nadia. Mencoba membujuk gadis itu agar kembali ke rumahnya. Terlalu lama gadis itu berada di rumah orang tuanya juga tidak baik. Bisa-bisa Nadia mengurungkan niatnya menaklukan Angga.
"Halo, Sayang. Gimana perasaanmu hari ini? Sudah lebih baik? Tante minta maaf atas nama Angga. Dia memang keterlaluan. Dia sedang frustasi dan kamu tahu karena apa. Sayang ..., Angga lagi labil, seharusnya kamu ada di sisi dia. Pulang, ya? Nanti kalau kamu pulang Mama janji bawa kamu jalan ke Singapura weekend ini."
Di seberang, Nadia mendengarkan penuturan ibu mertuanya dengan acuh tak acuh. Bukan perlakuan Angga yang membuatnya tidak mau pulang ke rumah Nyonya Angela. Namun perbuatannya dengan sahabat Angga yang membuatnya malu sendiri. Bisa-bisanya dia menerima ciuman dari lelaki lain seperti itu. Benar-benar seperti perempuan murahan saja.
"Nadia sayang ..., kalau kamu tidak pulang, siapa yang akan menghibur Angga? Kamu tahu sendiri hubungan Mama sama dia benar-benar memburuk. Kamu istrinya, pasti Angga masih mau menerimamu. Kalian menghabiskan semalaman dalam satu kamar, kan?"
Seandainya saja Nyonya Angela tahu jika Nadia dan Angga tidak pernah tidur seranjang. Angga di sofa, Nadia di ranjang king size mereka. Nadia hanya bisa memperhatikan sosok Angga yang bergelung dalam selimut dari kejauhan. Dia tidak berani mendekat karena jika sampai dia mengusik Angga, suaminya itu mengancam akan keluar kamar.
Nadia menghela napas panjang. Apa yang dikatakan ibu mertuanya ada benarnya. Kienar sudah menjauh dari hidup Angga sekarang. Kekosongan yang ditinggalkan Kienar harus dia yang mengisinya. Jangan sampai Angga menemukan perempuan lain dan menimbulkan masalah baru.
"Saya mau pulang kalau Angga yang menjemput," jawab Nadia singkat. Membuat Nyonya Angela mengembuskan napas, masalah baru lagi untuknya. Membujuk Angga pasti akan menyulitkan.
"Mama akan bujuk dia. Kamu siap-siap saja, ya, Sayang." Nyonya Angela mengakhiri panggilannya lalu mengambil kunci mobil. Angga tidak masuk kerja hari ini dan dia memutuskan pulang lebih awal. Di depan pintu masuk, dia memberikan beberapa instruksi kepada asistennya.
Sesampainya di rumah, Nyonya Angela langsung naik ke atas. Ke kamar Angga dan Nadia. Saat pintu di buka, Nyonya Angela sedikit terkejut melihat Angga tidur telungkup di sofa. Kasur mereka masih rapi, seperti tidak ada orang yang tidur di sana sama sekali. Namun pikiran buruk tidak sempat bersarang di kepalanya karena ada hal yang lebih penting untuk dilakukan sekarang.
"Angga! Cepat bangun!" perintahnya sambil menarik selimut yang menutupi tubuh altetis putranya. Angga tergeragap dan langsung membuka mata. Orientasinya kacau. Pandangannya masih kabur.
Angga mengedipkan mata beberapa kali untuk memahami apa yang sedang terjadi. Ketika dilihatnya Mama berdiri menjulang di hadapannya, Angga buru-buru duduk dan merapikan diri. Sial, rutuknya dalam hati. Seharusnya tadi dia tidur di kasur saja. Toh, Nadia sedang tidak ada. Namun dia tidak menduga kalau Mama akan masuk seperti ini. Dia juga khawatir Nadia akan pulang dan masuk kamar. Angga tidak mau Nadia mengambil kesempatan, dia harus tetap menjaga jarak dan mematuhi aturan yang dia buat sendiri.
"Ma-mama? Kenapa?"
"Kenapa, kenapa. Bangun cepat. Sudah jam berapa ini? Kamu harus jemput Nadia sekarang juga!"
Angga mendesah. Kenapa harus dia yang menjemput Nadia?
"Dia udah gede, Ma. Ngapain harus dijemput? Manja banget, sih?" Angga kembali berbaring.
Nyonya Angela menarik napas hendak mengeluarkan suara tiga oktafnya. Namun ponselnya berdering dan dia memang sedang menunggu sesuatu. Dibukanya benda segiempat dari dalam tasnya dan dibacanya isinya. Benar saja, memang berita yang dia tunggu. Nyonya Angela tersenyum penuh kemenangan.
"Jemput Nadia sekarang juga dan perlakukan dia dengan lebih baik mulai saat ini atau ...."
Angga menatap mamanya, menantang. "Atau apa?"
Nyonya Angela tidak menjawab pertanyaan putranya. Dia menyodorkan ponsel ditangannya dan menyuruh Angga melihat apa yang ada di ponsel itu. []
©elopurs - 2020